Oleh : Desi Anggraini
Pendidik Palembang
Konsep Kartu Pra Kerja yang dibanggakan Presiden Joko Widodo sangat tidak tepat diterapkan saat pandemil Corona virus disease 2019 (Covid-19). Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menilai bahwa Kartu Pra Kerja diterapkan saat kondisi perekonomian sedang normal. Saat tidak ada wabah dan badai ekonomi, Indonesia memang butuh SDM yang unggul dan memiliki skill yang baik. Sementara Kartu Pra Kerja bisa menjadi jawaban dengan memberikan pelatihan online, maupun offline.
Tapi saat terjadi pagebluk Covid-19, program ini tidak perlu diluncurkan. Apalagi sampai harus menaikkan anggarannya hingga 100 persen, dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun untuk 5,6 juta orang.
“Ini kayak "Jaka Sembung" naik ojek (nggak nyambung), karena korban PHK sekarang enggak perlu dikasih pelatihan secara online gitu ya,” terangnya dalam diskusi online bertajuk “Dampak Ekonomi Covid-19 dan Telaah Paket Corona ala Pemerintah RI”, Minggu (12/4).
Menurutnya, di saat krisis seperti saat ini, masyarakat dan para korban PHK lebih membutuhkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dibanding Kartu Pra Kerja. Terlebih program Kartu Pra Kerja mengharuskan mereka mengikuti pelatihan online agar menerima bantuan. Sementara dana Kartu Pra Kerja yang digelontorkan juga akan terpotong untuk para penyelenggara.
"Jadi ini yang sedang kita gugat, bahwa ini kan orang butuh makan, bukan butuh pelatihan. Apalagi secara online. Di mana pekerja informal bahkan formal juga sebagian belum terbiasa melakukan pelatihan secara online,” terangnya. (Rmol.id/12/4/2020).
Program Kartu Prakerja juga dianggap belum tepat sasaran dan berpotensi memunculkan moral hazard. Yaitu ketika ada bantuan diberi cuma-cuma, akan ada kecenderungan masyarakat memanfaatkan hal ini, yang sebenarnya mereka bukan bagian dari target yang dimaksud lalu merasa berhak mendapat bantuan.
Sebenarnya fenomena itu tidak sepenuhnya salah mereka. Sebab, masyarakat kita yang terbiasa bayar dan menanggung kebutuhan sendiri, tentu sangat bergembira menyambut sesuatu yang dinilai langka. Langka dalam arti karena selama ini memang rakyat hidup sendiri.
Minim bantuan dan ‘dipaksa’ mandiri secara ekonomi. Saat ada sesuatu yang gratis, hal itu bagai mata air di tengah padang pasir. Saking langkanya dan hampir jarang pemerintah memenuhi kebutuhan mereka.
Di sisi lain, benarkah insentif yang diberikan mampu mendongkrak ekonomi rakyat? Sementara selama ini negara abai terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat. Insentif itu tak semestinya bersifat insidental.
Memang sudah semestinya negara memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Bukan sekadar seremonial tersebab pandemi. Seandainya wabah tidak terjadi, apa iya insentif berupa bantuan-bantuan sosial itu bakal diberi secara gratis? Sepertinya tidak.
Jadi, saat wabah ini berakhir, masyarakat kembali menelan ludah. Kembali merasakan susahnya menikmati hidup sejahtera. Kembali menahan derita sebagai rakyat miskin.
Program padat karya maupun Kartu Prakerja juga menjadi indikasi kegagalan pemerintah menciptakan lapangan kerja bagi penduduk pribumi. Sekali lagi, kebijakan yang seakan pro-rakyat ini sifatnya sementara bukan permanen.
Tidak hanya itu, dilema juga melanda pelaku usaha dan para buruh. Pemerintah meminta pengusaha tidak melakukan PHK terhadap pekerja. Perusahaan sendiri juga berada di persimpangan jalan: Tidak mem-PHK pekerja bakal membebani bisnis mereka,Mem-PHK pekerja diprotes pekerja dan pemerintah.
Ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia Provinsi DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, mengaku perusahaan terpaksa melakukan PHK. Meski mendapat stimulus dari pemerintah, hal itu tidak mengurangi anjloknya cashflow perusahaan. Stimulus itu hanya mengurangi dari sisi pajak dan cicilan pinjaman.
Dari aspek buruh, kegalauan menanti. Bagaimana pun, PHK pasti berdampak pada penghasilan yang mereka berikan pada keluarga. Di tengah pandemi mereka harus berjibaku mempertahankan diri dari virus dan pekerjaan.
Belum ada jaminan 1,2 juta pekerja yang terdampak Covid-19 mendapat Kartu Prakerja. Selalu ada seleksi. Buktinya, pekerja diminta melakukan pendaftaran untuk mendapatkan Kartu Prakerja. Bagi yang lolos, bisa berlega hati. Namun, bagi yang tidak lolos, bagaimana nasibnya?
Melihat lemahnya perekonomian yang ditopang kapitalisme, bukankah ini saatnya berbenah? Sistem ekonomi yang cenderung labil dan rawan krisis sudah saatnya di-uninstall. Pandemi Corona hendak menunjukkan kepada kita bahwa cara kerja kapitalisme tak mampu menahan kerusakan yang menumpuk.
Sedikit lagi sistem ini ambruk bersama dengan berakhirnya pandemi. Sudah saatnya menginstal ulang sistem yang mampu bertahan selama 13 abad lamanya. Sistem ekonomi yang antikrisis dan lebih stabil, yaitu syariat Islam. Mau menunggu berapa lama lagi?
Wallahua’lam bi showab.
Tags
Opini