Oleh Aning (Muslimah Peduli Umat)
Selain membawa dampak kesehatan, ekonomi, politik dan dan bidang semisalnya, pandemi Sars-Cov-2 juga membawa dampak sosial keagamaan yang sangat luas. Di antaranya adalah penolakan pemakaman jenazah terjangkit virus corona atau positif pengidap Covid-19 di beberapa kota. Tentu ini adalah sikap seperti ini justru menambah keprihatinan bersama.
Dari sini muncul pertanyaan, sejauh mana kita boleh berhati-hati dalam menyikapi pandemi virus corona? Bolehkah kehati-hatian itu sampai mengarah pada penolakan penguburan jenazah pengidap Covid-19?
Belakangan muncul fenomena warga di beberapa daerah menolak pemakaman jenazah pasien positif Covid-19. Salah satunya yang terjadi di Kecamatan Telukbetung Barat, Bandar Lampung.
Pemakaman jenazah pasien 02 Covid-19 di Pemakaman Batuputu pada Senin (30/3), sempat tidak berjalan mulus. Ada penolakan beberapa warga sekitar.
Karena berkaitan dengan kesehatan, tentu kehati-hatian harus merujuk kepada ahlinya, yaitu para dokter yang memang mempunyai basis ilmu kesehatan atau ahlul khubrah fit thibb. Berkaitan hal ini Grand Syekh Ke-24 Al-Azhar, Syekh Jadul Haq Ali Jadul Haq (1917-1996 M) menjelaskan, dokter merupakan bagian dari ahli zikir atau pakar dalam bidang yang menjadi konsentrasinya yang mendapatkan legalitas Al-Qur’an:
قَدْ قَالَ سُبْحَانَهُ تَعْلِيمًا وَتَوْجِيهًا لِخَلْقِهِ:فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (الأنبياء: 7). وَالطَّبِيبُ فِي عَمَلِهِ وَتَخَصُّصِهِ مِنْ أَهْلِ الذِّكْرِ، وَالْعَمَلُ أَمَانَةٌ.
Artinya, “Allah SWT sungguh telah mengajarkan dan mengarahkan makhluk-Nya dengan berfirman, ‘Bertanyalah kepada ahli zikir jika kalian tidak mengetahui’ (Surat Al-Anbiya ayat 7). Dokter dalam aktivitas medisnya dan bidang spesialisasinya merupakan ahli zikir yang masuk dalam ayat ini. Aktivitas medisnya merupakan amanah.
Jika kita mengikuti protokol kesehatan di dalam proses pengurusan jenazah dan juga ketentuan di dalam fatwa sebagai panduan pengurusan jenazah muslim maka tidak ada kekhawatiran lagi untuk penularan kepada orang yang hidup," kata dia.
Meski begitu, bukan berarti kekhawatiran dan kewaspadaan dikesampingkan. Dia mengatakan, ini tetap menjadi bagian penting.
"Tetapi harus dibingkai dengan ilmu pengetahuan dan pemakaian yang utuh. Jangan sampai akibat kekhawatiran kita, minus pengetahuan yang memadai kemudian kita berdosa karena tidak menunaikan kewajiban atas hak jenazah dengan melakukan penolakan pemakaman," tandas Asrorun.
Sementara berkaitan dengan penguburan jenazah terjangkit Covid-19, SOP (Standard Operating Procedure) pemulasaran jenazah Covid-19 sudah disesuaikan dengan hukum positif mutakhir—UU Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Surat Edaran Dirjen P2P Nomor 483 Tahun 2020 Tentang Revisi Ke-2 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Infeksi Novel Corona Virus (Covid-19)—secara terang-terangan menyatakan, “Penguburan dapat dilaksanakan di tempat pemakaman umum.” (SOP Pemulasaran Jenazah Covid-19, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta).
Artinya, selama pemulasaran jenazah Covid-19 telah dilakukan dengan benar sesuai SOP yang ada, maka tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk menolak penguburannya. Sebab rujukan sahih dalam urusan ini adalah para dokter dan tenaga medis.
Oleh karenanya, kehati-hatian dalam menyikapi penguburan jenazah Covid-19 harus terukur, sesuai petunjuk ilmu kedokteran sebagaimana telah diterjemahkan secara teknis dalam SOP-nya. Tidak perlu berlebihan. Bahkan bila kehati-hatian itu justru berubah menjadi kekhawatiran tidak berdasar keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan, dan mengarah pada penolakan penguburan secara serampangan, maka hukumnya tidak diperbolehkan. Berkaitan dengan hal ini Al-Qarafi menjelaskan:
أَنَّ الْخَوْفَ مِنْ غَيْرِ اللهِ مُحَرَّمٌ إنْ كَانَ مَانِعًا مِنْ فِعْلِ وَاجِبٍ أَوْ تَرْكِ مُحَرَّمٍ ، أَوْ كَانَ مِمَّا لَمْ تَجْرِ الْعَادَةُ بِأَنَّهُ سَبَبٌ لِلْخَوْفِ
Artinya, “Sungguh ketakutan dari selain Allah hukumnya haram jika berakibat menghalangi untuk melakukan kewajiban atau meninggalkan keharaman, atau takut dari hal-hal yang secara adatnya tidak dapat menyebabkan ketakutan,” (Lihat Abul Qasim Al-Qarafi, Idrarus Syuruq ‘ala Anwa’il Furuq pada Al-Furuq, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1418 H/1998 M], juz IV, halaman 400).
Di tengah keprihatinan bersama atas pandemi virus corona, masyarakat harus tetap menjaga akal sehat, kehati-hatian, dan kekhawatiran di satu sisi, dan kemantapan dan keyakinan di sisi lain secara proporsional sesuai ukurannya. Wallahu a’lam.
Tags
Opini