Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Muslimah Penulis Sidoarjo
Berdalih menyelamatkan napi dari wabah Corona dan penghematan anggaran, pemerintah membebaskan puluhan ribu Napi, termasuk Napi koruptor yg berusia lanjut.
Sebagaimana dilansir oleh CNN.com, pada 5 April 2020 bahwa Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), telah mengeluarkan dan membebaskan 30.432 narapidana dan Anak melalui program asimilasi dan integrasi guna mengantisipasi penularan virus Corona di lembaga pemasyarakatan ( Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) yang melebihi kapasitas. Data tersebut dirilis per Sabtu (4/4) pukul 14.00 WIB.
Hal itu disampaikan oleh Bagian Humas dan Protokol Ditjen PAS, Rika Aprianti. Kemudian Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nugroho menyatakan pihaknya bakal menyelesaikan tugas tersebut dalam target waktu tujuh hari sebagaimana arahan Yasonna.
Kemenkumham mengklaim jika program ini berjalan lancar, pemerintah akan menghemat anggaran negara sebesar 260 milyar rupiah. Dan seketika kebijakan ini menjadi polemik dimasyarakat. Cukup efektifkah cara ini digunakan saat wabah Covid-19 merebak?
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenurrohman atau akrab disapa Zen menilai wacana yang dilontarkan Yasonna tidak tepat. Zen memaparkan beberapa alasannya. Pertama, dibandingkan kasus kriminal lainnya, narapidana kasus korupsi jumlahnya tidak banyak dibandingkan jumlah warga binaan lembaga pemasyarakatan (Lapas) seluruh Indonesia.
Kedua, kasus korupsi bukanlah kejahatan biasa. Korupsi adalah kasus kejahatan serius. Sehingga langkah Kemenkumham membebaskan narapidana kasus korupsi dinilai tak tepat (merdeka.com, 2/4/2020).
Mencermati sikap istimewa yang sudah banyak diberikan pada napi koruptor, Kebijakan ini menuai kecaman publik. Dianggap pemerintah mencari momen untuk memperbanyak cara melepaskan koruptor dari jerat hukuman.
Kembali fakta menunjukkan bukti tiadanya keseriusan pemerintah atasi masalah kriminalitas khususnya korupsi. Ditengah himpitan sulitnya memenuhi kebutuhan hidup karena virus Covid-19 , kebijakan ini seakan menambah beban, hingga tak terhitung kapan bisa diselesaikan.
Bagaimana bisa dipikir secara nalar bahwa membebaskan para penyakit masyarakat ini akan meringankan beban pemerintah menangani pandemi. Sebab, hingga hari ini pemerintah seakan berjalan di tempat tak melakukan sesuatu yang serius.
kebijakan ini justru bisa munculkan masalah baru berupa peluang kriminalitas yang bisa dilakukan mantan napi di tengah kondisi ekonomi yang buruk. Dimasyarakat mereka sudah menjadi penyakit, bahkan dijauhi oleh keluarga sendiri, jobless, lantas pernahkah pemerintah memikirkan bagaimana mereka memenuhi kebutuhan hidup mereka?
Namun, jika koruptor yang dibebaskan, bukankah itu lebih menyakitkan? Sebelum mereka masuk bui sudah menelan uang rakyat mentah-mentah hanya demi terpenuhinya gaya hidup mereka, bahkan mereka bawa kebiasaan itu ke ruang lapas.
Uang berkuasa, di dalam lapas pun hidup mereka tak mengalami kendala, tetap hidup bergelimang harta. Rakyat hanya bisa mengelus dada, bekerja sekuat tenaga demi menghidupi keluarga dan mereka, namun balasannya adalah kelanjutan penderitaan tanpa ada solusi yang pasti.
Tak elok jika kita sang pemilik peradaban emas justru tak tahu seluk beluk sejarah Islam dalam mengatasi masalah secara sempurna tanpa melahirkan masalah baru. Dalam Islam justru negara hadir sebagai junnah, perisai bagi umatNya. Maka segala hal yang mengganggu kesejahteraan lahir batin akan dihapuskan oleh Khalifah.
Peradaban Islam yang terkubur ratusan ribu tahun, yang oleh pemeluknya hendak diperjuangkan agar bisa diterapkan kini justru banyak ditentang. Mereka gantikan dengan peradaban sampah yang tak bertarget. Wallahu a'lam bish showab
Tags
Opini