Perempuan dalam Kepungan Kesetaraan Gender



Oleh: Ummu Qudsi* 



Dikutip dari wikipedia, kesetaraan gender yang dikenal juga sebagai keadilan gender adalah pandangan bahwa semua orang harus menerima perlakuan yang setara dan tidak didiskriminasi berdasarkan identitas gender mereka. Ini adalah salah satu tujuan dari Deklarasi Universal Hak asasi Manusia, PBB melalui organisasi wanita yaitu UN Women yang berusaha untuk menciptakan kesetaraan dalam bidang sosial dan hukum, dan memastikan akses pekerjaan yang setara dan upah yang sama. (id.m.wikipedia.org/08/04/20)

Dalam praktiknya, tujuan dari kesetaraan gender adalah agar setiap orang memperoleh perlakuan yang sama dan adil dalam masyarakat, tidak hanya dalam bidang politik, di tempat kerja, atau bidang yang terkait dengan kebijakan tertentu. Konsep kesetaraan gender ini di klaim sebagai sebuah ide yang membebaskan, memajukan dan memuliakan perempuan dan salah satu argumen yang diagung-agungkan adalah pernyataan bahwa laki-laki dan perempuan itu sama rata menyangkut hak dan kewajiban.

Sejak 1952 hingga penghujung abad 20, sederet kesepakatan internasional telah diratifikasi sebagai peta jalan dan landasan aksi menuju penguatan kaum perempuan. Beberapa di antaranya adalah Convention on the Political Rights of Women (1952), Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW, 1979), International Conference on Population and Development (ICPD, 1994), Beijing Declaration and Platform for Action (BPFA, 1995) dan Millennium Development Goals (MDGs, 2001).

Di antara traktat tersebut, The Beijing Declaration and Platform for Action atau Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing mempunyai arti penting karena memuat dokumen strategis dan kerangka aksi pemberdayaan dan kemajuan perempuan, penegakan hak asasi manusia dan keterlibatan dalam pembangunan. Kerangka Aksi ini dilengkapi langkah strategis dan indikatornya, yang mencakup koordinasi pemantauan, evaluasi, dan kemajuan pencapaian program serta kegiatan pemberdayaan perempuan. Tujuan dari konferensi ini adalah untuk mempercepat pelaksanaan kemajuan kaum perempuan yang telah dibahas sebelumnya dalam Konferensi di Nairobi (1985).

Meskipun terdapat berbagai kemajuan yang dicapai kaum perempuan sejak ditetapkannya Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing sampai kini, namun diakui bahwa secara umum menurut mereka, masih terjadi kesenjangan yang cukup berarti di berbagai bidang pembangunan bila dibandingkan dengan kaum laki-laki. Tahun 2020 sebetulnya adalah momentum tepat menagih janji bagaimana perjuangan ini telah bergulir selama 114 tahun sejak pencanangannya dan 25 tahun sejak deklarasi Beijing. Apakah benar bahwa ‘ketidaksetaraan’ adalah biang masalah bagi perempuan? 

Konsep gender berawal dari buruknya perlakuan masyarakat Eropa terhadap kaum perempuan. Perempuan dipandang sebagai makhluk inferior, sumber dosa dan laki-laki yang cacat. Perempuan tidak memiliki hak atas pendidikan, ekonomi, politik, milik, berpendapat dan bahkan atas dirinya. Lalu muncullah gerakan feminisme yang melakukan perlawanan. Konsep gender dibawa ke negeri-negeri muslim oleh mereka yang mendapatkan pendidikan di Barat, atau yang telah di-brainwash di Barat. Tokoh-tokoh awal yang membawa ide ini masuk ke dunia Islam, sebut saja Rufa’ah at-Thahthawi di Mesir dan Khairuddin at-Tunisi.

Penerapan ide kesetaraan gender justru menghasilkan kerusakan di dunia Islam. Kehidupan menjadi penuh persaingan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki kehilangan kesempatan kerja, sebaliknya perempuan terabaikan tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Hingga terjadilah lost generation. Angka kriminalitas anak semakin meningkat setelah penerapan ide kesetaraan gender selama lebih dari satu abad, permasalahan perempuan seperti kekerasan, kemiskinan, pendidikan, kematian ibu, dan lainnya juga masih tinggi. Ini membuktikan bahwa janji manis kesetaraan gender akan mengangkat harkat perempuan adalah bohong belaka. Rentetan dampak buruk, hingga membahayakan kehidupan sosial masyarakat bila kesetaraan gender diterapkan, menjadi bukti utama bahwa ide ini hanyalah ilusi. Tidak mungkin diterapkan untuk mewujudkan harapan semu para pegiat gender.

Secara umum, Islam memandang laki-laki dan wanita dalam posisi yang sama. Masing-masing adalah ciptaan Allah yang dibebani dengan tanggungjawab melaksanakan ibadah kepada-Nya, yaitu menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Hampir semua syariat Islam dan hukum-hukumnya berlaku untuk laki-laki dan perempuan secara seimbang. Demikian pula janji pahala dan ancaman siksaan bagi yang melanggarnya. Masing-masing memiliki kewajiban dan hak yang sama dihadapan Allah sebagai hamba-Nya. Sebagaimana firman Allah:

 مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik  dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”  (QS. An-Nahl [16]: 97)

Kesetaraan laki-laki dan wanita, bukan berarti kaum laki-laki dan wanita menjadi sama dan setara dalam segala hal. Karena, kenyataannya laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan yang mendasar. Secara biologis dan kemampuan fisik, laki-laki dan perempuan jelas berbeda. Begitu pun dari sisi sifat, pemikiran-akal, kecenderungan, emosi dan potensi masing-masing juga berbeda. Wanita tabiatnya melakukan proses reproduksi, mengandung, melahirkan, menyusui, menstruasi dan sebagainya. Menjadi tidak adil jika kemudian memaksakan persamaan peran yang tidak sesuai dengan kecenderungan yang mendasar tersebut.

Dari perbedaan mendasar ini, sejumlah hukum-hukum syariat ditetapkan oleh Allah yang Maha adil dengan perbedaan-perbedaan pula. Sebagian hukum, kewajiban, hak dan peran yang disyariatkan oleh Allah dibedakan sesuai dengan kemampuan masing-masing dari keduanya tadi. Tujuannya adalah, agar keduanya saling melengkapi satu sama lain dan dengannya hidup ini dapat berjalan sempurna, harmonis dan seimbang.

Hubungan antara laki-laki dan wanita adalah hubungan yang saling melengkapi, bukan hubungan persaingan sebagaimana yang diinginkan oleh konsep liberal. Islam memandang keadilan antara laki-laki dan wanita, bukan kesetaraan. Konsep kesetaraan bertolak belakang dengan prinsip keadilan. Karena adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Maka telah jelas bahwa ide kesetaraan gender ini tidaklah pernah ada dalam Islam.


* (Pemerhati Anak dan Remaja)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak