Oleh : Ulfa Novitamala
Aktivis Muslimah Ideologis
Semakin hari, semakin bertambah banyak orang-orang yang terpapar Covid-19, semakin banyak pula mereka yang meninggal karena infeksi Covid-19. Sejak awal diumumkan kasus pertama pada tanggal 2 Maret 2020 hingga 4 April 2020 tercatat 2.092 pasien positif Covid-19, 191 pasien meninggal dan 150 pasien sembuh. Itu baru angka yang terkonfirmasi, belum lagi yang tidak terkonfirmasi. Rakyat dibiarkan berjibaku sendiri mengatasi Covid-19, tenaga kesehatan dibiarkan bekerja tanpa Alat Pelindung Diri (APD) yang memadai.
Awal terdeteksi virus ini pemerintah menutupi kasus yang positif virus dan menyepelekan bahkan menjadi bahan guyonan. Hingga akhirnya penyebaran virus ini kian hari kian masif. Angka kematian yang terus bertambah, tenaga medis yang satu persatu gugur dalam tugasnya mengobati pasien terinfeksi virus ini. Tentu hal ini membuat berbagai pihak untuk mendesak pemerintah untuk mengambil kebijakan lockdown. Tapi pemerintah enggan mengambil kebijakan tersebut dengan berbagai alasan salah satunya perekonomian.
Rezim penguasa malah membuat pernyataan dan kebijakan yang kontraproduktif. Di saat negara lain menutup pintu masuk ke negaranya, Indonesia justru sebaliknya mau membuka pintu masuk selebar-lebarnya bagi turis guna meningkatkan pendapatan dari sektor pariwisata. Di sisi lain, alih-alih bertanggung jawab pemerintah pusat menyerahkan kebijakan penanangan Covid-19 ke pemerintah daerah. Tapi anehnya giliran pemerintah daerah mau menerapkan karantina wilayah justru dianggap pelanggaran kewenangan pusat. Tak mau menanggung konsekuensi pelaksanaan Pasal 55 ayat 1 UU No. 6 tahun 2018, tentang penjaminan kebutuhan dasar orang dan makanan hewan ternak oleh pemerintah pusat bila karantina wilayah atau lockdown diberlakukan, ujung-ujungnya rezim mengumumkan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang rencananya akan dibarengi dengan penetapan UU Darurat Sipil. Jika Darurat Sipil diberlakukan, Pemerintah sama sekali tidak perlu menjamin pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Saat yang sama, Pemerintah bisa leluasa bertindak otoriter terhadap rakyatnya.
Rakyat dibuat semakin miris, ketika pemerintah tetap akan merealisasikan rencana pemindahan ibukota. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menyatakan pemindahan ibu kota negara akan tetap sesuai rencana meski ada wabah virus Covid-19 (Tempo.co, 4/4/2020). Hal ini tentu membuat seluruh pihak geram. Kita tahu bahwa pemindahan IKN pastilah membutuhkan dana yang sangat besar. Seharusnya pemerintah berempati untuk mengambil kebijakan yang tepat dalam mengatasi wabah Covid-19 ini. Bukan membahas rencana pemindahan IKN.
Rezim nampak enggan menghentikan ambisi pembangunan infrastruktur yang akan menelan anggaran 1600 triliun rupiah. Rezim pun enggan menunda atau menghentikan proyek infrastruktur ibu kota baru. Rezim tidak mau mengalihkan anggarannya untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya yang terdampak wabah Covid-19. Pertanyaannya, untuk kepentingan siapa rencana pemindahan IKN baru ini?
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Thomas Lembong menyebut rencana pemindahan ibu kota dapat menjadi angin segar dan membawa sentimen positif bagi para investor jika sudah terealisasi. Estimasi anggaran pemindahan ibu kota sekitar Rp 466 triliun atau setara USD 33 miliar dapat menjadi kesempatan bagi para investor. Sebab dana pemindahan tersebut dapat diperoleh dan dipenuhi dari berbagai skema pembiayaan, tidak hanya mengandalkan APBN.
Sumber pendanaan pemindahan ibu kota bisa didapat melalui skema kerja sama pemerintah badan usaha (KPBU), BUMN dan swasta murni. Hal tersebut tentu akan dipandang sebagai kesempatan emas bagi para investor. Jadi jelas bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil penguasa saat ini lebih berpihak kepada pengusaha dan asing daripada keselamatan dan kesehatan rakyatnya.
Hendaknya para penguasa negeri, jajaran pejabat, menteri-menteri, dan para wakil rakyat memenuhi hajat rakyatnya. Memprioritaskan keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan rakyatnya.
Sungguh, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak”. Apakah penguasa siap dengan pertanggungjawaban akhirat atas meninggalnya rakyat akibat lalai dalam menangani virus corona?
Boleh jadi penguasa berkelit dari pertanggung jawaban di dunia. Namun, ia tak akan mampu berlari dari pertanggung jawaban di akhirat kelak. Pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab pasti tidak bisa tidur nyenyak. Tentu umat merindukan pemimpin yang keimanan dan ketakwaannya hanya kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Pemimpin yang melindungi dan mengurusi urusan rakyatnya.
Wallahu a'lam bishshawwab.
Tags
Opini
Semoga umat islam nanti punya pemimpin yg amanah berkorban demi rakyatnya bukan malah mengorbankan rakyat... keren mba ulfa tulisannya:D
BalasHapus