Sạhkan RUU Minerba di Tengah Covid-19



                       Ọleh : Nur Saleha, S.Pd
                       Praktisi Pendidikan

Di tengah pandemik Covid-19, DPR RI dikabarkan akan memuluskan Rancangan Undang - undang Mineral dan Batu Bara ( RUU Minerba) Nomer 4 tahun 2009. (kumparan.com,5/4/2020). Munculnya wacana pengesahan kembali RUU Minerba ini pun mendulang polemik.

Seruan kritis tak ayal muncul dari berbagai kalangan. Sebutlah para aktivis pertambangan yang menyampaikan kecaman bila RUU tersebut disahkan. Pasalnya,  pengesahan RUU tambang pada saat kondisi pandemik Covid-19  dinilai melanggar secara proses dan subtansi.
Selain itu Koordinator Jaringan Advokasi Tambang ( Jatam)  Merah Johansyah menyatakan ada beberapa pasal yang akan menjadi ancaman bagi masyarakat jika RUU Minerba ini disahkan. Misalnya, pasal 165 di RUU Minerba yang memiliki kecenderungan melindungi pejabat korupsi dengan menghilangkan pasal pidana terdapat pejabat yang mengeluarkan izin bermasalah. Padahal sebelumnya, semestinya di sanksi pidana paling lama 2 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 200 juta.
Tidak hanya itu, peneliti Tambang dan Energi Auriga Iqbal Damanik menyatakan, RUU Minerba ini akan memuat perubahan pasal 169 sebagai upaya pemulihan renegosiasi kontrak - kontrak Pemegang Karya Pengusaha Pertambangan Batu Bara (PKP2B). Sehingga hanya akan menguntungkan para pengusaha tambang.
"Bahaya UU ini bisa tetap berlaku meski presiden tidak menandatangani, seperti UU KPK saat ini." ujarnya. (kumparan.com, 5/4/2020)

Wacana mengesahkan RUU Minerba dengan terburu-buru menimbulkan aroma tak sedap. Alih-alih selaras dengan prinsip pengarusutamaan kepetingan bangsa, motif utama yang mengemuka dalam revisi UU Minerba justru terkesan lebih mengakomodasi kepentingan segelintir elit atau kapitalis saja. Sudah menjadi rahasia publik, ada tujuh pertambangan batu bara yang akan habis masa kontraknya. Umumnya merupakan Pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B)  generasi pertama dengan kapasitas produksi terbesar. Jika RUU ini sukses disahkan, semakin menegaskan watak rezim kapitalis yang abai terhadap kemaslahatan rakyat dan berorientasi keuntungan materi.

Dalam sistem kapitalisme, peran negara yang seharusnya menjadi pengelola kekayaan alam, kini bergeser menjadi sekedar regulator pengelola kekayaan alam. Negara bukan lagi satu-satunya pengelola kekayaan alam milik rakyat. Sebab negara mengizinkan asing/swasta ikut mengelolanya.

Dalam sistem ekonomi kapitalis, pemilik modallah yang berhak untuk menguasai berbagai sektor penting termasuk sumber daya alam. Kekayaan alam dirampok secara institusional sehingga swasta atau asing dengan leluasa merampas harta kekayaan umat. Negara tidak memiliki independensi menyusun aturan. Ini dibuktikan dengan keberadaan udang - undang yang pembuatannya di intervensi asing.

Berbeda dengan kapitalisme yang melegalkan swasta atau asing menguasai sumber daya alam. Dalam sistem Islam mewajibkan negara untuk mengelola dan menjamin kepemilikan individu, kepemilkan umum dan kepemilikan negara. Semua diatur dan dibatasi dengan hukum syariah dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun.
Mengacu pada hadis Rasullah Saw.,
" Bahwa manusia berserikat dalam tiga hal air, padang gembala dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Pengelolaan kepemilikan umum seperti yang disebutkan di dalam hadis tersebut dilakukan oleh negara tidak boleh diserahkan oleh swasta atau asing dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk seperti uang, barang, atau membangun sekolah - sekolah gratis, rumah sakit gratis dan pelayanan umum.
Dalam hadis di atas juga menegaskan bahwa yang termasuk harta milik umum yang menguasai hajat hidup masyarakat adalah semua kekayaan alam yang bersifat pembentukannya mẹnghalangi individu untuk mengeksploitasinya.

Hanya dengan Islam lah pengelolaan SDA ditangani dengan baik oleh negara untuk tercapainya kesejahteraan umat. Sudah saatnya negeri yang kaya raya ini menyudahi penerapan sistem dan hukum jahiliyah lalu diganti dengan sistem ekonomi Islam dibawah istitusi Khilạfah Islamiyah.
Wallahu A'lam Bishshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak