Oleh : Ratna p.
Indonesia darurat corona virus (covid-19) sejak awal maret, tepatnya tanggal 2 Maret 2020 hingga saat ini. Masyarakat yang terpapar covid-19 terus bertambah. Dilansir dari www.kompas.com, data tercatat mencapai 1.528 pasien positif corona. Dari jumlah tersebut, 81 orang sembuh dan 136 orang meninggal.
Masih dari www.kompas.com, hingga tanggal 31 Maret 2020 diakhir bulan tercatat 114 kasus baru. Maka ada 1.528 kasus positif yang dikonfirmasi. Sementara dengan tambahan 6 pasien, maka total pasien sembuh 81 orang. Sedangkan dengan 14 kasus meninggal, maka total pasien meninggal karena corona virus dalam sebulan mencapai 136 kasus.
Dengan semakin bertambahnya pasien corona, semakin sibuk pula tenaga medis di lapangan. Selanjutnya tentu membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Khususnya bagi para medis yang berada di garda terdepan dalam menangani pasien. Ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD), hand sanitizer, dan masker menjadi langka serta mahal saat ini. Kenyataan semakin pahit ketika mengetahui ternyata negara mengekspor masker yang dibutuhkan. Dan lucunya lagi, negara ini justru mengimpor masker yang ternyata buatan Indonesia sendiri. Ironis.
Dilansir dari www.muslimahnews.com dan www.cnnindonesia.com, menyatakan bahwa Presiden Jokowi telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi pandemi covid-19 ini. Diantaranya insentif senilai Rp 3 juta kepada korban PHK di sektor formal penyebaran covid-19, dengan syarat karyawan tersebut sudah terdaftar sebagai peserta BP Jamsostek, yang disinyalir akan diberikan per orang sebesar Rp 1 juta selama 3 bulan. Apakah kebijakan tersebut dapat menjamin kebutuhan hidup mereka? Ditambah bagaimana dengan nasib pekerja harian yang selama ini bergantung dengan pendapatan harian?
Tentu saja, hal ini menjadi tanggungjawab Negara untuk menyelesaikannya. Disamping musti memberikan jaminan keamanan bagi kesehatan warganya, Negara juga berkewajiban memberikan jaminan ekonomi guna kelangsungan hidup masyarakatnya.
Bagaimana Islam memberikan solusi?
Dalam hadist HR Bukhari dinyatakan bahwa:
فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ، وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا، فِرَارًا مِنْهُ
Artinya: "Jika kalian mendengar tentang thoún di suatu tempat maka janganlah mendatanginya, dan jika mewabah di suatu tempat sementara kalian berada di situ maka janganlah keluar karena lari dari thoún tersebut." (HR Bukhari).
Dari sini kita bisa memahami bahwa solusi ketika menghadapi wabah adalah dengan mengisolir pihak atau wilayah yang terkena.
Dimasa Rasulullah SAW hal ini sudah pernah dilaksanakan. Tidak keluar dan tidak masuk ke dalam wilayah yang terdapat wabah.
Di sisi lain Islam juga memberikan solusi bagi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Tentu saja hal pertama yang dilakukan adalah cepat tanggap dalam mendeteksi awal berjangkitnya wabah. Selanjutnya pihak yang sakit akan diisolir dari yang lain, begitupula ketika penyakit cepat menjalar hingga di satu wilayah, maka negara juga harus mengisolisasinya. Sedangkan warga negara yang tidak terdampak begitupula dengan wilayah lain dapat tetap menjalankan kegiatan ekonominya.
Dengan demikian aktivitas ekonomi tidak akan mandeg. Di samping itu, Negara dalam Islam juga memastikan tiap-tiap warga baik yang terkena wabah ataupun tidak tetap bisa terpenuhi kebutuhan hidupnya. Terutama bagi yang terdampak, Negara dapat mengalokasikan anggaran bagi mereka dari sumber-sumber pendapatan Baitul Mal seperti khoroj, jizyah, pengelolaan sumber daya alam, dll.
Dari sini jelas, bahwa Islam mempunyai solusi yang terbukti solutif dalam menangani persoalan terkait wabah. Sekarang hal pentingnya adalah negara mau atau tidak menerapkan seperti yang Rasulullah SAW contohkan?
Wallahualam bisshowab....