Pemerintah Anti Krtitik, Demi Kelanggengan Kekuasaan


 

Oleh: Diyana Indah Sari (Aktivis Muslimah)


Wabah corona yang menjangkit negara ini, ternyata belum usai. Semakin berjalannya waktu semakin banyak masyarakat yang terjangit wabah ini. Banyak problematika yang perlu ditangani, mulai dari aspek medis, sosial, ekonomi, pendidikan dan yang lain sebagainya. Masyarakat mencoba bertahan dan berharap pemerintah segera bergerak guna mencari solusi untuk permasalahan ini. Masyarakat tentu sangat khawatir dengan keadaan yang seperti ini, virus yang semakin meluas, tenaga medis yang terbatas bahkan turut berguguran, kesulitan dalam mendapatkan penghasilan karena social distancing, dan masih banyak lagi. 


Namun sayangnya ditengah keadaan carut marut seperti ini, masyarakat banyak menuai kekecewaan atas sikap pemerintah. Pemerintah yang dari awal abai dengan ancaman wabah corona ini, pemerintah yang tidak sigap dan keteteran ketika masyarakat banyak yang bergelimpangan, pemerintah yang tidak memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat ditengah pandemi, akibatnya masyarakat nekad memilih keluar rumah, dan tetap bekerja demi bertahan hidup, tidak ingin meti kelaparan di dalam rumahnya.


Masyarakat butuh empati pemerintah, masyarakat butuh dukungan dan jaminan dari negara. Namun sayangnya itu semua tidak didapatkan oleh masyarakat, wajar saja jika masyarakat kecewa, dan berusaha menyampaikan pendapatnya, menyuarakan haknya kepada pemerintah. 


Akan tetapi pemerintah, bukannya mendengar suara rakyat, tetapi justru menilai kritikan sebagi penghinaan kepada pemerintah ditengah pandemi ini. Baru-baru ini pemerintah meluncurkan peraturan dimana para penghina presiden dan pejabat dalam ranah penanganan COVID-19 akan diberi sanksi pidana. Hal itu tertuang di dalam Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 yang ditandatangani Kepala Bareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo tertanggal 4 April 2020. 


Sesuai Pasal 207 KUHP, maka penghinaan itu bisa terancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan. Di dalam pasal itu disebutkan, "Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau hadan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".


 Selain penghinaan kepada presiden dan pejabat pemerintahan, bentuk pelanggaran lain yang juga diatur di dalam surat telegram itu yakni ketahanan akses data internet selama masa darurat; penyebaran hoaks terkait Covid-19 dan kebijakan pemerintahan dalam mengantisipasi penyebaran wabah Covid-19 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dan masih ada beberapa peraturan lainnya yang dimuat didalamnya.
 https://nasional.kompas.com/read/2020/04/05/19343701/penghina-presiden-dan-pejabat-dalam-penanganan-covid-19-terancam-sanksi 


Sungguh miris sekali dengan sikap pemerintah yang demikian. Pemerintah itu seharusnya mengurusi rakyatnya dengan baik, menangani persoalan yang menghimpit rakyat, berusaha memenuhi kebutuhan rakyat dengan cara yang bijaksana, namun saat ini pemerintah justru membirkan rakyat bertahan hidup sendiri, tidak diurus dengan baik, termasuk dalam permasalahan pandemi seperti ini. Pemerintah mendorong rakyat harus mandiri, jangan sedikit-sedikit lapor atau mengadu pada mereka. Tindakan pemerintah ini begitu otoriter, semua harus menerima apapun kebijakannya. Rakyat dibutuhkan hanya untuk mendulang suara selanjutnya mereka akan setia pada pemilik modal mengabaikan nasib rakyat. Lantas kemana rakyat harus meminta bantuan dan mendapatkan solusi ? Bagaimana rakyat mendapat keadilan, jika keluh kesahnya tidak boleh disampaikan?


Seperti inilah wujud demokrasi saat ini, bukan lagi untuk kepentingan rakyat tetapi untuk kepentingan penguasa dan konglomerat. Segala kritik dibungkam dengan ancaman hukum buatan penguasa, hal ini tentu saja untuk menyelamatkan kekuasaanya, dan menjaga citra kepemimpinannya yang jelas abal-abal dan gagal. Dengan demokrasi ini rakyat telah ditipu, aspirasi mereka ternyata tidak didengar, mulut mereka dibungkam rapat-rapat. Penguasa atau pemerintah tidak begitu peduli dengan kondisi rakyat, dengan penderitaan rakyat, rakyat dibiarkan dalam kecemasan ditengah pandemi, kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, sulitnya mendapat penghasilan. Permasalahan rakyat bukanlah prioritas penguasa, namun yang menjadi prioritas adalah keeksisan kekuasaan mereka dalam bingkai kapitalis.


Penguasa dengan gampangnya membuat peraturan baru, sebagai pengaman kekuasaanya, peraturan guna menyingkirkan apa saja yang menghalangi atau yang mengancam kelanggengan singgah sananya. Rakyat mengkritik penguasa dianggap sebagai hinaan, kemudian dijerat oleh aturan buatan penguasa hingga berakhir pidana. Beginilah sengsaranya hidup dibawah jeratan kapitalis, hak-hak rakyat tidak dipenuhi dan rakyat terus dizalimi. 


Semakin zalimnya penguasa kepada rakyat, semoga menjadikan rakyat semakin sadar akan tipu daya demokrasi ini. Rakyat yakin dengan rusaknya sistem kapitalis yang seharusnya tidak diterapkan ini. Penguasa dengan entengnya membuat dan mengubah hukum sesuai kepentingan mereka dan kelanggengan kekuasaanya. Tentu saja hal tersebut sangat menzalimi rakyat. 


Oleh karena itu sudah saatnya kita bangun kesadaran untuk bergerak meninggalkan sistem kapitalis ini, dan kembali pada sistem yang haq yakni Islam. Sistem yang menerapkan peraturan yang haq, peraturan dari ALLAH SWT, yang jelas itu adalah peraturan yang paling adil. Hanya ALLAH SWT yang berhak membuat hukum , hanya hukum ALLAH SWT yang wajib diterapkan, bukan hukum-hukum jahil buatan manusia yang dibuat atas dasar hawa nafsu.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak