Oleh : Tri Silvia
.
.
Menyentuh angka tujuh ribu penderita, covid-19 telah berubah menjadi penyakit yang amat ditakuti. Berbagai phobia yang tak berdasar pun kini menjamur di tengah masyarakat, tindak pengusiran bahkan pembiaran terhadap orang yang tiba-tiba tumbang di jalanan pun semakin sering dilakukan. Belum lagi imbas terhadap perekonomian yang semakin melilit dirasa, membuat panik hampir sebagian besar masyarakat Indonesia yang notebene berprofesi sebagai pekerja harian. Kini kekhawatiran covid-19 pun menjangkiti para pemegang kuasa atas narapidana, alhasil ribuan napi pun dibiarkan melenggang keluar penjara, menghirup udara bebas yang nyatanya berbau kemelaratan dimana-mana. Alhasil mereka pun kembali ke profesi sebelumnya, yang mungkin ditambahkan bumbu keberingasan akibat kesengsaraan yang dirasa.
.
Kekacauan hidup di masyarakat saat ini nyatanya berbeda jauh dengan apa yang ditunjukkan oleh para pemegang kuasa. Alih-alih sigap mengatasi masalah dan wabah yang menggila, mereka justru memperlihatkan wajah santai dengan mengedepankan akal sehat (menurut mereka). Tak tahan menghadapi desakan untuk lockdown, mereka memutar otak mencari alasan untuk tidak melakukannya. Alhasil plinplan pun menjadi kata yang cukup pantas disematkan untuk mereka para pemegang kebijakan. Rasa simpati rakyat pun mengempis seiring ketidakpercayaan publik atas kinerja pemerintah dalam menghadapi wabah.
.
Untuk menyikapi ketidakpercayaan publik tersebut, Pemerintah pun bergerak mencari beberapa alternatif untuk menenangkan publik. Sebagaimana yang terjadi beberapa minggu yang lalu, tepatnya pada tanggal 20/3, Presiden Jokowi mengumumkan bahwa Pemerintah akan mengimpor sebanyak 2 juta obat guna penyelesaian Covid-19. Pada kesempatan kali itu, beliau sebutkan nama obat yang dimaksud. Pernyataan tersebut sontak mengejutkan dan mengundang tanya dari berbagai pihak. Para pakar kedokteran mempertanyakan sejauhmana keefektifan obat tersebut, mengingat efek samping obat yang bisa berakibat fatal jika dikonsumsi oleh orang biasa dan belum adanya pernyataan WHO bahwa obat tersebut bisa dijadikan penawar covid-19. Dari sisi masyarakat umum, mereka langsung menyerbu apotek dan menghabiskan stok klorokuin yang ada. Respon ini tentunya bukanlah respon yang dikehendaki oleh pemerintah, sebab jika ditilik dari pernyataan presiden tampak sekali penegasan bahwa pemerintah tidak diam, ada tindakan pencarian informasi yang dilakukan dan penyediaan obat. Cukup masuk akal memang, namun pertanyaannya apakah perlu dipublikasikan?
.
Di sisi lain, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan negara-negara agar tidak mengobati pasien yang terinfeksi virus corona dengan obat-obatan yang tidak teruji atau terbukti secara ilmiah untuk melawan patogen. Dilansir dari SCMP pada 27/3, Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus menyampaikan peringatan tersebut dikarenakan muncul lonjakan kasus infeksi virus corona di seluruh dunia (Kompas.com, 28/3/2020). Hal ini tentunya menguatkan para peneliti untuk terus mengkaji virus tersebut guna kemudian dicari spesifikasi dan bahan baku yang tepat untuk membuat penawar covid-19, dengan melalui sejumlah uji klinis dan lain sebagainya.
.
Sebagaimana yang dilakukan oleh para peneliti di Indonesia yang memperkenalkan beberapa senyawa yang disinyalir dapat menjadi penawar covid-19. Mulai dari propolis, flavonoid, nitrico hingga empon-empon yang katanya banyak mengandung curcuma. Kesemuanya masih dalam proses pengujian dan masih menunggu pengakuan internasional. Adapun seperti pilkina, carrimycin, hidroksiklorokuin, kaletra, remdesivir, losartan dan beberapa obat lainnya pun masih terus dilakukan pengujian. Belum ada satu kata terkait obat yang lebih tepat untuk mengatasi covid-19 ini. Padahal dunia internasional sudah memberikan perhatian ekstra untuk penelitian ini, sebanyak 74 negara telah mengirimkan ilmuannya untuk bergabung dibawah bendera WHO untuk segera menemukan formulasi penawar covid-19. (merdeka.com, 3/4/2020)
.
Pencarian obat harus dilakukan sesegera mungkin, namun karantina dan identifikasi korban harus lebih cepat lagi dilakukan. Sebab akan jadi sia-sia ketika obat berhasil didapat namun jutaan nyawa tak lagi bisa selamat. Ketiganya harus sesegera mungkin dilakukan untuk menyelamatkan rakyat. Itulah kiranya yang akan dilakukan oleh Khalifah tatkala menghadapi wabah yang mematikan. Sungguh Islam amat menghargai nyawa manusia. “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasa'i). Khalifah tak akan melakukan tindakan gegabah dengan memberikan penawar atau obat yang ternyata hanya membawa efek samping lainnya yang lebih membahayakan. Begitupun Khalifah tak akan lalai dengan tanggungjawab kepemimpinan atas keselamatan rakyat dengan diam tak berkutik tunduk pada keserakahan para pemilik modal yang sungguh tidak mulia. Berbeda dengan saat ini dimana para penguasa lebih rela melihat rakyatnya jatuh terkapar dan wafat seketika dibanding harus mengusir ratusan hingga ribuan investor asing juga swasta yang memiliki modal besar di negerinya.
.
Khalifah ketika mengetahui adanya wabah yang melanda. Hal pertama yang akan ia lakukan adalah segera melockdown wilayahnya dan melakukan identifikasi menyeluruh terhadap rakyat. Dilakukan dengan alat yang aman dan efektif, proses identifikasi itu akan membedakan antara orang yang sakit dan sehat. Untuk kemudian mereka yang sakit akan dipisahkan dan diberi pengobatan dengan obat yang telah teruji dan diakui keberhasilannya. Dalam hal ini Daulah wajib untuk memfasilitasi segala kebutuhan yang diperlukan para ilmuan tersebut, baik dalam hal yang berkaitan dengan bahan baku dan peralatan yang dibutuhkan selama penelitian ataupun yang berkaitan dengan kebutuhan pokok secara umum. Selama masa penelitian berlangsung, para pasien penderita diberikan fasilitas yang memadai di rumah sakit yang memang diperuntukkan secara khusus untuk mereka. Begitupun para dokter dan perawat, mereka akan diberi fasilitas pengamanan diri maksimal dari wabah penyakit yang sedang mereka hadapi, dan diberi insentif sesuai dengan kinerja dalam merawat pasien-pasien tersebut.
.
Pengadaan rumah sakit khusus bagi para penderita wabah telah dicontohkan sebelumnya pada masa pemerintahan Bani Umayyah dengan Khalifah Walid bin Abdul Malik sebagai Khalifah. Rumah sakit (bimaristan) tersebut dibangun di Kota Damaskus, Suriah pada tahun 707 M (88 H). Rumah sakit yang didirikan dengan menggunakan kas negara ini salah satunya berfungsi untuk mengisolasi para penderita penyakit lepra yang sedang mewabah saat itu. Beroperasi secara gratis, rumah sakit ini pun memberikan pakaian dan uang saku untuk para pasiennya.
.
Begitulah cara Islam menghadapi wabah penyakit. Adapun diluar pengaturan yang disampaikan di atas, untuk wilayah-wilayah yang tidak terkena wabah maka tidak ada karantina atas mereka, kegiatan ekonomi berlangsung seperti biasa dan hukum-hukum syara diterapkan sebagaimana biasanya. Khalifah tidak pernah menerapkan hukum untung rugi kepada masyarakatnya, sebaliknya Khalifah akan melakukan apapun untuk menyelesaikan wabah penyakit yang melanda walaupun dengannya kerugian tidak akan bisa dielakkan. Masalah obat pun tidak akan dijadikan bahan publikasi, apalagi untuk obat-obatan yang belum jelas teruji. Khalifah akan mengerahkan semua potensi, termasuk para ilmuan yang dimiliki untuk melakukan observasi atas obat-obatan yang layak dikonsumsi dan bisa dipakai untuk menghentikan pandemi yang terjadi. Bukan justru mempolitisasi ataupun menggunakannya sebagai bahan pencitraan guna mendapat perhatian rakyat yang nyatanya sudah tidak mudah lagi untuk dibodohi.
.
Wallahu A'lam Bis Shawwab
Tags
Opini