Oleh: Nisaa Qomariyah, S.Pd.
Pengajar dan Muslimah Peduli Negeri
Per 21 Maret 2020, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengumumkan jumlah pasien positif Covid-19 di Indonesia sebanyak 450 orang dengan 20 orang sembuh dan 38 meninggal dunia. Jumlah kasus terus meningkat tiap harinya hingga Kamis, 9 April 2020 tercatat 3293 kasus positif dan 280 orang meninggal.
Berdasarkan hasil riset tim peneliti dari ITB memprediksi adanya pergeseran puncak pandemi yang awalnya akhir Maret menjadi pertengahan April. Hal ini karena data yang berhasil dihimpun lebih mirip kasus di USA dibanding di Korea Selatan. (voaislam, 3/21/2020).
Terus melonjaknya jumlah kasus positif virus Covid-19 di Indonesia adalah bukti kelalaian pemerintah. Hal ini tampak dari kecerobohan terhadap sumber wabah, ketergantungan pada WHO dan ketidaksungguhan mengupayakan pencegahan dan pengobatan.
Kecerobohan terhadap sumber wabah misalnya, tampak dari tidak adanya keputusan pemerintah melarang pendatang dari China masuk ke Indonesia, sejak mulai terjadinya wabah di Wuhan hingga saat ini. Pemeriksaan suhu di bandara serta pelabuhan dan tindakan apa pun itu, tetapi dengan tetap mengizinkan pendatang dari China masuk ke Indonesia justru memfasilitasi terjadinya wabah di Indonesia.
Baru-baru ini saja, setelah wabah menyebar luas, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi akhirnya memberlakukan larangan masuknya WNA ke Indonesia. Itu pun setelah sudah ditemukan beberapa kasus positif Covid-19 di Indonesia yang sudah memakan korban jiwa.
Kelalaian pemerintah berikutnya adalah begitu percaya bahkan pembebek setia WHO, yang ketulusan WHO sendiri dalam banyak peristiwa sangat patut dipertanyakan. Juga terbukti pada kasus 2019-nCoV dengan menyatakan wabah 2019-nCoV belum menjadi persoalan dunia sementara indikasi ke arah itu begitu kuat.
Meski pada akhirnya ia mengakui kesalahan fatal tersebut sebagaimana diwartakan Channel News Asia, Selasa (28/1/2020), pada Kamis dua hari setelahnya dunia dinyatakan dalam bahaya(Forbes, 30/1/2020)
Terlebih lagi, telah banyak bukti bahwa WHO hanya berdedikasi bagi kepentingan hegemoni dan korporasi raksasa farmasi dunia milik negara-negara kafir penjajah . Sudah menjadi rahasia, kemunculan wabah baru seringkali diikuti dengan penjualan vaksin yang harganya selangit. Ini belum berbicara apakah vaksin itu benar-benar ampuh sebagai pelindung atau justru menjadi silent killer. Bahkan, berdasarkan kejadian serupa yang sudah-sudah, kemunculan wabah baru identik dengan ketergantungan dunia pada korporasi industri farmasi, obat-obatan, dan vaksin.
WHO sempat sedikit 'terlambat' mengidentifikasi virus Corona ini sebagai pandemik (wabah yang berlangsung global), sehingga awareness global juga sempat terlambat. Pemerintah Indonesia pun sudah sempat ke-PeDe-an, dengan berbagai pernyataan Presiden, Wapres, Menkes, dsb yang menyatakan bahwa wabah Covid-19 "tidak akan masuk ke Indonesia". Namun, tak lama dari guyonan-guyonan yang sombong itu, pemerintah harus menelan "pil pahit" dengan ditemukannya kasus positif virus Covid-19 pertama dekat dengan jantung ibu kota negara.
Upaya edukatif dan promotif sebagai langkah preventif terhadap Covid-19 juga kurang dilakukan oleh pemerintah. Padahal mencegah lebih baik daripada mengobati. Faktanya, langkah preventif juga gagap dilakukan pasca wabah telah menyebar luas. Padahal upaya edukatif dan promotif dapat meningkatkan imunitas rakyat dalam menghadapi wabah ini. Sebab virus dapat dilawan dengan sistem imun tubuh yang baik. Memang benar, virus dapat diobati dengan antivirus, tapi sampai saat ini belum ada obat resmi yang dinyatakan sebagai obat virus Corona.
Pengadaan antivirus untuk ini juga masih dalam penelitian. Itu pun dilakukan oleh negara-negara maju yang memiliki dana maupun ahli yang berkompeten di bidangnya. Sedangkan untuk Indonesia jelas sangat ketinggalan jauh. Mengingat saat ini saja masih tergagap menghadapi jumlah pasien positif yang meningkat setiap harinya.
Belum lagi, kebijakan pembiayaan yang tidak seragam antara Kemenkes dengan RS daerah. Kemenkes membuat peraturan bebas biaya bagi para ODP dan PDP. Namun fakta berbicara, tidak sedikit ODP dan PDP yang harus membayar biaya tes Covid-19 di RS daerah.
Dengan demikian dari aspek mana pun, jelas sekali pemerintah Indonesia lalai dan tidak siap menghadapi wabah 2019-nCoV.
Jika ditelisik secara mendalam semua kelalaian itu berpangkal dari paradigma batil sekuler yang menyandera negeri ini. Baik yang terhimpun dalam konsep good governance maupun aspek-aspek lainnya.
Negara telah terinfeksi sekulerisme-kapitalisme. Tidak hanya memisahkan aturan agama dari kehidupan, tapi juga mengurus rakyat dengan asas untung-rugi. Meletakkan kepentingan kapitalias-korporasi di atas kepentingan keselamatan rakyat. Padahal membebaskan Indonesia dan dunia dari ancaman pandemi kuman mematikan merupakan persoalan yang sangat mendesak.
Dalam sejarah Islam ada tiga wabah yang pernah terjadi di dunia Islam. Pertama: wabah di Amwas wilayah Syam (kini Suriah) di tahun 639 M yang telah menimbulkan syahidnya dua sahabat Nabi saw. yaitu Abu Ubaidah bin Jarrah dan Muadz bin Jabal. Kedua: Wabah ‘Black Death’ yang mengepung Granada, benteng terakhir umat Islam Andalusia pada abad ke 14. Ketiga: Wabah smallpox pada Abad 19 yang melanda Khilafah Utsmaniyah.
Ketiga wabah tersebut dapat ditanganani dengan baik sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah Saw. dan sahabat. Terdapat delapan strategi yang bisa ditawarkan, dan ini berdasarkan sumber hukum Islam.
Pertama, negara dan pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab melakukan tindakan pencegahan bahaya apa pun termasuk wabah virus mematikan 2019-nCoV.
Kedua, negara wajib melarang masuk warga negara yang terbukti menjadi tempat wabah. Seperti yang Rasulullah pernah bersabda: "Wabah thaun adalah kotoran yang dikirimkan oleh Allah terhadap sebagian kalangan bani Israil dan juga orang-orang sebelum kalian. Kalau kalian mendengar ada wabah thaun di suatu negeri, janganlah kalian memasuki negeri tersebut. Namun, bila wabah thaun itu menyebar di negeri kalian, janganlah kalian keluar dari negeri kalian menghindar dari penyakit itu." (HR Bukhari-Muslim)
Ketiga, bebas dari agenda imperialisme karena diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala apa pun bentuknya.
Keempat, negara harus terdepan dalam riset dan teknologi tentang kuman-kuman penyebab wabah, alat kedokteran, dan obat-obatan.
Kelima, negara wajib melakukan langkah praktis produktif untuk peningkatan daya tahan tubuh masyarakat.
Keenam, ketersediaan fasilitas kesehatan terbaik dengan jumlah yang memadai lagi mudah diakses kapan pun, di mana pun, oleh siapa pun.
Ketujuh, anggaran berbasis baitul mal dan bersifat mutlak.
Kedelapan, kekuasaan tersentralisasi, sementara administrasi bersifat desentralisasi.
Delapan strategi tersebut dapat dilakukan untuk penanggulangan wabah jika di bawah aturan Islam. Pelaksanaan prinsip sahih ini akan mampu mengakhiri wabah, jika diterapkan dengan diiringi penerapan syariat Islam secara kafah dalam bingkai khilafah. Maka, terwujudnya Indonesia dan dunia yang bebas dari serangan berbagai wabah mematikan adalah sebuah keniscayaan.
Menerapkan syariah secara kaffah tidak hanya mencegah dan mengakhiri wabah berbahaya. Namun juga mengantarkan umat manusia pada kesejahteraan bagi seluruh alam. Sebagaimana janji yang pasti dari Allah subhanahu wa ta’ala, artinya, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” (TQS Al An-Anbiyaa: 107).
Jelas hanya dengan kembali pada pangkuan syariah kaffah dan khilafah adalah kebutuhan yang mendesak bagi dunia hari ini. Lebih dari pada itu, khilafah adalah syariat Allah swt, yang diwajibkan pada seluruh umat di bumi. Karena kita diperintahkan untuk menerapkan agama Islam secara menyeluruh bukan yang dimau saja. Termasuk dalam menjawab ujian wabah Covid-19 ini.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Tags
Opini