Oleh: Nurul Annisa
(Mahasiswi)
Virus Corona atau Covid-19 yang telah ditetapkan oleh WHO sebagai pandemi ini telah merebak di beberapa negara di luar China dan menjangkiti warga Indonesia sebanyak 3.512 pada tanggal 10 April lalu.
Satu virus yang kasat mata ini sangat luar biasa mengerikan dan berbahaya hingga memberikan dampak pada menurunnya ekonomi di beberapa negara, khususnya Indonesia. Karena pembatasan ruang gerak menjadikan ekonomi masyarakat Indonesia menjadi menurun dan sulit.
Salah satu hal yang amat dianjurkan oleh badan kesehatan dalam menanggulangi penyebaran dan upaya dalam memutus mata rantai penyebaran pandemi ini adalah dengan cara melakukan social distancing dan physical distancing, yaitu menjaga jarak sosial dengan tidak membuat perkumpulan.
Anjuran ini memberikan dampak besar di tengah masyarat, baik pekerjaan maupun pendidikan. Segala bentuk perkumpulan atau pertemuan saat ini dilakukan melalui media online.
Tak hanya memberikan dampak pada masyarakat secara umum, belum lama ini muncul polemik di tengah masyarakat tentang pembebasan napi bersyarat dengan alasan antisipasi penyebaran Covid-19 di Lapas dan Rutan. Dilansir dari cnnindonesia.com, Menkumham telah membebaskan 30.432 narapidana dan anak melalui program asimilasi dan integrasi berkenaan dengan virus Corona.
Data tersebut dirilis per Sabtu (4/4) pukul 14.00 WIB. "Hingga saat ini yang keluar dan bebas 30.432. Melalui asimilasi 22.412 dan integrasi 8.020 Narapidana dan Anak," ujar Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen PAS, Rika Aprianti, kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (4/4). Rika menjelaskan Sumatera Utara menjadi daerah terbanyak yang membebaskan warga binaan dengan jumlah 6.348. Disusul Jawa Timur 2.524, Lampung 2.416, Jawa Tengah 2.003, dan Aceh 1.898.
Lihat :(https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200404203706-12-490361/kemenkumham-telah-bebaskan-30432-napi-demi-cegah-corona)
Menkumham mengklaim bahwa dengan melakukan pembebasan narapidana dan anak akan dapat menghemat anggaran sebesar Rp 260 M, karena dapat menghemat pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan Warga Binaan Pemasyarakatan (WPB) karena WPB telah dirumahkan. Dilansir dari tirto.id, "Penghematan anggaran kebutuhan WBP mencapai 260 an milyar rupiah, selain mengurangi angka overcrowding," ujar Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produkasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Yunaedi melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Rabu (1/4/2020).
Lihat(https://tirto.id/bebaskan-30-ribu-napi-kemenkumham-klaim-hemat-anggaran-rp260-m-eKbF )
Yang amat menjadi pertentangan di masyarakat adalah karena napi koruptor yang telah berusia lanjut (+60th) menjadi bagian dari napi yang akan dibebaskan melalui program asimilasi dan integrasi berkenaan dengan virus Corona. Berkenaan dengan hal ini, pertentangan disampaikan oleh Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Fariz dalam nasional.kompas.com, beliau menilai Yasonna selaku Menkumham sengaja memanfaatkan wabah Covid-19 sebagai justifikasi untuk merevisi aturan tersebut.
"Wacana ini dimunculkan bisa kita sebut aji mumpung, bisa juga kita melihat sebagai peluang, sehingga ada akal-akalan untuk mengaitkan kasus corona yang terjadi saat ini dengan upaya untuk merevisi PP 99/2012 agar narapidana kasus korupsi bisa menjadi lebih cepat keluar dari selnya," kata Donald dalam konferensi pers, Kamis (2/4/2020) lalu.
Wacana pembebasan koruptor ini menurut Donald adalah aji mumpung bagi Menkumham yang dilakukan untuk memudahkan jalan para koruptor untuk bebas dengan alasan pencegahan virus Corona. Dilansir dari nasional.kompas.com, Donald menyampaikan bahwa saat Yasona menjabat sebagai Menkumham pada periode pertama, wacana revisi itu telah muncul, yaitu tahun 2015.
Karena itu, Donald menilai wacana tersebut tidak didasari oleh alasan kemanusiaan, melainkan untuk meringankan hukuman para koruptor. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, napi koruptor tidak tinggal di sel yang penuh, sebagaimana napi umum lainnya. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi Yasonna untuk membebaskan mereka dengan alasan mengurangi kepadatan ruang tahanan. "Perlu kami tegaskan terhadap napi korupsi yang selama ini dalam pemahaman kami kapasitas selnya tidak penuh, tidak seperti sel napi pidana umum, tidak ada alasan untuk dilakukan pembebasan," kata Ghufron. (nasional.kompas.com)
Lihat(https://nasional.kompas.com/read/2020/04/05/08104801/polemik-pembebasan-napi-koruptor-saat-wabah-covid-19-merebak)
Dengan bermunculannya berbagai kontra terkait pembebasan napi, khususnya pidana koruptor, hal ini membuat masyarakat tahu tentang bagaimana sebenarnya kondisi para koruptor di tahanan. Beberapa tokoh di atas menyampaikan napi koruptor ini memiliki sel yang tidak sama dengan napi pidana umumnya.
Mereka tidak merasakan desak-desakan di dalam sel sehingga secara tidak langsung para napi koruptor ini mendapatkan perlakuan khusus yang bermuara pada ketidakadilan dalam pemberian hukuman dan sanksi dalam sistem saat ini.
Polemik tentang pembebasan napi ini menjadi bukti bahwa pemerintah tidak serius dalam mengatasi masalah kriminalitas di Indonesia, khususnya korupsi. Padahal korupsi adalah kejahatan yang tidak hanya memberikan dampak pada beberapa orang terkait saja, tetapi kepada seluruh masyarakat Indonesia yang hak mereka tidak tertunaikan karena dana yang seharusnya diperuntukkan buat rakyat malah dikorupsi oleh para koruptor, sehingga menjadikan masyarakat tidak mendapatkan haknya sebagai warga negara.
Kebijakan atas pembebasan narapidana yang dilakukan oleh Menkumham bukan malah menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia saat ini, tetapi malah menambah masalah karena masyarakat menjadi lebih cemas, takut dan was-was karena dibebaskannya para napi di tengah kondisi ekonomi yang buruk saat ini. Karena sudah tidak lagi berada di dalam sel, para napi ini lebih mudah untuk melakukan kemungkinan-kemungkinan kejahatan yang pernah diperbuat sebelumnya.
Misalnya kondisi saat ini banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan karena instansi tempat mereka bekerja mengalami penurunan omset sehingga mengharuskan perusahaan atau kantor memberhentikan pegawainya.
Dengan kondisi ini ekonomi masyarakat pun menjadi susah dan seolah semakin sempit karena dibatasinya ruang gerak, khususnya untuk bekerja mencari nafkah. Dari video yang menayangkan blusukan kru Muslimah Media Center (MMC) yang menanyakan kepada masyarakat tentang pembebasan napi.
Pendapat sebagian besar mereka was-was dan takut karena peluang kriminalitas di luar sana menjadi semakin besar, karena sudahlah kondisi ekonomi menurun karena dampak virus Corona, serta orang-orang yang pernah melakukan kriminalitas dan belum menyelesaikan masa tahanan yang telah ditetapkan dibebaskan melalui kebijakan Menkumham.
Islam sebagai agama yang sempurna lagi paripurna telah memberikan solusi yang amat sangat sempurna dan menyelesaikan hingga akarnya sehingga tidak menimbulkan masalah baru melalui kebijakan baru.
Apabila kita melihat dengan sudut pandang Islam kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk membebaskan napi ini adalah kebijakan yang tidak tepat, karena hanya mempertimbangkan penghematan dana dengan membebaskan puluhan ribu napi. Belum tentu pula penghematan dana tersebut digunakan untuk dana pengadaan APD atau terkait satgas Covid-19.
Dalam penerapan Islam kaffah, negera menjadikan Alquran dan As sunnah sebagai pedoman dalam menjalankan dan mengatur kehidupan. Sistem sanksi di dalam Islam akan memberikan hukuman atau sanksi kepada mereka yang melakukan pelanggaran syari’at.
Pelanggaran tersebut akan dikenakan sanksi tergantung pada jenis pelanggarannya, bisa berupa hudud, jinayat, ta’zir atau mukholafat. Tidak pandang bulu, para penegak hukum tidak main-main dalam memberikan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan karena mereka sangat takut untuk mengingkari seruan Allah berupa penegakan hukum Islam secara adil dan sempurna.
Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. An-Nahl:116, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini hakak dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sungguh orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung”.
Wallahu’alam bishawab.