Oleh: Silvi F. Rachman, S.Pd*
Selama sepekan ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna Laoly dikecam banyak pihak karena dianggap berniat membebaskan narapidana di tengah wabah Covid-19 di Indonesia. Hal itu seiring dengan keputusan untuk membebaskan sekian ribu napi umum dan anak-anak untuk mengurangi risiko terpapar virus Corona.
Proses pembebasan mereka diketahui dimulai sejak Selasa (31/3/2020) lalu dan hingga kini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM mencatat, ada 35.676 narapidana yang telah dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan per Selasa (8/4/2020) ini. (nasional.kompas.com/11/04/20)
Mereka dibebaskan melalui program asimilasi dan integrasi sebagai bentuk pencegahan penyebaran virus corona (Covid-19) di wilayah lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di Indonesia. Asimilasi adalah pembinaan narapidana dewasa dan anak dengan membiarkan mereka hidup berbaur di lingkungan masyarakat.
Sementara, integrasi adalah narapidana yang telah memenuhi syarat-syarat pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas. Namun, sesuai dengan Peraturan Menkumham Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19, napi yang dibebaskan itu bukan yang terjerat kasus korupsi, narkotika, terorisme, kejahatan keamanan negara, kejahatan HAM, kejahatan transnasional dan warga negara asing. Kebijakan ini diklaim akan menghemat anggaran negara untuk kebutuhan warga binaan pemasyarakatan hingga Rp 260 miliar.
Walaupun bebasnya napi tersebut telah mendapatkan jaminan dari Kemenkumham karena para napi masih dalam pantauan petugas lapas, namun ini tentunya menimbulkan keresahan baru di tengah masyarakat. Karena tak jarang para napi yang baru dibebaskan justru kembali berbuat ulah. Sayangnya hal ini telah terjadi di beberapa lokasi. Sehingga warga selain harus mencemaskan wabah, juga harus mencemaskan keselamatan mereka dari para napi. (m.kumparan.com/11/04/20)
Lantas, bagaimana bisa pemerintah mengambil kebijakan tersebut? Rupanya pemerintah hanyalah sekedar mengikuti arahan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Di tengah pandemi corona, penjara menjadi tempat yang berisiko. Persoalannya, banyak penjara yang tak layak huni lantaran kelebihan kapasitas. Kebijakan jaga jarak alias social distancing mustahil diterapkan.
Hingga akhirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak pemerintah negara-negara di dunia untuk membebaskan narapidana berisiko rendah. Kebijakan yang didikte tersebut jelas memperlihatkan bahwa pemerintah meski berdaulat sekalipun masih saja tak punya keberanian untuk melepaskan diri dari dikte pihak asing.
Hal itu bisa dimengerti karena posisinya yang hanyalah sekedar menjadi negara pengekor. Dan tetap akan berada dalam posisi demikian jika masih menjadikan Kapitalisme sebagai kiblat urusan kenegaraan, politik, ekonomi, serta masalah kehidupan lainnya. Jalan satu-satunya untuk keluar dari krisis ketidakmandirian dan ketidakpercayaan ini hanya bisa terjadi jika kita tak lagi menerapkan Kapitalisme sebagai sistem hidup.
Hanya Khilafah yang menerapkan Islam sajalah yang mampu mengentaskan negeri-negeri muslim dari dikte-dikte asing. Hal ini dikarenakan, Khilafah memiliki ideologi berbeda, yakni ideologi Islam yang menegasikan/meniadakan segala ketundukan pada sistem buatan manusia. Islam memiliki prinsip dasar tauhid yang mengizinkan Allah sebagai pengatur dunia dan seisinya.
Konsekuensinya, aturan hukum Allah Azza wa Jalla tidak boleh dikalahkan oleh hukum manusia, seberapa besar pun kuasanya. Untuk menjaga agar kekuasaan tidak berakhir pada kesewenang-wenangan, Islam telah mengatur “Empat Pilar” prinsip kekuasaan Khilafah.
Pertama, kedaulatan di tangan syara (as-siyâdatu li asy-syar’iy). Artinya, yang berhak menetapkan hukum benar-salah, halal dan haram, terpuji-tercela, dan dosa-pahala adalah hukum syara. “Hukum itu hanyalah milik Allah” (TQS. Yusuf :40).
Kedua, kekuasaan di tangan umat (as-sulthânu lil ummah). Artinya, pemimpin hanyalah yang dipilih oleh umat untuk menerapkan syariat. Tidak ada kekuasaan untuk melayani sekelompok tertentu dalam masyarakat, seperti putra mahkota misalnya.
Ketiga, adopsi hukum berada di tangan khalifah. Dalam perkara-perkara individual, hukum diserahkan kepada hasil ijtihad para mujtahid. Perbedaan pendapat dijamin. Sementara, dalam masalah sistem (sosial, politik, ekonomi) khalifah mengambil salah satu pendapat terkuat diantara pendapat para mujtahid yang telah digali dari sumber-sumber hukum Islam. Hukum Islam yang diadopsi oleh khalifah inilah yang berlaku di tengah masyarakat.
Keempat, menyatukan kaum Muslimin dengan mengangkat hanya satu orang khalifah untuk seluruh dunia.
Empat pilar itulah yang menjadi sebuah tatanan mendasar dan mencegah penyelewengan kekuasaan. Bukti kompatibilitas Khilafah dalam menyelesaikan persoalan tampak dalam supremasinya yang mampu bertahan hingga hampir 14 abad. Maka sudah selayaknya sebagai seorang muslim, kita berjuang untuk mengembalikan Islam menjadi ideologi di tengah umat.
*(Pemerhati Generasi dan Politik)
Tags
Opini