Oleh: Suci Hardiana Idrus
Profesi Dokter maupun perawat di situasi sulit akibat pandemi virus Corona (covid-19) saat ini diibaratkan sebagai seorang pahlawan. Bagaimana tidak, mereka adalah garda terdepan yang bersentuhan langsung menghadapi virus tersebut. Saat bertarung, maka segala persiapan perang menjadi senjata utama ketika menghadapi musuh. Lantas apa jadinya tatkala terjun di medan perang justru tak dilengkapi dengan alat perang yang memadai? Bahkan seadanya, hingga di tengah-tengah peperangan yang sedang berlangsung terjadi kekurangan, kelangkaan. Bisa dibayangkan yang terjadi adalah ksatria petarung mau tidak mau harus menghadapi lawannya dengan tangan kosong yang sewaktu-waktu dapat merenggut nyawanya sendiri.
Kondisi hal tersebut yang terjadi pada tenaga medis di Indonesia. Di suatu wilayah yang terkena dampak virus Corona terpaksa memakai jas hujan bahkan kantong plastik sebagai pengganti yang kehabisan stok APD. Adalah hal yang sangat fatal apabila APD yang semestinya digunakan oleh dokter dan perawat kehabisan stok dan diganti dengan pakaian berbahan plastik biasa yang tak menjamin keselamatan.
Bukannya pemerintah sudah menyatakan siap memerangi wabah virus ini? Sejauh mana langkah dan persiapannya? Mengapa tenaga medis bisa kekurangan APD yang menjadi senjata utama mereka?
Pandemi virus Corona ini telah mewabah ke sejumlah negara. Negara-negara yang terkena covid-19 masing-masing membutuhkan APD dalam skala banyak untuk jangka waktu yang tak bisa diperkirakan. Berbagai negara saat ini tengah mengalami kelangkaan bahan baku alat pelindung diri (APD). Akan tetapi begitu miris, di tengah sulitnya tenaga medis dalam negeri mendapatkan bantuan APD, pemerintah justru menjalin kerjasama mengekspor APD ke Korea Selatan yang sama-sama terkena wabah. Nihilnya lagi, pemerintah meminta agar masalah import dilonggarkan. Yang paling mengejutkan bahwa APD yang diimpor dari China ternyata proses pembuatannya dari Indonesia.
Melansir dari TEMPO.CO, Rabu, 8 April 2020, Tim Gabungan Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri dan Bea-Cukai menanggapi ihwal dugaan lolosnya 1,2 juta unit alat perlindungan diri (APD) dari Kawasan Berikat Bogor ke Korea Selatan melalui pintu Pelabuhan Tanjung Priok dan Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Menurut tim, ekspor tersebut sudah sesuai dengan prosedur lantaran telah memperoleh izin pengecualian dari Kementerian Perdagangan.
"Pengaturan (ekspor) dengan pihak Korea Selatan berjalan dengan baik sesuai kesepakatan, bahkan melampaui kesepakatan 50:50," seperti dikutip dari penjelasan Tim Gabungan Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri dan Bea-Cukai yang telah diketahui Ketua Gugus Tugas Letjen Doni Monardo kepada Tempo, Rabu, 8 April 2020.
Melansir pada kanal yang sama, Jumat, 10 April 2020, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjelaskan, bahwa ekspor sejutaan APD itu dilakukan lantaran sedari awal sudah ada perjanjian dagang antara Korea Selatan dengan Indonesia untuk membuat APD.
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Korea Selatan menyiapkan bahan baku, sedangkan penjahitan atau pembuatannya dilakukan di Indonesia. “Digunakan untuk memenuhi kebutuhan APD dalam negeri, di samping mereka kirim ke Korea Selatan juga untuk kebutuhan mereka," ujar Listyo.
Lagi-lagi bisnis tetap menjadi prioritas nomor satu. Sedangkan keselamatan warga negara menjadi yang kesekian. Di tengah-tengah pandemi, ekspor adalah kebijakan yang sangat keliru tanpa adanya jaminan kebutuhan dalam negeri yang memadai. Dari sini bisa di lihat ke mana arah langkah kebijakan pemerintah.
Rupanya pemerintah tidak bisa menghentikan laju ekspor maupun impor walau negara sendiri dalam kondisi darurat pandemi. Meskipun di dalam negeri membutuhkan, akan tetapi, produksinya lebih diprioritaskan untuk ekspor demi mendapatkan pemasukan. Ini artinya, pemerintah tidak berposisi bertanggungjawab atas rakyatnya secara penuh, tapi lebih menempatkan diri sebagai pebisnis yang melihat dengan sudut pandang untung rugi, tak terkecuali dalam kondisi sekarang ini.
Kebaikan dan keburukan penguasa itu akan menentukan baik dan buruknya masyarakat. Sebabnya, sikap dan kebijakan penguasa itu berpengaruh kepada semua orang yang ada di bawah kekuasaannya. Jika penguasa zalim, rusak, dan merusak, niscaya masyarakat juga rusak.
Kepemimpinan dalam Islam merupakan sebuah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Pemimpin yang bertakwa akan berhati-hati dalam memilih langkah kebijakan, jangan sampai kebijakan tersebut justru menyusahkan rakyatnya. Adapun menjalin kerjasama dengan negara lain adalah dalam rangka untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk menjadi pelayan segala kerakusan para elit kapitalis.
Bahkan, Rasulullah SAW sendiri bersabda dalam sebuah hadits yang sangat terkenal: “Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya”.
Seorang pemimpin islam haruslah memiliki sifat-sifat, seperti ; shiddiq (selalu berkata dan bersikap jujur dan benar). Bukan hanya perkataannya yang benar, akan tetapi perbuatannya juga harus benar yang artinya, harus sejalan dengan ucapannya.
Shiddiq sebagai modal dasar dalam memimpin sebab kalau tidak maka akan merusak semuanya. Selain itu, bersifat amanah (dapat dipercaya) : Jika satu urusan diserahkan kepadanya, maka niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Tidak pernah menggunakan wewenang dan otoritasnya sebagai pemimpin untuk kepentingan pribadinya atau kepentingan kelompok dan keluarganya. Kemudian, bersifat fathonah (cerdas dan bijaksana) maka seorang calon pemimpin haruslah memiliki kecerdasan, baik secara emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ).
Dan terakhir bersifat tabligh (penyampai) dapat berkomunikasi dengan baik : artinya menyampaikan kebenaran kepada masyarakat sebagai bentuk tanggungjawab untuk menunjukkan jalan kebenaran agar masyarakat terhindar dari fitnah dan dengki.
Wallahu'alam bishowab