Oleh : Heni Purwaningsih
Owner Acha_hijab_syari dan Founder Teman Hijrahku Klaten
Perhatian Dunia saat ini tengah tertuju pada penanganan kasus COVID-19. Bagaimana tidak, sejak awal kemunculannya pada awal Desember tahun 2019 hingga kini virus ini telah menyebar ke sejumlah negara-negara di Dunia. Virus yang diyakini awal penularannya dari kelelawar ini, ditemukan di kota Wuhan di China. Yakni di pasar hewan yang menjual berbagai hewan liar dan makanan laut.
Terhitung sampai hari ini ada sekitar 199 negara yang terkena. Dilansir dari worldometers, COVID-19 telah menewaskan lebih dari 34.818 orang dari 735.336. Dari total kasus tersebut, sebanyak 67.056 kasus dinyatakan sudah pulih. (KOMPAS.com)
Berdasar fakta tersebut, maka PBB melalui Organisai Kesehatannya WHO menyatakan bahwa wabah COVID-19 sebagai pandemi global. Penetapan ini bukanlah tanpa alasan, karena didasarkan pada peningkatan sejumlah kasus diluar China hingga 13 kali lipat serta banyaknya negara yang terinfeksi.Direktur Jendral WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus memprediksi bahwa kasus terpaparnya Virus Corona masih akan bertambah.
Bagaimana dengan Indonesia? Dikutip dari www.covid19.go.id terhitung per 30 Maret 2020 terdapat 1.414 kasus, dirawat 1.107, meninggal dunia sebanyak 122, dan 75 dinyatakan sembuh.
Perkembangan kasus ini semakin hari semakin bertambah dan kian meresahkan masyarakat. Berbagai upayapun dilakukan untuk mengatasi kasus ini. Sejumlah negara mulai mengambil tindakan demi untuk memutus mata rantai penyebaran virus ke wilayah yang lebih luas. Mulai dari memberlakukan Lockdonwn, karantina wilayah, social distancing sampai mencari ide alternatif yaitu membiarkan virus ini menyebar dan mengenai siapapun hingga terbentuk “Herd Imunity” atau kekebalan kelompok.
“Herd Imunity” secara sederhana adalah menyerahkan kesehatan rakyat kepada seleksi alam. Yang kuat bertahan kemudian imun, sementara yang lemah pasti akan tewas dengan sendirinya.
Wajar saja Herd Imunity ini dianggap sebagai solusi alternatif, karena memang dalam iklim sekulerisme negara tak lagi berperan sebagai perisai atau Jjunnah yang berada di garda terdepan dalam melindungi rakyatnya. Rakyat dibiarkan untuk berupaya sendiri dan berinisiatif bagaimana agar bisa bertahan dalam kondisi yang mengkhawatirkan sekalipun.
Bisa dilihat bagaimana lambatnya reaksi dari pemimpin-pemimpin diberbagai negara ketika kasus pandemi ini mulai meyeruak. Terlebih dari negara asal virus ini sendiri yaitu China yang sejak awal menganggap enteng kasus ini. Dengan tidak segera mengambil upaya mengisolasi wilayah hingga virus menyebar keluar wilayah.
Meski pada akhirnya China memberlakukan isolasi pada daerah yang terkena virus. Kemudian berhasil memberikan fasilitas kesehatan dan membangun rumah sakit hanya dalam hitungan hari. Jaminan listrik juga pasokan logistik pada daerah yang diisolasi. Akan tetapi, pengambilan langkah ini baru dilaksanakn setelah kasus ini memakan banyak korban dan merugikan laju perekonomian China. Sungguh sangat terlambat.
Hal yang tak jauh berbeda terjadi di negara kita. Sejak awal, Indonesia tak memperlihatkan reaksi preventif sebagai upaya pencegahan agar Virus Corona tidak sampai mewabah di Indonesia.
Bahkan disaat negara lain mulai menjaga jarak sampai melakukan lockdown, justru tidak demikian dengan negara kita. Pemerintah justru melakukan ekspor masker dan APD ke luar negara, terutama China dan membuka kran pariwisata. Yakni membuka kran selebar-lebarnya bagi wisatawan dan masih menerima pekerja asal China.
Karena sikap pemerintah yang kurang peka dan tidak sigap dalam menghadapi wabah, Indonesia harus membayar mahal semua ini. Sejak awal Presidan Joko Widodo mengumumkan bahwa ada WNI yang terdeteksi positif terkena virus Corona hingga kini angka kasus kian eksponsif. Berbeda dengan pemerintah pusat, justru sejumlah kepala daerah mulai memberlakukan karantina daerah atau local lockdown pada akses pintu keluar masuk di wilayah masing-masing.
Dilansir dari mediaindonesia.com Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa keselamatan rakyat menjadi prioritas utama dalam penanganan Virus COVID-19. Akan tetapi hingga kini semua itu tak juga terealisasi. Bahkan Pemerintah masih enggan memberlakukan Lockdown Central. Tentu saja untuk mengambil kebijakan ini pemerintah tidak siap, karena ketika memberlakukan lockdown keseluruh wilayah itu artinya negara harus siap mengeluarkan dana yang tak sedikit untuk mensuplai segala kebutuhan masyarakat selama masa karantina. Hal ini dikarenakan mindset yang dipakai di negara kita adalah mindset kapitalis, negara masih berfikir akan untung rugi dalam meriayah rakyatnya. Negara terbiasa membiarkan rakyat mandiri tanpa sedikitpun membebani anggaran negara.
Selain itu ketidakseriusan pemerintah dalam menangani pandemic ini juga terlihat dari semakin langkanya APD yanag sangat dibutuhkan oleh tenaga medis yang berada di garda terdepan dalam penanganan pandemic ini. Hal dikeluhakan oleh sejumlah rumah sakit rujukan, diantaranya adalah RSUA (Rumah Sakit Umum Airlangga) Surabaya. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Satgas Corona dr.Prastuti Atha Wulaningrum, beliau mengatakan bahwa APD yang dipunyai hanya bertahan sampai 2 hari sementara untuk pelindung mata dan masker N95 hanya bertahan sampai 3 hari. ( www.liputan6.com )
Tak mau ruginya Negara dalam penangana wabah Virus Corona ini makin ditegaskan dengan dibukanya rekening donasi dari pemerintah untuk para dermawan yang hendak menyumbangkan dana guna membiayai penanganan wabah. Dari sini patut dipertanyakan kesungguhan negara dalam menangani pandemi.
Dengan kebijakan Pemerintah yang demikian perhitungan dan terkesan abai, tak mengherankan jika sebagian masyarakat tak lagi percaya terhadap penguasa. Masyarakat justru dirundung kepanikan yang mendalam. Smakin banyaknya yang tertular Virus Corona dengan angka kematian jauh lebih tinggi daripada yang bisa disembuhkan, menjadi salah satu alasannya. Akhirnya, rakyat mencari inisiatif sendiri untuk bisa terhindar dari Virus yang mematikan ini.
Hal ini tentu tidak akan kita jumpai ketika penguasa menjalankan amanah dengan dorongan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, bukan dengan mindset Kapitalisme yang penuh perhitungan.
Dorongan keimanan dan ketakwaan dalam menjalankan kekuasan hanya bisa didapat didalam sistem negara yang menjadikan kekuasaan sebagai amanah melayani rakyat. Setiap kebijakan yang diberlakukan kelak nanti akan dimintai pertanggungjawaban di Yaumul Hisab. Dan sistem bernegara yang seperti itu hanyalah Islam, yang dinamakan negara Khilafah.
Islam memiliki aturan tata kelola bernegara. Islam adalah sebuah aturan hidup atau ideologi. Penanganan menghadapi pandemi dengan lockdown pun ada didalam Islam. Dimana kasus penyakit menular dulu pernah ditemukan pada masa Rasulullah SAW. Dalam menangani wabah Rasulullah langsung mengambil kebijakan dengan memberlakukan karantina atau Isolasi daerah dimana terdapat penyakit menular itu.
Rosulullah juga pernah bersabda “ Jika kalian mendengar wabah terjadi disuatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah tersebut. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi ditempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu. “ ( HR. Al Bukhari)
Maka dari sini kita bisa pastikan bahwa negara Khilafah akan memberlakukan karantina sebagai upaya membatasi penyebaran penyakit. Dengan demikian Negara Khilafah peka terhadap kasus yang menimpa negaranya dan menempuh upaya perventif penularan penyakit sejak dini. Sehingga tidak akan terjadi isolasi diberbagai daerah. Pada daerah yang yang tidak terkena wabah penyakit menular masih bisa beraktivitas dengan normal melanjutkan pekerjaan sehingga kehidupan ekonomi dan social masih tetap berjalan,sehingga tidak akan berdampak pada krisis.
Pada daerah yang dikarantina, oleh karena didalam Islam ditanamkan bahwa kekuasaan adalah amanah, pemimpin adalah pengembala yang bertanggungjawab atas rakyatnya, maka selama masa karantina negara wajib meriayah dengan mencukupi segala kebutuhan hidupnya. Negara akan mensuplai segala kebutuhan mulai dari makanan pokok, asupan gizi, obat-obatan, seluruh peralatan kesehatan yang mendukung dan mempercepat penanganan pandemi di daerah yang diisolasi. Negara akan mendirikan rumah sakit, laboratorium pengobatan, APD (Alat Pelindung Diri) sehingga tidak mungkin terjadi kelangkaan, perawatan dengan fasisitas kesehatan yang memadai untuk pasien dan tenaga medis yang mumpuni.
Dan tentunya tidak akan mengemis sumbangan kepada rakyat. Karena dalam negara Khilafah kesehatan merupakan kebutuhan primer yang pembiayaannya diambil dari Baitul Maal. Dari sini tentu terdapat perbedaan yang sangat tajam antara tata kelola negara Kapitalis dengan tata kelola negara Khilafah dalam upaya penanganan mengahadapi Pandemi.