Ditengah wabah Covid-19 yang belum usai ada segelintir elit politik yang ingin membuat wacana tentang pembebasan narapidana dengan tujuan agar dapat memutus mata rantai penyebaran virus Corona Covid-19. Ide itu muncul menurut Yasonna H. Laoly, selaku Menkumham, bermula datang dari Komisi Tinggi Untuk HAM PBB, Michelle Bachelett, Sub Komite Pencegahan Penyiksaan PBB, yang merekomendasikan agar Indonesia membebaskan sejumlah napinya yang tinggal di lapas dengan kapasitas yang terlalu banyak, sebagaimana yang sudah dilakukan oleh negara luar seperti Iran, Polandia, Amerika dan negara bagian Amerika. Dan kabarnya negara yang tidak membebaskan napi nya terjadi kerusuhan. Yasonna, selaku Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia setelah nya mengajukan wacana pembebasan napi kepada Presiden Joko Widodo untuk di tindak lanjuti dan kabarnya Joko Widodo setuju atas wacana tersebut, namun tidak ada pernyataan akan membebaskan napi koruptor oleh Yasonna. Jumlah narapidana yang akan dibebaskan berkisar 30.000 an dengan kapasitas lapas yang penuh. Wacana pembebasan narapidana tersebut menuai polemik berbagai kalangan.
Sejumlah pihak menyayangkan pembebasan napi koruptor yang tidak tergolong dengan kapasitas lapas yang penuh. Yasonna pun menilai jika ingin membebaskan napi koruptor terhambat dengan keberadaan PP 99/2012, dan Yasonna berencana akan memberikan asimilasi kepada koruptor berusia 60 tahun dan yang telah menjalani 2/3 masa pidana yang diperkirakan berjumlah 300 orang melalui revisi PP tersebut. Sejumlah elit politik mengkritisi wacana yang akan diambil Yasonna. Mereka menganggap pembebasan sejumlah napi seiring dengan akan di bebaskan nya napi koruptor tidak tepat ditengah wabah Covid-19 ini. Sementara Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donald Fariz, menilai bahwa pembebasan napi koruptor merupakan agenda lama yang belum berhasil dilakukan. Sehingga merupakan aji mumpung ketika wabah Corona merebak, agar dapat menjadi alasan dibebaskannya napi koruptor. Dan sebagai peluang agar dapat merevisi PP 99/2012, sehingga napi koruptor bisa keluar bersamaan dengan napi lain. Hal yang sama juga dikomentari oleh Pukat UGM, Zaenurrohman, yang mana wacana tersebut tidaklah tepat ditengah wabah yang melanda kecuali bagi mereka yang mempunyai kondisi kesehatan yang buruk. Karena napi koruptor tergolong tindak kejahatan yang serius sehingga menurut Zen, tidak menjamin menjadi pengurang masa hukuman yang signifikan. Walaupun kabarnya Zaenurrohman atau Zen mendukung sepenuhnya kebijakan Kemenkum HAM untuk mengeluarkan sebagian warga binaan sebagai upaya mengurangi over kapasitas agar dapat terhindar dari penyebaran virus Corona.
(Merdeka.com).
Pernyataan yang sama juga datang dari Menko Polhukam, Mahfud MD, bahwa pemerintah tidak mempunyai rencana untuk merevisi PP 99/2012, karena dari tahun 2015 sudah dinyatakan presiden bahwa tidak akan mengubah dan tidak punya pikiran untuk merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012.
Masyarakat pada umumnya menilai bahwa wacana pembebasan napi koruptor maupun napi lain sangatlah mengkhawatirkan ditengah wabah Covid-19 yang melanda Indonesia. Karena jika napi dibebaskan kemungkinan besar tindak kejahatan juga akan bertambah banyak pula. Faktanya memang terbukti, dimana napi yang setelah dibebaskan kembali melakukan tindak kriminal seperti di Sulawesi Selatan. Di Surabaya, napi yang dibebaskan kembali menjambret. Walaupun kabarnya napi yang berulah kembali ditangkap polisi dan dimasukkan kembali ke tahanan. Direktoral Jenderal Pemasyarakatan juga melaporkan hingga 14 April 2020, terdapat 12 narapidana yang kembali berulah setelah dibebaskan melalui program asimilasi dan integrasi ditengah pandemi Covid-19. (jpnn.com, Selasa, 14/4/2020). Yang sangat mengiris hati rakyat ketika masyarakat Indonesia dilanda kekhwatiran yang sangat ditengah pandemi global ini, pemerintah masih sempat membebankan kepada rakyat dengan kehadiran para napi agar memantau jika mereka berulah lagi. Yang akhirnya dapat mengancam keselamatan jiwa dan hartanya ditambah dengan wabah Covid-19 yang belum mereda.
Begitu juga dengan napi koruptor yang tidak terkategori napi yang berkapasitas penuh di lapas. Sehingga jika napi koruptor ini dibebaskan tidaklah tepat, karena biasanya mereka memiliki ruang sendiri dan tidak berhimpitan seperti napi umum lainnya. Dan telah menerapkan Physical Distancing. Apalagi tindak kejahatan mereka berkaitan dengan urusan keuangan negara yang didalamnya terdapat hak-hak rakyat. Yang bisa menimbulkan ketidakadilan ditengah- tengah masyarakat. Sangat disayangkan jika pemerintah merealisir wacana tersebut. Sementara ketika suara kritikan sampai kepada negara hal ini terus ditindak bahkan dimasukkan kedalam penjara seperti kasus Ali Baharsyah yang dianggap menghina presiden. Namun Mantan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono sangat menyayangkan hal yang dilakukan pemerintah. Karena menurut SBY hal itu tidak pernah terjadi di negara lain. Dan menganggap pemerintah harus introspeksi terhadap kritikan rakyat demi untuk perbaikan apalagi di tengah wabah pandemi Covid-19, yang merasa wajar jika rakyat mengkritisi kebijakan pemerintah karena faktanya pemerintah memang kurang optimal dalam menangani wabah ini, (Suara.com, Kamis, 9/4/2020)). Dan juga menoleh kepada pesan yang pernah dilontarkan oleh almarhum BJ Habibie yang pernah mengatakan bahwa penjara untuk orang-orang yang berbuat kriminal bukan untuk orang yang berpandangan lain. Karena rakyat mana yang tidak bersuara jika melihat kebijakan yang diambil pemerintah tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Seharusnya pemerintah bisa bersikap lebih arif untuk menyikapi hal ini.
Dalam Islam aturan yang diambil bukan karena kejeniusan akal manusia seperti dalam mabda kapitalis sekuler yang hasilnya bisa saja benar dan juga bisa salah. Namun diambil dari Sang Pembuat Hukum yaitu Allah SWT. Sehingga jika terdapat perbedaan pendapat maka harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya yaitu melalui kitabullah dan Sunnah Rasul. Jika manusia seluruhnya mengambil hukum yang berasal dari Allah dan di Wahyu kan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw maka tidak ada suatu masalah yang tidak diberi jalan keluar kecuali solusinya tuntas demi kemaslahatan umat. Tidak ada yang akan dirugikan dalam hal mengambil suatu keputusan, karena pada dasarnya pemimpin/khalifah menjalankan semua atas apa yang diperintahkan dalam Islam. Seperti ditengah wabah Covid-19, koruptor tetaplah koruptor yang tetap diberlakukan baginya hukuman ketika telah nyata perbuatannya melangggar hukum Syara'. Khalifah juga akan tetap fokus dengan keselamatan rakyat dan perbaikan negara khilafah misalnya dengan meminta warga agar mendekatkan diri pada Allah dan bertaubat atas perilaku yang menyimpang dari hukum Syara' agar wabah tha'un cepat berlalu. Hal ini pernah dilakukan para pemimpin Islam ketika menghadapi wabah tha'un saat masa syariat Islam diterapkan.
Seharusnya para pemimpin bisa mencontoh atas apa yang pernah dilakukan para pemimpin Islam sehingga ketenangan dan keridhaan rakyat dapat terwujud atas segala kebijakan yang diambil seperti semasa Islam pernah berjaya. Sehingga tidak ada yang dirugikan dalam hal ini, semuanya akan mendapat perlindungan dari khalifah tanpa memandang warna kulit, suku, maupun agama. Dan semua diadili sesuai dengan perbuatannya karena semata-mata menjalankan perintah Allah. Semoga hikmah yang dapat dipetik dari wabah yang diturunkan Allah agar manusia kembali kepada aturan yang telah diturunkan- Nya, sebagaimana telah diterapkan oleh Rasulullah melalui Wahyu yang diterimanya dengan bingkai khilafah.
Wallahu a'lam bish shawab.