Oleh : Uqie Nai
Seorang Ibu dan Alumni Branding for Writer 212
Penanganan wabah Corona yang dilakukan pemerintah sepertinya terus menjadi sorotan warganet yang saat ini banyak berselancar di dunia maya ketimbang dunia nyata semenjak Covid-19 melanda. Kebijakan pemerintah terus digulirkan mengiringi perkembangan kasus Covid-19 yang seolah belum ada titik terang mampu menangkal virus. Dimulai dari social dan pysical distancing, darurat sipil, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), hingga terbitnya kartu sakti prakerja dirasa belum cukup maksimal atasi dampak wabah Covid-19 bahkan tak sedikit menuai kritikan berbagai kalangan masyarakat. Baru-baru ini kritikan tersebut diarahkan pada dana yang digelontorkan pemerintah untuk memutus mata rantai Covid-19 yang diambil dari beberapa sumber, diantaranya pemotongan tunjangan guru, dana abadi negara (termasuk di dalamnya dana pendidikan) dan dana haji.
.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, memprotes langkah pemerintah yang memotong tunjangan guru hingga Rp 3,3 triliun lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020.
Dalam lampiran Perpres Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, dia membeberkan, tunjangan guru setidaknya dipotong pada tiga komponen yakni tunjangan profesi guru PNS daerah dari yang semula Rp 53,8 triliun menjadi Rp 50,8 triliun, kemudian penghasilan guru PNS daerah dipotong dari semula Rp 698,3 triliun menjadi Rp 454,2 triliun. Kemudian pemotongan dilakukan terhadap tunjangan khusus guru PNS daerah di daerah khusus, dari semula Rp 2,06 triliun menjadi Rp 1,98 triliun. Totalnya mencapai Rp 3,3 triliun.
Dia menyatakan bahwa Perpres Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 merugikan sejumlah pihak, yang justru sebetulnya membutuhkan dukungan lebih dari pemerintah di tengah situasi penyebaran virus Corona.
Selain terkait tunjangan guru, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menyatakan pemotongan anggaran di sektor pendidikan juga dilakukan pemerintah terhadap dana Bantuan operasional Sekolah (BOS), bantuan operasional penyelenggaraan PAUD, bantuan operasional pendidikan kesetaraan, serta bantuan operasional museum dan taman budaya.
Dana BOS dipotong dari yang semula Rp 54,3 triliun menjadi Rp 53,4 triliun, bantuan operasional penyelenggaraan PAUD dipotong dari Rp 4,475 triliun menjadi Rp 4,014 triliun, lalu bantuan operasional pendidikan kesetaraan dipotong dari Rp 1,477 triliun menjadi Rp 1,195 triliun. Selanjutnya pada bantuan operasional museum dan taman budaya dipotong sebesar Rp 5,668 miliar, dari semula Rp 141,7 miliar menjadi Rp 136,032 miliar.
Fikri menyatakan, pemotongan anggaran yang dilakukan pemerintah seharusnya lebih tepat sasaran. Menurutnya, pemotongan seharusnya dilakukan terhadap anggaran belanja modal yang berupa pembangunan fisik dan anggaran kegiatan-kegiatan yang mengumpulkan orang.
Dia menambahkan, anggaran infrastruktur fisik, anggaran belanja perjalanan dinas, anggaran bimbingan teknis, serta anggaran rapat di jajaran pemerintah seharusnya diprioritaskan untuk dipotong. Anggaran untuk bantuan seharusnya diperbesar, seperti anggaran untuk Program Indonesia Pintar (PIP) dan biaya pendidikan seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. (Cnnindonesia.com, Selasa/14/4/2020)
Sementara itu, tanggapan berbeda datang dari Kementerian Agama (Kemenag) melalui juru bicaranya Oman Fathurrahman. Ia mengatakan bahwa dana jamaah tidak akan digunakan untuk penanganan virus Corona (Covid-19) meski sebelumnya wacana menggunakan dana haji untuk penanganan virus Corona muncul dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Agama Fachrul Razi, pada Rabu (8/4). Menurut Oman biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang bersumber dari jemaah sepenuhnya dipakai untuk kepentingan penyelenggaraan haji. (Cnnindonesia, Senin/13/4/2020)
Memperkaya Kelompok Kapital
Penanganan masalah rakyat akibat Covid-19 memanglah sudah sepatutnya dilakukan oleh negara sebagai pemangku kebijakan, dengan berbagai cara ataupun aturan. Namun, apakah sudah tepat jika kondisi masyarakat yang sudah sulit harus dipaksa merelakan haknya diambil atas dalih membantu korban terdampak wabah, sementara pemerintah belum mengupayakan pintu lain sebagai sumber dana operasional ?
Sekalipun negara belum berani mengambil keputusan lockdown secara sentralisasi terkait kasus Corona, setidaknya kebijakan yang diambilnya adalah benar-benar demi kemaslahatan rakyat hingga rakyat merasakan sendiri efek kebijakan itu bagi mereka. Akan tetapi, apa yang terjadi di pemerintahan, melalui usulan stafsus kepresidenan, dana operasional yang diambil dari uang rakyat itu berputar di tangan pengusaha konten yang ditunjuk sebagai platform digital (Digital platform) di balik peluncuran kartu prakerja. Sebut saja Bukalapak, Tokopedia, Haruka Edu dan Ruangguru adalah empat dari delapan digital platform yang ditujuk pemerintah untuk memberikan pelatihan kerja. Yang terakhir disebutkan adalah mitra utama yang digandeng pemerintah untuk memuluskan jalannya kartu prakerja, yakni CEO Ruangguru sekaligus stafsus presiden, Belva Devara, meski kemudian Belva mengundurkan diri setelah polemik keterlibatan dirinya dengan program kartu prakerja mencuat.
Kisruh terus menghangat, warganet nyinyir saling berkomentar. Pasalnya, tak sedikit materi yang ada dalam pelatihan dibanderol dengan tarif selangit, berkisar antara 400 ribu hingga 1 juta rupiah, padahal materi tersebut sebetulnya tidak relevan dengan kondisi rakyat, sebut saja konten tentang cara membuat macaroni schotel. Sementara konten yang sama dapat di akses gratis dari you tube. Kondisi ini tak urung dianggap sebagai program akal-akalan negara beserta stafsus nya meraup keuntungan materi di tengah wabah. Pasalnya, dana yang dikeluarkan negara untuk pelatihan ini sebesar 5,6 triliun, dengan masing-masing keuntungan platform digital sekitar Rp 457 juta. Keuntungan fantastis dengan konten tak realistis.
Kartu prakerja seharusnya diterapkan saat kondisi normal dimana masyarakat tidak dihadapkan pada pandemik seperti sekarang. Pelatihan akan berdaya guna meningkatkan skill serta penghasilan masyarakat di kala kesejahteraan rakyat terpenuhi, nyaman terkendali. Ini adalah harapan semua orang di saat kapitalisasi merajalela di negeri demokrasi. Sayangnya, harapan tersebut tidak akan terwujud selama negara masih memberlakukan ideologi kapitalis dalam sistem pemerintahannya. Fenomena bagi-bagi jabatan hingga bagi keuntungan akan tetap terjadi dalam kondisi stabil maupun pandemik.
Program yang ditawarkan negara hari ini dan tahun-tahun sebelumnya adalah program yang sama dengan karakternya tambal sulam. Mengatasi masalah satu, memunculkan ribuan masalah baru.
Menangani dampak Corona dengan dana yang diambil dari keringat dan hak rakyat adalah kezaliman. Rakyat terus dipaksa berkorban, mengalah dan pasrah atas aturan negara sementara kehidupan mereka morat marit di bawah bayang-bayang korporat dan pemilik modal, sedangkan apa yang dilakukan pemilik kebijakan di pemerintahan bersama kroni kapitalnya adalah meraup keuntungan secara materi tanpa mengindahkan nasib rakyat. Mengapa begitu mudah negara mencairkan dana 5,6 triliun pada proyek kartu prakerja hanya demi pelatihan padahal rakyat butuhnya dana segar untuk mencukupi hidup selama diam di rumah? Ibarat jiwa sedang sekarat diminta pula menggali sumur. Miris dan ironis.
Kekayaan alam Indonesia sangatlah melimpah, dari Sabang sampai Merauke. Demikian pula halnya jika mencari dana segar untuk masyarakat terdampak wabah. Bisa dari dana pejabat, dana infrastruktur, hasil pengelolaan SDA, anggaran jalan-jalan anggota dewan atau dana pembangunan ibukota baru yang sebenarnya bisa di realokasi untuk keperluan darurat dan insidental saat ini. Meski sebelumnya wacana ini sempat tereksplor dari Menteri keuangan Sri Mulyani tapi urung dilakukan, terganti dengan rekening donasi yang dibuka pemerintah untuk masyarakat.
Aroma oligarkhi dalam penggelontoran dana wabah Covid-19 memanglah terasa menyengat. Bagi-bagi keuntungan yang harusnya untuk rakyat berputar di sekitar elit politik. Yang diuntungkan tentu bukan rakyat. Rakyat harus tetap berjuang mempertahankan kelangsungan hidupnya di tengah iming-iming kartu prakerja. Mereka juga harus puas melihat kekayaan publik diserahkan dan dikuasai korporat asing, sementara dampak dan kerugiannya ditanggung rakyat termasuk utang negara. Inilah wajah asli kapitalisme saat berhadapan dengan kebutuhan umat. Landasan akidahnya ada pada keuntungan secara materi dengan menghalalkan berbagai cara. Siapapun dia, selama kapitalisme dijadikan pandangan hidupnya, dipakai dalam sistem pemerintahan, berbangsa dan bernegara, maka oligarkhi kekuasaan akan mewarnai kepemimpinannya.
Islam sebagai Ideologi Berbangsa dan Bernegara
Berharap pada sistem yang berlandaskan materi dibandingkan keimanan jelas suatu harapan palsu nan menipu. Berulangkali wajah-wajah kebijakan berganti, tak satu pun akan memberikan kemaslahatan apalagi membawa umat ke dalam pangkuan kesejahteraan dan kenyamanan. Inilah pentingnya merenungkan firman Allah swt dalam surat Al-Maidah ayat 48-49 yang artinya :
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (TQS. Al-Maidah : 48)
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (TQS. Al-Maidah :49)
Sudah jelas bahwa apa yang di turunkan Allah adalah yang paling benar tapi manusia merasa lebih bijaksana sehingga tidak mau memutuskan perkara menurut yang di turunkan oleh Allah swt. Hari ini hukum Allah di tinggalkan oleh manusia dengan memilih aturan sekular kapitalistik. Aturan yang nyata-nyata membawa kemadaratan bagi umat manusia. Sementara Islam, dengan seperangkat aturannya telah begitu sempurna memberikan rambu dan arahan untuk seluruh manusia agar ada dalam koridor yang benar, tidak menyimpang serta terhindar dari maksiat.
Hari ini, masih Allah tampakkan juga kuasa-Nya berupa virus Corona. Bisa sebagai ujian ataupun azab, tergantung manusia itu menyikapinya. Semua umat manusia tak berkutik di tangan Covid-19, mereka diam, tak bisa berbuat banyak bahkan aktivitas hura-hura penuh hedonis, kemaksiatan, ekonomi, serta sosial mendadak lumpuh. Dari petinggi negeri hingga kaum marginal dibuat ketakutan dengan daya serang Corona yang mematikan. Namun, ketakutan pandemik ini masih melewatkan momen untuk taat syariat. Kebijakan dan program mengatasi Corona yang dikeluarkan berbagai negara di dunia termasuk Indonesia masih kebijakan sekular di bawah undang-undang thagut. Hasilnya, solusi parsial tak solutif mewarnai kehidupan rakyat.
Islam, melalui sosok mulia Rasulullah saw. telah lebih dahulu mengenalkan karantina wilayah dan lockdown manakala ditemui wabah di tengah manusia. Para sahabat pada saat itu diperintahkan Rasulullah untuk menjauhi orang yang terkena penyakit mematikan semisal lepra dan tha’uun. Pribadi Rasul saw pada saat itu adalah sikap seorang negarawan sejati dalam rangka melindungi umat sesuai arahan syariat. Praktik ini kemudian dilakukan pula masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra. saat wabah tha’uun kembali melanda. Korbannya tak tanggung-tanggung, hampir 25 ribu jiwa melayang, dahsyatnya virus tha’uun membuat pemimpin sekaliber Umar bin Khattab ra. berduka. Ia tidak bisa tenang sebelum melihat rakyatnya aman. Ia tak mau makan sebelum rakyatnya makan.
Dalam mengatasi krisis ekonomi, Umar pun bertindak cepat dan tanggap. Ia adalah sosok terdepan dalam kesederhanaan agar ia bisa merasakan bagaimana kondisi rakyatnya yang kekurangan. Saat musibah dan krisis melanda jazirah Arab dan sekitarnya. Kematian tak terelakkan, 1/3 jumlah penduduk meninggal dunia. Umar kemudian mengerahkan struktur, perangkat dan potensi yang ada untuk segera membantu masyarakat. Umar memerintahkan posko-posko bantuan dan menugaskan beberapa pegawainya untuk mendata orang yang minta bantuan. Tungku-tungku dinyalakan sebelum subuh, para pekerja memasakkan makanan yang akan diberikan kepada masyarakat, bahkan Umar tak segan-segan memanggul gandum untuk mereka. Beragam upaya Umar lakukan agar kenyamanan rakyat kembali terealisasi. Dana Baitul Mal ia keluarkan, rumah tepung juga ia buka, sampai benar-benar Umar melihat rakyatnya mendapatkan pelayanan. Masa ini dikenal sejarawan sebagai tahun kelabu.
Kesigapan dan tanggung jawab kepala negara yang dicontohkan Rasulullah saw. dan Khalifah Umar bin Khattab ra. adalah representasi negarawan penerap syariah. Perhatian serta pelayanan pemimpin terhadap rakyat adalah amanah berat yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah swt., sebagaimana diceritakan dalam hadis berikut :
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Laits. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh telah menceritakan kepada kami Laits dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:
"Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang memimpin manusia akan bertanggung jawab atas rakyatnya, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, dan dia bertanggung jawab atas mereka semua, seorang wanita juga pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab atas mereka semua, seorang budak adalah pemimpin atas harta tuannya, dan dia bertanggung jawab atas harta tersebut. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. (HR. Muslim No.3408)
Dengan demikian, apa yang dilakukan negarawan saat ini dalam mengatasi wabah sekaligus dampak susulannya, tak akan secemerlang Rasulullah saw. dan khalifah Rasyidah sesudahnya seperti Umar Al-Faruk ra. Alasannya, ideologi dan landasan berpikirnya-lah yang berbeda.
Islam bukan sekedar agama tapi ideologi shahih yang akan menuntun umat kepada kebahagiaan hakiki, sedangkan kapitalisme sekular adalah ideologi kufur yang muncul dari hawa nafsu untuk mengatur kehidupan manusia tanpa melibatkan Sang Khalik, Allah Azza wa Jalla. Jadi, apa yang terlihat saat ini, kebijakan zalim serta aturan parsial yang diberlakukan negara ke tengah umat berpangkal tidak diterapkannya syariat Allah dan contoh Rasulullah saw. dalam semua aspek kehidupan. Satu-satunya cara mengembalikan kesempurnaan pengurusan umat adalah dengan bersegera mencampakkan aturan kufur tersebut dan mendudukkan Islam dalam sistem pemerintahan sesuai metode Rasulullah saw.
Wallahu a’lam bi ash Shawab
Tags
Opini