Oleh : Arifah Azkia N.H
(Aktivis Mahasiswi Surabaya)
Pemerintah dinilai belum punya sistem manajemen data yang sempurna dalam kasus COVID-19. Ketidaksinkronan data masih terus terjadi, terlihat di tengah upaya pemerintah menangani penyebaran wabah virus corona atau Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) ada sesuatu yang masih mengganjal. Yaitu, masih adanya perbedaan data jumlah kasus virus corona di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dengan daerah. Data yang dirilis pemerintah pusat tidak sinkron dengan data di daerah. Tentunya ini akan berpengaruh pada upaya mengurangi dampak bencana (mitigasi) wabah itu sendiri.
Masalah transparansi data juga sempat digaungkan oleh sejumlah pihak, hingga kemudian Presiden Joko Widodo memerintahkan Gugus Tugas membuka data seluas-luasnya, termasuk orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) COVID-19. Untuk pertama kalinya sejak ditemukan kasus infeksi virus Corona Juru Bicara Pemerintah Terkait Penanganan Wabah Corona, Achmad Yurianto, membeberkan data 10 ribuan PDP dan lebih dari 130 ribu ODP corona pada kisaran 4 hari yang lalu tercatat dari 18 April 2020.
Pakar permodelan statistik dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono mengatakan, terjadinya perbedaan angka kasus COVID-19 antara pusat dan daerah karena tidak sempurnanya manajemen penghimpunan data. Perbedaan data itu juga mencerminkan adanya inkoordinasi, respon tak tanggap, serta kebingungan daerah dalam melaporkan data. Padahal, untuk menangani kasus wabah sebesar ini, harus betul-betul dilakukan terkoordinasi dengan baik. “Jadi ini yang menurut saya harus dilakukan perbaikan-perbaikan, kalau tidak itu gap-nya (perbedaan angka) akan semakin besar,” kata Pandu _(detikX)_
Kemudian di sisi lain juga ada masalah lain yang menyebabkan data COVID-19 ini kurang terpadu. Yaitu adanya orang-orang yang dikubur dengan protokol COVID-19, seperti tercermin dari kasus di Jakarta. Korban meninggal tersebut sebetulnya baru mengidap gejala klinis corona, tapi belum ditetapkan statusnya sebagai positif atau negatif. Pemeriksaaan hasil laboratoriumnya memang harus menunggu 5-7 hari. Sementara, pemerintah pusat melaporkan data berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium." Ujarnya. _(DetikX)_
Fenomena sengkarut data ini terjadi akibat kurangnya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam menangani pandemi virus Corona ini. Dan disamping banyaknya data yang sengaja di tutup-tutupi dari publik untuk kepentingan internal lainnya. Bahkan tidak bisa dipungkiri, sejumlah masyarakat dan tempat-tempat umum, pusat-pusat perbelanjaan, pabrik dan mall-mall yang sebenarnya mengetahui akan adanya pegawai atau pekerja yang terinveksi virus sengaja untuk di sembunyikan dari publik. Karna pertimbangan penurunan pengunjung dan berkurangnya pendapatan.
Sehingga tidak dipungkiri akan banyaknya diluaran sana orang-orang yang telah terinfeksi Covid-19 masih berkeliaran dan beraktivitas dengan bebasnya. Hal ini yang mengakibatkan jumlah penyebaran virus Covid-19 semakin signifikan bahkan sangat membahayakan nyawa banyak orang dan menjangkit banyak korban.
Penyebaran virus covid-19 ini hanya akan bisa dihentikan dan dikurangi laju penyebarannya jika dilakukan tindak tegas oleh pemimpin negara yang serius menangani wabah pandemi ini serta tidak abai terhadap nyawa rakyatnya. Adanya upaya-upaya pengkaburan data yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, bahkan dilakukan oleh para warga juga tidak luput karna faktor ekonomi yang memaksa warga untuk tetap bergerilya menghidupi kebutuhannya untuk tetap bekerja di tempat tertentu ditengah terhimpitnya faktor ekonomi saat ini.
Melihat banyaknya problematika yang terjadi di tengah wabah covid-19 yang semakin signifikan ini, maka tidak lain adalah sangat diperlukannya ketegasan penguasa dan keseriusan dalam meriayah rakyatnya. Sebagaimana upaya yang dilakukan seorang pemimpin yang dicontohkan Rasulullah ketika menghadapi wabah.
_Wallahu a'lam bissowab._