(Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis)
Menurut catatan tahunan (Catahu) Komnas Perempuan sepanjang 2014-2019, tentang 25 Tahun Pelaksanaan Kesepakatan Global Beijing Platform for Action (BPfA+25) di Indonesia, kelompok WHRD (women human’s right defender) mengalami risiko lebih tinggi di Indonesia dibanding kelompok LGBT, kelompok minoritas agama korban intoleransi agama, aktivis antikorupsi, dan dari komunitas masyarakat adat. (www.komnasperempuan.go.id, 30 september 2019)
Dan kebangkitan konservatisme di Indonesia sejak tahun 2000 didakwa menjadi penyebab catatan buruk capaian Human Rights of Women. Setidaknya ada 421 kebijakan diskriminatif dalam kurun waktu 2000-2016.
“Menggeliatnya konservatisme melalui formalisasi kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas ke dalam tubuh negara. Meningkatnya diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok minoritas juga diperkuat oleh MUI,” demikian kutipan tersebut.
Masih menurut laporan yang sama, ada 3 (tiga) lapisan persoalan serius yang mendorong kebijakan diskriminatif yaitu lapisan konseptual, struktural dan politik.
Aspek konseptual para pengambil kebijakan dianggap belum memahami secara baik perihal jaminan konstitusi atas hak asasi perempuan dan kesetaraan substantif.
Lalu persoalan struktural otoritas nasional dalam mengontrol peraturan perundang-undangan. Lapis kedua ini dinilai justru menghadirkan pelembagaan kebijakan yang inkonstitusional dan diskriminatif.
Terakhir persoalan elite politik yang menggunakan politisasi identitas berbasis agama untuk memenangkan pertarungan kuasa. Semua pihak bermasalah menurut kacamata komnas feminisme ini.
Kalau kita mengamati muatan yang ada dalam laporan tersebut, sangat kentara sekali bahwa kaum feminis masih terus berupaya menjajakan ide kesetaraan gender di tengah ketertindasan dunia di bawah hegemoni raksasa kapitalisme.
Mereka berhalusinasi mewujudkan kehidupan yang harmonis tanpa diskriminasi, sejahtera, dan berkeadilan bagi perempuan.
Feminisme menolak realitas, berjalan di atas angan - angan. Setiap jengkal tempat dan situasi yang mereka potret sebagai bentuk penindasan terhadap perempuan di sana diterapkan sistem kapitalisme, bukan sistem Islam secara pasti.
Maka dengan berpikir secara benar, berpijak pada fakta akan mengantarkan pada hakikat masalah, bahwa dunia benar-benar hancur dalam buaian sistem kapitalisme imperialis.
Adapun perempuan merupakan korban yang tak berdaya tanpa adanya jaminan pemenuhan hak-hak syar’i perempuan oleh negara.
Maka, kalau kita perhatikan dengan seksama, apa yang mereka sebut sebagai perjuangan mencapai kesejahteraan perempuan, adalah seperti peribahasa “jauh panggang dari api”. Coba kita perhatikan lagi. Tuntutan mereka untuk membuat perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan para lelaki di bidang ketenagakerjaan, telah menghilangkan sosok perempuan sebagai “ibu dan pengurus rumah tangga”. Dan betapa banyak dampak ikutan karena ini. Masa depan anak – anak yang besar tanpa bimbingan ibunya, adalah kengerian tersendiri untuk masa depan bangsa.
Selanjutnya, masih dari sektor ketenagakerjaan, polemik UMR/UMK yang tak berkesudahan itu bukti posisi perempuan tetap lemah di hadapan korporasi yang telah menguras tenaga mereka, betapapun perempuan sehat fisik dan psikis (adanya tuntutan pelayanan di bidang kesehatan).
Perjuangan kaum feminis dalam hal hak Pendidikan perempuan, juga tidak lepas dari tujuan kahir eksploitasi terhadap perempuan itu sendiri. Pendidikan tinggi bertujuan untuk peningkatan produktivitas kerja. Dalam dunia kapitalisme perempuan sebagai penggerak perekonomian negara. Kecakapan dan keahlian perempuan sangat menentukan kualitas produksi perusahaan.
Maka kebutuhan korporasi sekali lagi menuntut tenaga kerja perempuan untuk meraih pendidikan tinggi. Dengan konsep knowledge based economic (KBE), world class university (WCU), dan RI 4.0 dalam dunia perguruan tinggi, perempuan tidak akan bisa lepas dari jerat kapitalisme.
Yang pada akhirnya, kaum feminis ini berupaya menyamakan po
sisi perempuan dan laki – laki dalam institusi perkawinan. Dari sinilah gugatan kepada Al qur’an dan islam sangat santer kita dengar.
Dan akibatnya, institusi perkawinan tidak lebih dari kesepkatan antara dua orang (wanita dan laki – laki). Dampak ikutannya adalah rusaknya keluarga muslim, sebagai institusi pelindung terakhir kaum muslimin.
Pun pula dalam hal kepemimpinan, perjuangan mereka telah menjadikan para perempuan lebih sibuk di urusan publik dengan melupakan peran domestik, bahkan meski melanggar hokum syara’. Jadi perjuangan mereka menjadikan perempuan lebih berani untuk melanggar aturan agamanya.
Sebenarnya, ide keseteraan gender ini akan tertunduk malu, jika mau mempelajari islam secara menyeluruh. Sungguh, aturan islam telah memuliakan perempuan sesuai dengan kodratnya.
Perempuan dimuliakan dengan peran strategisnya sebagai ummun warabbatul bayt. Perempuan dimuliakan atas tanggung jawab besar di pundaknya untuk mencetak generasi, men-create peradaban agung, dan mengantarkan manusia ke puncak peradaban tertinggi yakni peradaban Islam. Islam juga memberikan hak-hak syar’i bagi perempuan
Dalam islam, perempuan memiliki hak yang sama untuk menjalankan ibadah dan menuntut ilmu. Hanya saja, tujuan menuntut ilmu dalam islam, tidak hanya untuk produktifitas kerja. Karena perempuan menjadi tanggungan walinya/suaminya/anak laki – lakinya atau kerabatnya. Jika karena kondisi Semua tadi tidak mampu menafkahi, maka negara dan kaum muslimin secara umum akan menafkahi wanita tersebut.
Dalam bidang politik, perempuan boleh memilih pemimpin (Khalifah) yang dia kehendaki, juga boleh memilih wakilnya dalam majelis umat. Perempuan juga berhak untuk dipilih menjadi anggota majelis umat. Memang untuk jabatan tertentu, perempuan di larang menjabat, Semua itu sebenarnya dalam rangka menjaga kehormatan dari perempuan itu sendiri.
Demikian pula dalam hal kesehatan, maka sebagai bagian dari warga negara, perempuan memiliki hak yang sama dengan para lelaki dalam hal mendapat fasilitas kesehatan.
Alhasil, perempuan dalam naungan sistem Islam mendapatkan jaminan atas hak-haknya yang telah ditetapkan oleh syariat, di samping kewajiban-kewajibannya dengan seimbang.
Wallahu a’lam bi ash showab