Oleh : Rut Sri Wahyuningsih
Muslimah Penulis Sidoarjo
Kembali sebagian wilayah Sidoarjo direndam banjir. Sebagaimana dilansir SuaraSurabaya.net, pada Kamis, 11 April 2020 , terjadi di beberapa titik di Waru Sidoarjo. Akibatnya, jalur lalu lintas di sekitar kawasan tersebut sempat mengalami kemacetan panjang. Apalagi, beberapa kendaraan bermotor mogok akibat nekat menerjang banjir setinggi setengah ban mobil. Atas kejadian ini, Pemkab Sidoarjo tengah melakukan evaluasi dengan beberapa pihak untuk mengidentifikasi masalah banjir.
Pemkab Sidoarjo mengaku, selain karena ada beberapa daerah elevasinya rendah juga karena Sidoarjo belum memiliki bangunan pintu air untuk mengurangi debit banjir. Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemkab Sidoarjo telah menyediakan solusi dengan pembuatan saluran untuk menampung air. Namun pengadaan pompa air ini masih akan diusulkan untuk tahun anggaran 2020.
Selain itu, upaya selama ini yang dilakukan Pemkab adalah bekerjasama dengan Balai Besar untuk melakukan normalisasi sungai di bagian hulu dan hilir. Sunarti Setya Ningsih (Naning), PLT Kepala Dinas PU Bina Marga dan Sumber Daya Air Pemkab Sidoarjo, mengaku, sistem pembuangan air di Sidoarjo berbeda dengan ada yang di Surabaya. Jika Surabaya saat banjir akan langsung melakukan pembuangan ke laut, maka Sidoarjo harus menampung air yang nantinya akan dialirkan kembali untuk irigasi lahan pertanian dan untuk layanan air industri (suarasurabaya.net, 11/4/2020).
Banjir sudah menjadi langganan, menghampiri kota Delta meski curah hujan tidak tinggi dan waktunya sebentar. Pada bulan Februari lalu banjir bahkan merendam desa Kedung Banten dan Banjar Asri Kecamatan Tanggulangin hingga 2 bulan lamanya. Akibatnya rakyat terhambat memenuhi kebutuhan asasi mereka seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lain-lain.
Saat itu Calon bupati pilkada Sidoarjo 2020 Bambang Haryo Sukartono ( BHS) melalui timnya menyerahkan sejumlah tangki air bersih. Dan sebelumnya melakukan fogging guna mencegah DBD menyerang warga ( Surya.co.id, 17/2/2020). Demikian pula dengan PLT Bupati Sidoarjo, Nur Achmad Syaifuddin , pada tanggal 19 Februari mencanangkan tanggap darurat bencana ( detikNews.com, 23/2/2020). Memang berdampak pada pengurangan jumlah RT yang terendam, dari 12 RT menjadi hanya 5 RT.
Namun, nyatanya April ini, banjir kembali bertandang. Artinya, solusi mereka lebih kepada pencitraan, menarik simpati masyarakat sebab mereka peserta pencalonan bupati Sidoarjo. Semestinya semua pihak bisa duduk bersama, membicarakan secara seksama solusi terbaik dan bukan bertindak sendiri-sendiri. Di sisi lain mereka mengatasi banjir, namun di sisi lainnya lagi mereka terus membuat upaya itu sia-sia.
Kapolresta Sidoarjo, Kombes Sumardji mengatakan perlu adanya normalisasi sungai yang ada di Sidoarjo. Namun kendalanya adalah daerah sempadan sungai sudah ditempati rumah secara permanen oleh penduduk. Bukti lagi kesekian, bahwa jika semua pihak mengklaim sudah memberikan solusi tanpa melihat pada akar masalah sampai kapanpun tidak akan mendapati kata sepakat. Sempadan sungai menjadi pilihan tempat tinggal membuktikan rakyat kesulitan mendapatkan tempat tinggal yang layak.
Kapitalismelah penyebabnya. Tak ada makan siang gratis. Setiap solusi membawa konsekwensi. Terutama jika membicarakan pendanaan. Banjir adalah masalah salah dipengaturan. Antara perencanaan pemerintah dengan mewujudkan kesejahteraan sebagai kewajiban pemerintah tak berbaring lurus, namun bergantung pada kesepakatan sebuah investasi.
Rusaklah komunitas alam, berganti dengan pabrik atau perumahan. Akibatnya berkuranglah daerah resapan. Seiring waktu, pengaturan yang salahpun meminta korban, yaitu bencana yang menimpa manusia. Itulah yang terjadi di Sidoarjo, pintu investasi dibuka selebar-lebarnya. Hingga bermunculan hotel, hunian dan pabrik di wilayah sebagai pengganti sawah, ladang dan tambak yang hijau, subur dan menjadi mata pencarian masyarakatnya.
Kapitalisme harus dicabut! Sistem inilah yang membolehkan penguasa hanya sebagai perantara bisnis, bukan periayah umat. Padahal Rasulullah bersabda :"Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]
Dalam Islam, telah berdosa seorang pemimpin yang tidak memperhatikan kesejahteraan rakyatnya individu perindividu, bahkan jika hanya untuk kepentingan pribadinya. Maka Allah mewajibkan pemimpin harus menjadi penerap syariat Allah agar ia mampu menjalankan amanahnya dengan maksimal. Menyelesaikan persoalan tanpa muncul persoalan baru. Wallahu a' lam bish Showab.
Tags
Opini