Oleh : Iin S, SP
Pada 11 Maret 2020, WHO menetapkan wabah virus COVID-19 sebagai pandemi global, kebijakan lockdown telah diterapkan diberbagai negara untuk memutus rantai penularan wabah tersebut.
Sayangnya pemerintah Indonesia tidak melakukan karantina wilayah sebagaimana negara-negara lainnya. Dengan berbagai pertimbangan sosial, budaya, topografi wilayah, dan sebagainya.
Padahal Indonesia sudah mempunyai payung hukum soal kebijakan karantina. Hal ini tertuang dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. UU diteken Presiden Jokowi pada 7 Agustus 2018 dan diundangkan sehari kemudian. Dalam UU tersebut, terdapat tiga jenis karantina: rumah; rumah sakit; dan wilayah.
Pasal 50, Karantina Rumah ditempatkan sebagai karantina jika ditemukan terdapat kasus yang terjadi di satu rumah tersebut.
Pasal 51, Pejabat Karantina Kesehatan wajib memberikan penjelasan kepada penghuni rumah sebelum melakukan tindakan. Penghuni yang dikarantina selain kasus, dikeluarkan dari rumah selama waktu yang telah ditentukan oleh Pejabat Karantina Kesehatan.
Pasal 52, selama dikarantina kebutuhan hidup ditanggung Pemerintah Pusat dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak terkait.
Berikut bunyi Pasal 52 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan:
“(1) Selama penyelenggaraan Rumah Karantina, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan yang sesuai dengan Karantina Rumah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat."
“(2) Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Rumah diizinkan menyetujui ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak-pihak yang terkait."
Jika karantina diberlakukan, maka sesuai pasal 52 ayat 1, Pemerintah wajib untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan ternak, nampaknya pemerintah tidak sanggup untuk menanggung kebutuhan pokok seluruh rakyat Indonesia. Kemudian Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna memutus rantai penularan wabah corona.
Dalam pidatonya Jokowi mengeluarkan program jaring pengaman sosial sebagai upaya menekan dampak wabah virus corona atau Covid-19 di kalangan masyarakat. Dalam keterangan pers secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor (Surabaya.net, 31/3/2020)
Adapun enam program jaring pengaman sosial dalam upaya menekan dampak Covid-19 yaitu :
Pertama, PKH (Program Keluarga Harapan) jumlah penerima dari 9,2 juta jadi 10 juta keluarga penerima manfaat, besaran manfaatnya dinaikkan 25 persen. Misalnya, ibu hamil naik dari Rp. 2,4 juta menjadi Rp. 3 juta per tahun, komponen anak usia dini Rp3 juta per tahun, disabilitas Rp. 2,4 juta per tahun dan kebijakan ini efektif April 2020.
Kedua, soal kartu sembako, jumlah penerimanya akan dinaikkan menjadi 20 juta penerima manfaat dan nilainya naik 30 persen dari Rp. 150 ribu menjadi Rp200 ribu dan akan diberikan selama sembilan bulan.
Ketiga, kartu prakerja yang anggarannya dinaikkan dari Rp. 10 triliun menjadi Rp. 20 triliun. Jumlah penerima manfaat menjadi 5,6 juta orang, terutama untuk pekerja informal dan pelaku usaha mikro dan kecil yang terdampak COVID-19 dan nilai manfaatnya adalah Rp. 650 ribu sampai Rp. 1 juta per bulan selama empat bulan ke depan.
Keempat, terkait tarif listrik untuk pelanggan listrik 450 VA yang jumlahnya sekitar 24 juta pelanggan akan digratiskan selama tiga bulan ke depan, yaitu April, Mei, dan Juni 2020. Untuk tarif pelanggan 900 VA jumlahnya sekitar 7 juta pelanggan akan didiskon 50 persen atau membayar separuh saja untuk April, Mei, dan Juni 2020.
Kelima, untuk mengantisipasi kebutuhan pokok, pemerintah mencadangkan dana Rp25 triliun untuk operasi pasar dan logistik.
Keenam, keringanan pembayaran kredit bagi para pekerja informal, baik ojek online, sopir taksi, UMKM, nelayan, dengan penghasilan harian dan kredit di bawah Rp. 10 miliar.
Jaring Pengaman Sosial Untuk Siapa?
Dengan program ini pemerintah ingin memastikan bahwa negara hadir untuk masyarakat dan ingin mengurangi beban dari masyarakat yang terdampak. Namun kenyataannya program ini hanya gimik belaka, penerima manfaat tidak tepat sasaran sebab terkendala dalam pendataan jumlah penduduk. Apalagi angka kemiskinan dan pengangguran yang terus bertambah akibat wabah, sehingga dana yang dikeluarkan tidak mencukupi dan tidak merata.
Seperti penerima PKH dan kartu sembako, pembagiannya belum merata karena jumlah penerima dengan jumlah penduduk miskin tidak sebanding angkanya. Ditambah adanya wabah Corona angka kemiskinan semakin meningkat. Disamping itu tidak semua lansia mendapatkan manfaat dari PKH jika belum berusia 70 tahun keatas.
Adanya kartu pra kerja sasarannya tidak tepat. Adanya wabah Corona ini pemerintah memberikan pelatihan secara daring, bagaimana dengan pekerja informal atau buruh yang gagap teknologi. Sebab, tidak semua memiliki laptop atau smartphone untuk mengikuti pelatihan berbasis daring, dan tidak semua lapisan pekerja informal bisa mengakses internet. Nantinya jika pelatihan telah usai, perusahaan mana yang siap untuk menerima mereka sebagai tenaga kerja.
Jokowi juga akan menggratiskan tagihan listrik, sayangnya program ini juga tidak merata, pasalnya tidak semua pelanggan listrik 900 VA mendapatkan potongan 50 persen, karena pelanggan 900 VA dibedakan menjadi dua, bersubsidi dan non subsidi. Untuk non subsidi tidak ada potongan pembayaran tagihan listrik walaupun rumah yang ditinggalinya rumah sederhana, ataupun penghuninya berpendapatan rendah. (kompas.com, 5/4/2020). Dan bagaimana dengan pelanggan 1300 VA, sama sekali tidak ada gratisan maupun diskon.
Sekilas program ini seperti solusi dari pemerintah untuk menghadapi COVID-19. Jokowi mengesankan pemerintah menggelontorkan uang banyak, namun sebenarnya tidak sepenuhnya demikian. Ini menunjukkan jika jaring pengaman sosial kapitalis adalah program setengah hati rezim, karena jumlahnya tidak memadai untuk antisipasi wabah, penerimanya sangat terbatas dan persyaratannya tidak mudah ditempuh.
Solusi Islam Dalam Sistem khilafah
Berbeda dengan Islam. Islam hadir sebagai agama Rahmatan Lil'alamin, sehingga segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia selalu ada solusinya. Begitu pula jika terjadi krisis maupun terjadi wabah penyakit.
Seperti pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khaththab pernah mengalami krisis ekonomi yang hebat. Rakyat Daulah Islam kelaparan massal. Yang sakit pun ribuan. Roda ekonomi berjalan terseok-seok. Bahkan sudah sampai level membahayakan.
Krisis ekonomi adalah sunnatullah. Bisa dialami oleh sebuah negara. Termasuk Daulah Islam. Yang menjadi pembeda adalah bagaimana Khalifah peduli dan memikirkan jalan keluar yang tepat dan cepat dalam mengatasi krisis ekonomi ini. Solusi yang tuntas dan menyeluruh. Bukan solusi tambal-sulam. Apalagi hanya sekadar basi-basi penuh pencitraan.
Dalam buku The Great Leader of Umar bin Khathab, Kisah Kehidupan dan Kepemimpinan Khalifah Kedua, diceritakan bahwa pada tahun 18 H, orang-orang di Jazirah Arab tertimpa kelaparan hebat dan kemarau. Kelaparan kian menghebat hingga binatang-binatang buas mendatangi orang. Binatang-binatang ternak mati kelaparan.
Al-Faruq adalah sosok kepala negara yang paling peka perasaannya terhadap musibah itu. Ia amat merasakan beban derita rakyatnya. Ia segera mengambil langkah-langkah penyelesaian yang komprehensif lagi cepat.
Hal pertama adalah menjadi teladan terbaik bagi rakyatnya dalam menghadapi krisis ekonomi ini. Ia mengambil langkah untuk tidak bergaya hidup mewah. Makanan ia seadanya. Bahkan kadarnya sama dengan rakyat yang paling miskin atau bahkan lebih rendah lagi. Ia juga memerintahkan kepada keluarganya agar bersikap yang sama. Ia sungguh-sungguh menjalankannya, bukan semata basa-basi politik. Dengan sikap seperti itu, Umar tahu betul bagaimana sengsaranya beban yang diderita oleh rakyatnya.
Hal kedua yang dilakukan Umar bin Khathab,ra adalah langsung memerintahkan untuk membuat posko-posko bantuan. Diriwayatkan dari Aslam:
Pada tahun kelabu (masa krisis), bangsa Arab dari berbagai penjuru datang ke Madinah. Khalifah Umar ra. menugaskan beberapa orang (jajarannya) untuk menangani mereka. Suatu malam, saya mendengar beliau berkata, “Hitunglah jumlah orang yang makan malam bersama kita.”
Khalifah Umar ra. langsung menugaskan beberapa orang di berbagai penjuru Madinah untuk memantau kondisi rakyat yang berkumpul mencari rezeki di sekitar mereka karena kemarau dan kelaparan yang menimpa mereka. Mereka bertugas membagikan makanan dan lauk-pauk. Sore hari, orang-orang yang ditugaskan berkumpul bersama Umar melaporkan peristiwa yang terjadi. Beliau lalu memberikan pengarahan kepada mereka.
Khalifah Umar ra. memberi makanan kepada orang-orang badui dari Dar ad-Daqiq, sebuah lembaga perekonomian yang berada pada masa pemerintahan Umar. Lembaga ini bertugas membagi tepung, mentega, kurma dan anggur yang berada di gudang kepada orang-orang yang datang ke Madinah sebelum bantuan dari Mesir, Syam dan Irak datang. Dar ad-Daqiq kian diperbesar agar bisa membagi makanan kepada puluhan ribu orang yang datang ke Madinah selama sembilan bulan, sebelum hujan tiba dan memberi penghidupan.
Tatkala menanggulangi krisis, bisa jadi pemerintah pusat tidak mampu menopang seluruh pembiayaan dan kebutuhan yang ada. Ini adalah hal yang lumrah saja. Bisa jadi karena kondisi kas keuangan dan faktor lain yang tidak mencukupi. Ini pun pernah dialami pada masa Khalifah Umar.
Tatkala menghadapi situasi tersebut, langkah ketiga yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab dalam menyelesaikan krisis adalah dengan meminta bantuan ke wilayah atau daerah bagian Kekhilafahan Islam yang kaya dan mampu memberi bantuan, ketika kondisi keuangan Baitul mal tidak mencukupi penanggulangan krisis.
Ini menunjukkan kesigapan pemimpin kaum Muslim dalam menyelesaikan krisis, ketika mendapati pemerintah pusat tidak mampu menutupi semua kebutuhan dalam rangka menyelesaikan krisis. Pemerintah pusat langsung memobilisasi daerah-daerah wilayah Kekhilafahan Islam yang kaya dan mampu untuk membantu menyelesaikan krisis tersebut. Khalifah Umar langsung mengirim surat dan utusan langsung untuk mengurusi hal ini, agar bantuan segera terkondisikan dan disiapkan.
Inilah cara Islam ada dalam menanggulangi krisis bencana. Religius, strategis, totalitas, menyeluruh dan penuh keteladanan. Ini semua dijalankan dalam bingkai keimanan dan ketakwaan dalam Islam.