Oleh : Rut Sri Wahyuningsih
Penulis dan Umm wa Rabbatul Bait
Dalam sebuah laporan surat kabar, Presiden AS Donald Trump dikabarkan telah menawar hak eksklusif atas vaksin yang sedang dikembangkan oleh perusahaan bio farmasi CureVac, Jerman, sebesar 1 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 15 triliun.
Merespons kabar tersebut, para menteri Jerman tidak lain langsung dirundung amarah. "Jerman tidak untuk dijual," ujar Menteri Ekonomi Jerman, Peter Altmaier saat diwawancarai oleh penyiar ARD seperti dimuat The Guardian, Senin, 16 Maret 2020.
Heiko Mass, Menteri Luar Negeri Jerman juga mengatakan, "Para peneliti Jerman mengambil peran utama dalam mengembangkan obat-obatan dan vaksin sebagai bagian dari jaringan kerja sama global. Kami tidak dapat membiarkan situasi di mana orang lain ingin secara eksklusif memperoleh hasil penelitian mereka," lanjutnya.
Pemerintah Jerman sendiri mengaku telah menawarkan insentif keuangan sendiri kepada CureVac untuk mendapatkan vaksin tersebut.
Sementara itu, anggota parlemen di komite kesehatan, Erwin Ruddel mengatakan, "saat ini bukan kepentingan nasional yang menjadi prioritas, melainkan kerja sama agar bisa menangani wabah dengan segera"
Sedangkan Kepala Investor CureVac sendiri, Dietmar Hopp mengungkapkan mereka tidak akan menjual vaksin kepada salah satu negara. "Jika kita berhasil mengembangkan vaksin yang efektif, maka itu akan membantu dan melindungi orang di seluruh dunia." ( RMOL.co.id, 16/3/2020).
Pandemi Covid 19 bisa menjadi bukti bahwa negara besar melakukan semua cara untuk mengkomersialisasi penyakit. Jiwa pedagang mereka muncul diantara kebutuhan masyarakat yang semestinya tidak diambil keuntungan darinya. Melainkan saling bahu membahu segera melakukan upaya terbaik guna pandemi ini segera berakhir.
Baik dari sisi penanganan langsung, pengadaan sarana dan prasarana pendukung terlaksananya penanganan langsung, tenaga profesionalnya maupun terkait penelitian guna menemukan obat terbaik memberantas Covid-19.
Kapitalisme memang sedemikian kuat mempengaruhi wajah perekonomian dunia. Bahkan organisasi dunia sekelas PBB, ,KTT, G-20 dan lain-lain tak mampu mengendalikan negara yang terkena virus, untuk hanya berdiam diri di rumah. Mereka terlalu sibuk mengurusi gejolak perekonomian yang makin merosot.
Di Indonesia pun demikian. Ditengah ketidakpastian menteri ekonomi Sri Mulyani mengumumkan agar memanfaatkan peluang ditengah kewaspadaan menghadapi pandemi dengan cara mengekspor APD. Padahal pada impor masker terakhir diketahui bermerk Indonesia.
Jika sudah bisa megekspor barang-barang yang amat dibutuhkan dalam situasi ini mengapa di dalam negeri sendiri ketersediaan barang masih terbatas? Bahkan tergolong mahal dan rakyatpun sama, mengambil peluang dengan menaikkan harga setiap APD atau apapun yang berhubungan dengan Covid-19.
Bantuan dari berbagai negara dan wilayah berdatangan. Simpati berhamburan sebab pandemi ini adalah persoalan bersama. Hanya saja penyikapannya yang benar terhalang oleh sistem yang buruk ini.
Bandingkan dengan Islam yang mengatasi penyakit dengan upaya maksimal didorong ketakwaan dan mewujudkan rahmatan lil alamin. Para Khalifah pada masa kejayaan Islam tak pernah setengah-setengah ketika di wilayahnya terkena bencana atau wabah.
Semua aspek diperuntukkan keselamatan dan kesejahteraan. Sebab itulah fungsi yang sebenarnya dari seorang pemimpin . Negara sebagai Ra' in , artiannya negara adalah bagi masyarakat.
Jika jiwa pedagang yang dikedepankan, maka ia hanya melihat penderitaan pun sebagai komoditas. Tak ada fokus kepada penanganan gratis dan profesional. Semua dikaitkan dengan untung dan rugi. Jika selain syariat Islam yang digunakan sebagai pengatur masyarakat jelas akan terus mengalami Rahmatan Lil korpotokrasi.
Merekalah yang " menguasai" negara sehingga kebijakan penguasa lebih banyak dipengaruhi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dalam kapitalisme bohong besar jika semua atas nama rakyat. Lantas, belum saatnya kah kesadaran bahwa Islam adalah solusi tuntas persoalan umat? Wallahu a' lam bish Showab.
Tags
Opini