Oleh Fitriani S.Pd ( Penulis dan Pemerhati Umat )
Adalah RA Kartini, seorang pahlawan wanita yang katanya berjasa dalam memperjuangkan kesetaraan perempuan Indonesia. Namanya menjadi salah satu ikon para pejuang kesetaraan gender. Menjadi penguat hujah mereka, agar para perempuan semakin yakin bahwa persamaan laki-laki dan perempuan, memang patut diperjuangkan.
Maka tak heran jika setiap tanggal 21 April selalu diperingati sebagai hari Kartini, walaupun istri dari RMAA Singgih Djojo Adbhiningrat ini sudah meninggal 17 September 1904 silam. Di momen inilah para pejuang gender kembali menyemangati perempuan agar tidak terkekang dengan tugas rumah tangganya. Memotivasi mereka agar mau berkarier dan bersaing dengan laki-laki di luaran sana. Itulah mengapa setiap tahun perayaannya selalu melibatkan para perempuan di dalamnya. Selain tradisi rutin memakai pakaian adat, kaum hawa di berbagai daerah juga menggelar sejumlah kegiatan unik dalam memeriahkan Hari Kartini.
Seperti perayaan hari Kartini di Pantai Kuta, Bali. Sejumlah wanita berselancar menaklukkan ombak dengan mengenakan kebaya. Ada pula penari yang menampilkan tarian bertema "Habis Gelap Terbitlah Terang" saat kegiatan 21 jam "Ruang Tanpa Batas" di Taman Cikapayang Dago, Bandung, Jawa Barat. Sementara di Makassar, Sulawesi Selatan, anggota Persatuan Istri Tentara (Persit) melakukan parade menggunakan sarung dalam kegiatan bertajuk Festival Sarung 2019 di area Monumen Mandala. ( Kompas.com, 21/05/2019)
Kesetaraan Gender : Ide Kaum Feminis
Sesungguhnya para kaum feminis Barat tidak pernah bosan mengampanyekan idenya ke tengah-tengah perempuan muslim. Momen peringatan seperti hari Kartini mereka manfaatkan untuk menipu para wanita, agar mereka beranggapan bahwa perjuangan feminisme memiliki akar di negerinya sendiri, yaitu perjuangan Kartini.
Parahnya, mereka sering kali menuduh Islam sebagai penghambat tercapainya kesetaraan dan kemajuan kaum perempuan. Menurut mereka, Islam terlalu kaku dan menghilangkan hak-hak perempuan. Mereka menganggap bahwa ketaatan istri terhadap suami yang diatur dalam Islam terlalu berlebihan. Poligami dianggap sebagai bentuk ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan, sehingga menimbulkan potensi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan lain-lainnya. Sementara itu, peran domestik perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dianggap sebagai peran rendahan dan tak bermutu. Pakaian syar’i yang diatur dalam Islam untuk perempuan juga dianggap mengungkung kebebasan berekspresi mereka.
Inilah paham yang senantiasa disusupkan ke dalam pemikiran para perempuan. Hingga perempuan menjadi minder, tidak percaya diri, rendah diri, merasa terhina jika tidak bekerja alias hanya tinggal di rumah saja. Akibatnya, mereka berebut peran di ranah publik, bersaing kerja dengan laki-laki, menghabiskan lebih banyak waktu dan tenaganya di tempat kerja dan mengunci rapat-rapat fitrahnya.
Ide ini tentu berjalan begitu mulus, karena sistem sekuler dan kapitalis yang diterapkan di negeri ini sangat mendukung sepenuhnya ide ini. Himpitan ekonomi yang terjadi berkat penerapan sistem bobrok inilah yang justru, telah memaksa perempuan mengambil peran ganda sebagai ibu dan juga wanita karier, agar asap dapur tetap mengepul.
Apalagi lewat sistem sekuler yaitu pemisahan agama dari kehidupan, membuat perempuan menghalalkan segala cara untuk memperoleh materi sebanyak-banyaknya. Bahkan melupakan peran utamanya di rumah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Maka tak mengherankan, jika hari ini banyak bermunculam kasus perceraian, pelecehan seksual, pornografi, KDRT, anak terlantar hingga kasus kekerasan terhadap perempuan yang semakin meningkat dan lain sebagainya.
Inilah kemudian yang menjadi bukti bahwa sistem sekuler kapitalis telah gagal mengentaskan perempuan dari kemiskinan dan kelaparan akibat ketidakadilan sumber daya ekonomi. Sistem ini juga telah gagal memberikan keamanan dan perlindungan kepada kaum perempuan.
Andai Kartini masih Hidup
Jika melihat sejarah perjuangannya, maka kita akan menemukan fakta bahwa yang diperjuangkan oleh kartini bukanlah menuntut kesetaraan gender, seperti yang dipahami selama ini.
Dalam buku Kartini yang fenomenal berjudul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang), R.A Kartini saat itu menuliskan kegelisahan hatinya menyaksikan wanita Jawa yang terkungkung adat sedemikian rupa. Beliau kemudian menginginkan hak pendidikan untuk kaum wanita sama dengan laki-laki, tidak lebih. Hal ini Kartini lakukan karena menurutnya, ilmu yang diperoleh para wanita melalui pendidikan bisa dijadikan sebagai bekal mendidik anak-anak kelak, agar menjadi generasi berkualitas. Sebab bukankah anak yang dibesarkan dari ibu yang berpendidikan akan sangat berbeda kualitasnya dengan mereka yang dibesarkan secara asal? Inilah yang berusaha diperjuangkan Kartini saat itu.
Ini sebagaimana terlihat dalam tulisan Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya pada 4 Oktober 1902, yang isinya berbunyi; “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
Demikianlah, Kartini adalah sosok yang mengajak setiap perempuan memegang teguh ajaran agamanya. Menjalankan perannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga yang berkualitas. Surat Kartini di atas setidaknya menunjukkan bahwa Kartini berjuang dalam rangka mengubah keadaan perempuan pada saat itu agar dapat mendapatkan haknya, di antaranya menuntut pendidikan dan pengajaran untuk kaum perempuan yang juga merupakan kewajibannya dalam Islam, bukan berjuang menuntut kesetaraan (emansipasi) antara perempuan dan pria sebagaimana yang diklaim oleh para pengusung ide feminis.
Apa yang dituduhkan kaum feminis terhadap aturan Islam yang katanya mengekang perempuan juga tidak benar. Justru Islamlah, agama yang telah mengangkat martabat dan kehormatan perempuan. Menjadikan mereka mulia dan terhormat. Lewat sistem ekonomi yang ada pada Islam contohnya, terbukti telah menjadikan perempuan fokus menjalankan perannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dengan baik, tanpa harus dipusingkan dengan harga biaya hidup. Sebab kewajiban tersebut sudah Allah bebankan kepada laki-laki, bahkan kepada negara.
Maka kita sebagai perempuan muslimah, harusnya ikut memperjuangkan penerapan Islam secara komprehensif, dengan tegaknya sistem Islam dalam bingkai negara. Sebab hanya Islamlah satu-satunya yang dapat menjamin hak-hak perempuan. Menjamin kemuliaan dan kehormatan, serta keadilan yang hakiki sebagaimana yang diperjuangkan oleh Kartini dulu. Wallahu A’lam Bissawab
Tags
Opini