Oleh: Ummu Diar
Wabah yang saat ini tengah mengglobal skala dunia membuka mata bahwa sangkaan kehebatan yang diklaim manusia ternyata tidak berdaya ketika berhadapan dengan ketetapan sang kuasa. Dengan makhluk kecil berukuran mikron sekalipun, cukup bagiNya untuk memaksa yang jumawa mengibarkan bendera putih padaNya. Pelajaran berharga bahwa memang taka da yang Mahahebat selain Pencipta alam raya. Yang harusnya menyadarkan bahwa taka da aturan yang layak selain aturan dariNya.
Bukan kali pertama sebenarnya wabah melanda dunia. Kisah ini detail diceritakan dalam buku tentang Khalifah Umar bin Khattab ra karya Syaikh Ali Ash Shalabi. Pada tahun 18 H, hari itu Khalifah Umar bin Khattab ra bersama para sahabatnya berjalan dari Madinah menuju negeri Syam. Mereka berhenti di daerah perbatasan sebelum memasuki Syam karena mendengar ada wabah Tha'un Amwas yang melanda negeri tersebut. Sebuah penyakit menular, benjolan diseluruh tubuh yang akhirnya pecah dan mengakibatkan pendarahan.
Abu Ubaidah bin Al Jarrah, seorang yang dikagumi Umar ra, sang Gubernur Syam ketika itu datang ke perbatasan untuk menemui rombongan. Dialog yang hangat antar para sahabat pun terjadi, apakah mereka masuk atau pulang ke Madinah. Umar yang cerdas meminta saran kepada kaum Muhajirin, Anshar, dan orang-orang yang ikut Fathu Makkah. Mereka semua berbeda pendapat. Bahkan Abu Ubaidah ra menginginkan mereka masuk, dan berkata mengapa engkau lari dari takdir Allah SWT?
Lalu Umar ra menyanggahnya dan bertanya. "Jika kamu punya kambing dan ada dua lahan yang subur dan yang kering, kemana akan engkau arahkan kambingmu? Jika ke lahan kering itu adalah takdir Allah, dan jika ke lahan subur itu juga takdir Allah. Sesungguhnya dengan kami pulang, kita hanya berpindah dari takdir satu ke takdir yg lain." Akhirnya perbedaan itu berakhir ketika Abdurrahman bin Auf ra mengucapkan hadist Rasulullah SAW; "Jika kalian mendengar wabah melanda suatu negeri. Maka, jangan kalian memasukinya. Dan jika kalian berada didaerah itu janganlah kalian keluar untuk lari darinya." (HR. Bukhari & Muslim).
Akhirnya mereka pun pulang ke Madinah. Umar ra merasa tidak kuasa meninggalkan sahabat yang dikaguminya, Abu Ubaidah ra. Beliau pun menulis surat untuk mengajaknya ke Madinah. Namun beliau adalah Abu Ubaidah ra, yang hidup bersama rakyatnya dan mati bersama rakyatnya. Umar ra pun menangis membaca surat balasan itu. Dan bertambah tangisnya ketika mendengar Abu Ubaidah, Muadz bin Jabal, Suhail bin Amr, dan sahabat-sahabat mulia lainnya radiyallahuanhum wafat karena wabah Tha'un di Negeri Syam. Total sekitar 20 ribu orang wafat karena wabah Tha'un yang jumlahnya hampir separuh penduduk Syam ketika itu.
Pada akhirnya, wabah tersebut berhenti ketika sahabat Amr bin Ash ra memimpin Syam. Karena kecerdasan beliau lah yang menyelamatkan Syam. Hasil tadabbur beliau dan kedekatan dengan alam ini. Amr bin Ash berkata: "Wahai sekalian manusia, penyakit ini menyebar layaknya kobaran api. Jaga jaraklah dan berpencarlah kalian dengan menempatkan diri di gunung-gunung." Mereka pun berpencar dan menempati di gunung-gunung. Akhirnya, wabah pun berhenti layaknya api yang padam karena tidak bisa lagi menemukan bahan yang dibakar.[1]
Belajar dari kisah diatas, para shahabat berupaya menyertai tawakalnya dengan ikhtiar mencegah perluasan wabah. Mereka melakan optimalisasi solusi tanpa perlu mengeluarkan banyak istilah. Yang mereka lakukan tegas melakukan tindakan pencegahan berbekal pada apa yang pernah disampaikan Nabi. Inilah cermin keyakinan mereka pada solusi dari Rasulnya, yang pasti mendapatkan pengarahan dari Allah melalui perantara penyampai wahyunya. Sehingga yang mereka lalukan adalah optimal menjalankannya.
Pada penyakit bahaya, manusia harus optimal menghindarinya. Berangkat dari sabda Rasul yang disampaikan Abdurrahman bin Auf di atas, tidak berlebihan jika kemudian ada yang menganjurkan karantina atau isolasi atas wilayah yang terkena wabah. Menjadi tanggung jawab semua orang untuk mematuhi adanya anjuran karantina agar kemungkinan bahaya bisa ditekan. Rasul saw. mengingatkan: “Lâ dharara wa lâ dhirâra (Tidak boleh memadaratkan diri sendiri maupun orang lain).” (HR Ahmad, Ibnu Majah, al-Hakim, al-Baihaqi, Malik dan Asy-Syafii).
Oleh karena itu, disamping taubat dan berdoa, juga diperlukan optimalisasi ikhtiyar solusi atas wabah ini. Yakni ketegasan yang menjamin birokrasi, protokol dan prosedur yang diperlukan berjalan. Termasuk menjamin supply kebutuhan selama masa karantina. Dalam pandangan Islam, inilah bentuk tanggung jawab seorang amir. Rasul saw. bersabda yang artinya: “Amir masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad). []
Referensi:
http://www.dakta.com/opini/23734/wabah-penyakit-dalam-sejarah-islam-dan-bagaimana-menyikapinya