Oleh Fitri Agustina
(Aktivis Dakwah Islam)
Beberapa waktu yang lalu masyarakat Indonesia dihebohkan dengan berita mengenai bebagai solusi pemerintah dalam mengatasi penyebaran virus corona (Covid-19) yakni salah satunya presiden RI Joko Widodo menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat terkait wabah virus corona di Indonesia. Kendati demikian, bapak Jokowi juga menyiapkan kebijakan darurat sipil untuk dipakai dalam keadaan yang tidak normal atau luar biasa.
Pernyataan pemerintah yang akan memberlakukan kebijakan darurat sipil tersebut mendapatkan penolakan dari berbagai pihak dan koalisipun menilai belum saatnya menerapkan darurat sipil atau darurat militer karena pemerintah harus berhati-hati dalam menggunakan dasar hukum untuk meminimalisir penggunaan kewenangan yang lebih tepat sasaran. Sehingga pemerintah memutuskan menerapkan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB). Sebelumnya pemerintah telah mengajak masyarakat untuk melakukan pembatasan sosial (social distancing), kemudian diubah menjadi physical distancing alasannya karena kurang bagus.
Dari solusi tersebut bahwasanya tidak mengurangi jumlah masyarakat yang terkena virus corana ini, justru semakin meningkat. Tercatat pada 14 April sudah 4.839 yang positif dan 459 meninggal dunia serta yang sembuh 282 pasien (detik.com). Hal ini menggambarkan bahwa solusi yang diberikan pemerintah sangatlah pragmatis yakni tidak sampai kepada akarnya. Pemerintahpun tidak mau melakukan lockdown dikarenakan alasan masalah ekonomi. Padahal kalau mau dilihat Indonesia merupakan negeri yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia tapi memang negaranya yang miskin sehingga merasa tidak mampu melakukan lockdown untuk mengatasi masalah covid-19.
Tidak cukup sampai disitu pemerintah juga membuat kebijakan lain untuk solusi penyebaran wabah covid-19 yaitu Presisen Joko Widodo dan Menteri Hukum dan HAM Prof. Yasona H Laoly menetapkan kebijakan membebaskan para narapidana. Namun kebijakan tersebut mendapat pertentangan berbagai pihak karena dinilai bahwa pemerintah terkesan mencari kesempatan untuk meringankan hukuman para koruptor dengan dalih pencegahan penyebaran wabah covid-19 meskipun hal itu belum terealisasi. Tetapi pembebasan para koruptor ternyata terhambat oleh keberadaan PP itu, sehingga Yasona berencana memberikan asimilasi kepada koruptor yang berusi 60 tahun dan telah menjalani 2/3 pidana jumlahnya sebanyak 300 orang melalui revisi PP tersebut.
Pada 11/04/2020 Yasona telah bebaskan 36.554 napi yakni dari kasus yang telah ditentukan berupa napi anak, napi usia lanjut, serta napi yang telah menjalankan 2/3 masa tahanan. Kebijakan pemerintah tersebut justru memunculkan masalah baru. Seperti para napi yang tidak dibebaskan menimbulkan kekacauan di lapas akibat kecemburuan sosial dengan membakar lapas seperti yang terjadi di lapas Tuminting, Manado, Sulawesi Utara (CNN Indonesia/Ronny). Dibeberapa provinsi juga menimbulkan masalah baru dimana para napi kambuhan yang telah dibebaskan berulah kembali mereka tertakap dengan kasus serupa sehingga menyebabkan mereka kembali mendekam dipenjara.
Dari beberapa kebijakan yang diterapkan terkesan hanyalah solusi pragmatis, pemerintah mengambil langkah-langkah dalam penyelesaian wabah covid-19 seolah-olah tanpa mempertimbangkan dampaknya apakah akan menyelesaikan permasalahan atau justru memunculkan masalah baru. Jauh hari setelah virus ini muncul di china seharusnya pemerintah sudah mengantisipasi akan terjadi penyebaran virus covid-19 ini, justru respon pemerintah malahterkesan abai dan menganggap remeh kasus covid-19 dan baru mengambil sikap setelah ditemukan kasus dua orang yang positif pada bulan Maret lalu seharusnya hal ini bisa dicegah jika pemerintah mau mengambil sikap secara cepat.
Adapun solusi Islam dalam menangani pandemi covid-19 yakni Islam menjadikan rakyat adalah unsur terpenting yang harus selamatkan. Rakyat harus dijaga dan dirawat. “... Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia ...”( Q.S 5: 32). Sehingga ketika terjadi suatu wabah seperti covid-19 ini, Islam pun menjadikan rakyat sebagai acuan utama. Dalam islam tugas pemimpin harus sebagai pelayan ummat (ri’ayah syu’un al-ummah). Sehingga pemimpin wajib melayani rakyat sepenuh hati yang sesuai dengan koridor syariat. Seorang pemimpin akan menjadikan syariat islam sebagai barometer memutuskan kebijakan bukan hawa nafsunya .
Menjadi seorang pemimpin harus berani mengambil resiko tanpa mempertimbangkan materi, yang utama adalah keselamatan rakyatnya bukan justru lebih mengkhawatirkan ekonomi. Karena standar kebahagian seorang muslim adalah ridha Allah sebagai tujuan. Oleh karena itu untuk menyelesaikan masalah wabah ia akan langsung memutuskan melakukan lockdown agar wabah tak meluas menyerang masyarakat. Pemimpin yang taat akan syariat ialah pemimpin yang mencintai rakyatnya menjadikan ketaatan tertinggi hanya kepada Allah. Kemepimpinan seperti inilah hanya adalah dalam sistem yang bersandar ketaatan kepada Allah, bukan dari sistem buatan manusia. Yaitu sistem Islam, dengan sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah.