Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Penulis dan Umm wa Rabbatu Bait
Jiwa entrepreneur menjadi salah satu materi pembelajaran di sekolah. Biasanya acara yang digagas adalah market day untuk tingkat SD dan SMP, jika SMA lebih lengkap lagi mulai dari pembelian bahan, produksi hingga distribusi.
Diharapkan dari pembelajaran itu muncul sikap mandiri, berani mengambil keputusan ekonomi sebab hal itu bagian dari life skill yang harus dikuasai, jika suatu saat benar-benar membutuhkannya.
Namun bagaimana jika negara di tengah maraknya pandemi Covid-19 masih saja menumbuhkan jiwa dagangnya tanpa peduli pada penanganan yang lebih serius? Ibarat memancing di air keruh inilah yang terjadi saat ini di negara dengan kode +62 alias Indonesia.
Hal itu terlihat dari Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang menyatakan bahwa Indonesia punya peluang untuk menyuplai alat pelindung diri (APD) dan hand sanitizer bagi negara lain yang tengah dilanda pandemi virus corona. Alasannya, Indonesia punya pabrik dan infrastruktur untuk memproduksi barang yang kini dibutuhkan dunia itu.
Hal itu disampaikannya setelah mendampingi Presiden Jokowi mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa ( KTT LB) G-20, di Istana Bogor. Mantan direktur pelaksana World Bank itu menambahkan, negara-negara dunia saat ini sangat membutuhkan APD, test kit Covid-19, dan ventilator.
Sri Mulyani mengatakan, untuk menjaga rantai pasok akan produk itu, Dana Moneter Internasional (IMF) dan World Bank akan memberikan dukungan agar perusahaan yang bisa menghasilkan APD bisa mendapatkan prioritas sokongan (jppnn.com, 27/3/2020).
Padahal sebelumnya, pemerintah Indonesia telah mendatangkan alat pelindung diri (APD) dari China melalui skema bantuan maupun pembelian langsung untuk menanggulangi virus Corona. Anehnya terdapat tulisan 'made in Indonesia' di APD impor dari China.
APD itu memang dibuat di Indonesia, namun pemilik produknya tetap pihak luar negeri. Demikian penjelasan Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Agus Wibowo (CNBC, 26/3/2020).
Jika kita mampu memproduksi APD sendiri sebab Indonesia punya industri pembuatannya, mengapa APD di Indonesia keberadaannya sangat langka? Dan mengapa harus impor jika sekarang mau ekspor?
Maka fakta ini sebenarnya menjelaskan bagaimana posisi pemerintah Indonesia di hadapan negara lain, khususnya China. Posisi Indonesia lemah dan tak berdaulat atas wilayahnya sendiri hingga tidak bisa menyetop komitmen ekspor APD ke Korsel. Ini pula yang menjelaskan mengapa meskipun di dalam negeri membutuhkan namun produksinya lebih diprioritaskan untuk ekspor yang mendatangkan devisa.
Sebab pemerintah tidak berposisi riayah atau pengurus umat, tapi lebih menempatkan diri sebagai pebisnis yang melihat dengan kaca mata untung rugi. Lantas, solusi bagaimana yang bisa diharapkan dari negara yang seperti ini?
Korban berjatuhan tak juga membuat penguasa jatuh perhatiannya kepada penyelesaian pandemi secara tersistem. Desakan dokter, ulama, pengusaha hingga rakyat tak juga menggetarkan hati sehingga mampu merubah kebijakan darurat sipil menjadi Lockdown.
Ini juga yang semakin menguatkan bahwa posisi negara bukan sebagai junnah, atau perisai bagi umatnya dalam menghadapi bencana. Padahal, dalam Islam, nyawa 1 orang muslim sangatlah berharga. Dan penguasa tak pernah menanyakan apa yang sudah diberikan rakyat kepada negara.
Penguasa semestinya hadir sebagai pelindung dan pemelihara segala urusan rakyatnya sebagaimana seorang ibu yang memastikan setiap kebutuhan anaknya sejak mulai makan, pakaian, minum hingga bermainnya. Sebab tahu dan sadar, anak adalah amanah.
Tentu wajar jika kita merindukan pemimpin sebagaimana Umar bin Khattab yang rela memanggul sekarung gandum ketika mendengar ada seorang janda yang sedang merebus batu untuk makan malam anak-anaknya, atau Mutasim Billah yang memerintahkan pengepungan di sebuah pasar perkampungan Yahudi untuk menjawab teriakan minta tolong seorang perempuan yang diganggu pemuda Yahudi.
Atau sultan Abdul Majid I yang membantu bencana kelaparan di rakyat Irlandia, dengan uang sebesar 1.000 Poundsterling plus bahan makanan, selimut dan obat-obatan senilai 10.000 Poundsterling . Semua nama pemimpin Islam di atas benar-benar menunjukkan kualitas mereka adalah penguasa yang sangat mencintai rakyatmya berikut sebaliknya.
Hal itu hanya terjadi jika penguasa mampu menjadi penerap seluruh syariat Allah , tanpa tertinggal. Saat itulah kita keluar dari rasa kekhawatiran bahkan kesengsaraan berubah menjadi aman sejahterah sentosa. Dan jika institusi negaranya berubah menjadi Khilafah. Wallahu a' lam bish shawab.
Tags
Opini