Penulis : Shela Rahmadhani, S.Pt
Kasus Corona semakin menanjak di Indonesia. Pemerintah pusat pun akhirnya menetap Pembatasan Strategi Berskala Besar (PSBB). Namun, sebelumnya penanganan virus cenderung berdiri atas kepasrahan dengan menggantung solusi kepada alam.
Sebagaimana dilansir katadata.co.id, (3/4/2020), Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa virus Corona tidak tahan terhadap cuaca panas. Pernyataan ini membuat publik beranggapan bahwa penyelesaian Corona cenderung dilakukan dengan konsep alam menggunakan panas cahaya matahari.
Padahal menurut WHO, Corona tahan terhadap cuaca panas, sehingga wajar di negara yang gurun sekalipun seperti Arab Saudi, virus ini bisa tembus.
"Menjemur diri Anda di bawah matahari atau suhu yang lebih tinggi dari 25 derajat Celcius tidak mencegah penyakit akibat virus Corona (COVID-19)," demikian tertulis dalam 'Myth busters' situs resmi WHO, sebagaimana diberitakan kembali oleh detikcom, Jumat (3/4)
Karena tidak adanya himbauan tegas untuk karantina dan menutup transportasi ke luar negeri, cenderung publik menduga bahwa akan terjadi mekanisme herd imunity sebagai bentuk penyelesaian alami. Herd imunity adalah kondisi wabah penyakit akibat infeksi virus akan hilang ketika mayoritas populasi kebal, dan individu berisiko terlindungi oleh populasi umum. Untuk mencapai kekebalan kelompok, mayoritas populasi harus sembuh dari infeksi patogen agar sel memori imun merekam ciri-ciri patogen penyebab penyakit. Caranya bisa ditempuh dengan membiarkan tubuh mendapat paparan penyakit secara alami. Diperkirakan Indonesia membutuhkan 182 juta orang terinfeksi dan akan kehilangan sekitar 16 juta untuk terciptanya mekanisme herd imunity ini (tirto.co.id, 03/04/2020).
Strategi menggantungkan diri kepada alam seperti ini sama saja artinya pasrah. Strategi pasrah ini menempatkan manusia tidak dapat berbuat apa-apa.
Padahal dengan kecerdasan dan akal, manusia dapat mengeksplorasi sains sedemikian hingga agar terwujud rekayasa-rekayasa sains berupa teknologi pengobatan. Teknologi vaksinasi merupakan teknologi-teknologi di bidang kesehatan yang dapat dijadikan pemecah persoalan. Termasuk meneliti bahan-bahan yang dapat menghambat reseptor ACE-2 untuk mencegah terjadinya infeksi protein Spike (S) melalui makanan asupan misalnya. Pengembangan vaksin corona harus terus-menerus dilakukan hingga menemukan hasilnya, demikian juga pengembangan penelitian sains yang berdampak pada pencegahan Corona. Ada banyak hal yang bisa dilakukan dengan upaya manusia, bukan berpasrah diri menggantungkan kepada alam semesta semata.
Strategi jitu lain yang dapat dilakukan adalah memutuskan mata rantai Covid19 dengan karantina wilayah, atau tes masal. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Korea Selatan dan berhasil menekan penyebaran virus. Hal ini tidak bisa lepas dari kebijakan dan strategi pemerintahan. Justru inilah yang harus dilakukan sesegera mungkin agar jelas siapa yang terinfeksi dan tidak terinfeksi, bukan berdiam diri menunggu alam bekerja.
Maka, strategi pasrah ini tidak layak untuk diadopsi. Jika hal itu dilakukan, patut diduga sebenarnya penguasa lepas tanggung jawab dari rakyat untuk melindungi dan menjaga nyawa. Mengiming-imingi corona akan berakhir dengan sendirinya adalah wujud pasrah yang keliru bahkan menjatuhkan pada kondisi yang buruk.
Sudah seharusnya negara hadir secara totalitas menuntaskan wabah, memutus rantai wabah, melakukan tes masal, dan mengoptimalkan fasilitas kesehatan, sains, dan pengobatan.