Oleh : Ummu Athifa*
Pengetahuan merupakan sumber ilmu yang mesti dicari. Jangan hanya mengandalkan berita-berita yang belum tentu kebenarannya. Hal ini terjadi dalam perkara pengurusan jenazah yang terkena Covid-19. Wabah Covid-19 sudah banyak memakan korban.
Data terbaru bahwasannya total jumlah kasus positif corona di Indonesia menanjak menjadi 6.575 pasien per 19 April 2020. Pasien Dalam Pengawasan (PDP) sebanyak 2.667 orang. Di waktu yang sama, jumlah Orang Dalam Pemantauan (ODP) bertambah 2.539 jiwa.
Banyaknya warga yang meninggal akibat wabah ini, tentu perlu penanganan yang serius dalam pengurusan jenazahnya. Bukan main-main perkara ini, karena bagian dari hak kaum muslim yang telah meninggal. Banyak masyarakat Indonesia yang menolak kehadiran jenazah Covid-19, khawatir ketakutan menyebarnya melalui udara atau sentuhan. Ini diakibatkan kurangnya informasi yang akurat terkait penanganan hal tersebut.
Misalkan yang terjadi di Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, pada tanggal 9 April, jenazah bernama Nuria Kurniasih ditolak oleh warganya sendiri. Padahal Nuria merupakan seorang perawat. Namun akhirnya dimakamkan setelah dua kali ditolak pada Kamis malam hari. Warga penolak beralasan belum mendapatkan sosialisasi bahwa jenazah meninggal karena COVID-19 dan kaget tiba-tiba ada mobil polisi dan lembaga kebencanaan berada di pemakaman setempat. (Tirto.id)
Terjadi pula penolakan di daerah Jakarta, Eva Rahmi Salama bersama dengan suami dan adiknya merasa pilu tak terendung ketika mengantarkan jenazah sang ibu ke liang lahat di TPU Pondok Rangon pada Kamis (19/03) pagi. Sama sekali tidak ada pelayat yang menghadiri pemakaman tersebut. Bahkan dua hari setelahnya, ayahnya pun meninggal dunia akibat positif Covid-19. (Vivanews.com)
Jika ditelaah dengan baik, bahwasannya virus akan mati jika inangnya mati. Kehidupan virus bergantung kepada inangnya. Diperkuat dengan pendapat Dosen Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Dr Panji Hadisoemarto MPH, menjelaskan jika jenazah telah dimakamkan, maka tidak ada potensi virus menyebar dan menular melalui tanah seperti antraks.
Virus sangat memerlukan sel inang hidup untuk bertahan hidup. Ahli forensik Mabes Polri Kombes Pol. Dr.dr.Sumy Hastry P, SpF imbau masyarakat untuk tidak khawatir. Jangan takut, karena jenazah sudah aman tidak akan menulari. Jenazah pun telah dipulasara dengan tepat, sehingga virus akan mati. (Kompas.com)
Terbukti tidak akan ada penyebaran virus Covid-19, jika ditangani dengan baik. Pemerintah sudah berusaha untuk memberikan pelayan yang terbaik bagi para jenazah. Apalagi yang meninggalnya seorang tenaga medis, telah banyak membantu dalam menangani Covid-19 di garda terdepan.
Tidak seharusnya masyarakat menolak jenazah Covid-19, karena pengurusan jenazah sendiri merupakan fardu kiyafah dalam Islam. Disisi lain, pemerintah masih kurang memberikan edukasi kepada masyarakatnya, terutama yang tinggal di desa-desa. Pemerintah masih fokus dalam penanganan preventif saja.
Penanganan yang belum bersifat menyeluruh untuk menyelesaikan persoalan ini. Hingga lupa untuk memberikan pengetahuan terkait penanganan jenazah Covid-19. Jadi tak bisa disalahkan seutuhnya masyarakat yang saling dzolim antar satu sama lain.
Padahal berbeda dalam Islam, penanganan terkait wabah yang semakin menyebar luas, banyaknya orang yang meninggal tentu perlu penanganan yang cepat. Negara perlu memberikan edukasi yang jelas kepada masyarakat berkaitan hal-hal pengurusan mayat, agar tidak terjadi penolakan besar-besaran. Kewajiban untuk pengurusan mayat sangat diperhatikan, karena merupaka bagian dari fardu kifayah.
Hal-hal yang dapat dilakukan saat mengurusi jenazah Covid-19, yaitu pertama, petugas harus menggunakan pakaian pelindung, sarung tangan, dan masker. Pakaian tersebut harus disimpan di tempat yang terpisah dari pakaian biasa. Kedua, petugas tidak diperkenankan makan, minum, merokok, atau menyentuh wajah saat berada di ruang jenazah, autopsi, atau saat melihat jenazah. Ketiga, hindari kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh jenazah. Keempat, petugas harus selalu mencuci tangan dengan sabun atau sanitizer berbahan alkohol. Kelima, petugas harus mengurangi risiko terkena benda tajam.
Untuk perkara penanganan wabah, dicontohkan pada tahun 1428 terjadi wabah di Kota Bursa, salah satu kota penting Khilafah Utsmani. Anggota keluarga Khilafah Utsmani, yaitu tiga saudara laki-laki dan sepupu Sultan Murad II, juga ada yang meninggal. Ini juga menunjukkan bahwa mereka bertahan dan tidak meninggalkan kota.
Sultan Muhammad al-Fatih dalam kampanye militer pada tahun 1464 paska pembebasan Konstantinpel juga menghindari wilayah Balkan yang sedang mengalami wabah. Perilaku para bangsawan Khilafah Utsmani ini selaras dengan sabda Nabi saw., yaitu tidak lari ketika wabah terjadi, dan menghindar dari wilayah yang sedang terkena wabah.
Keputusan untuk tetap tinggal atau tidak memasuki wilayah wabah juga tidak diartikan ‘tinggal berdiam diri menunggu ajal’ atau ‘menghindar dan membiarkan’. Namun, tetap harus dipikirkan upaya untuk meminimalisasi jumlah korban yang jatuh dari populasi yang terjebak wabah.
Inilah yang pernah terjadi di masa saat sistem Khilafah ditegakkan. Beberapa wabah yang terjadi bisa diatasi karena adanya peran aktif dan serius dari negara, sekaligus didukung oleh rakyat yang mentaati semua arahan-arahannya.
Wallahu’alam bi shawab.
*(Ibu Rumah Tangga)
Tags
Opini