Negara Abai Wabah Corona, Suara Ummat Pecah




Oleh : Uli anafia 
(Lingkar Studi Peduli Generasi dan Peradaban)

Kasus corona menjadikan semua pihak sibuk. Mereka harus ikut sigap dan tanggap untuk pencegahan dan penghentian penyebaran secara maksimal. Sebab, diketahui bersama jika salah satu pihak saja mengabaikan dan tidak mengindahkan physical distancing maka sudah tentu wabah ini akan sulit dihentikan. Bahkan wabah akan menjadi paten. 

Banyak pihak dari masyarakat dan ulama yang memberikan himbauan. Bahkan bantuan baik secara materil maupun non-materil. Namun, di sisi lain banyak juga masyarakat yang masih belum menjadikan wabah ini sebagai problem bersama. Mereka adalah orang-orang yang abai dan masih merasa aman terhadap bahaya corona. 

Parahnya, ada sekelompok warga yang memiliki pemahaman kurang terkait penanganan corona. Banyak dari mereka yang salah langkah. Mereka malah berlebihan dalam menyikapi kasus Corona. Misalnya, menolak tenaga medis untuk pulang ke rumah, menolak mayat korban corona, sampai mendzolimi hak tentangga yang terpapar corona. 

Keruwetan itu bukan hanya di lini kebijakan pemerintah. Melainkan juga pemahaman masyarakat yang belum teredukasi dengan benar.

Korban terus berjatuhan. Masyarakat yang tidak teredukasi tersebut, memimpin hoax di banyak pihak. Pertanyaannya, pemerintah dimana?

Memang, secara nomimal pemerintah menunjukkan perannya dalam penanganan corona ini. Seperti, Program Keluarga Harapan (PKH); Kartu Sembako; Kartu Prakerja; pengngratisan pelanggan listrik 450va dan diskon 50%  untuk 900va; 25 triliun untuk operasi pasar dan logistik; dan keringanan pembayaran kredit bagi pekerja informal.

Melihat nominal-nominal itu secara distribusi benarkah sampai ka seluruh rakyat? Benarkah mampu mengcover semua kebutuhan rakyat.  Karena di lapangan, persyaratan yang harus ditempuh berbelit-belit. Ini membuktikan, negara nampak setengah hati dalam penanganan wabah ini. 

Kalau bicara soal bantuan dana bencana,  Bantuan-bantuan ini tidak jauh berbeda dengan lembaga-lembaga masyarakat ataupun pribadi yang menyumbang dana. Seperti,  Muhamad Sayegi Dewa menyumbangkan uang pribadinya sebesar Rp 1 miliar untuk penanganan virus corona atau Covid-19 di Karawang, Jawa Barat. (KOMPAS.com)

Selanjutnya, kalangan artis dan segelintir pejabat negara pun ikut menyumbangkan dana dengan jumlah yang menembus puluhan milyar.  Hal ini tentu wajar jika mengukur nilai nominal harta dan status sosial mereka di tengah masyarakat. 

Justru aktivitas sosial tersebut mengalihkan pemahaman umat bahwa negara harus bertanggung jawab kepada rakyat. Karena negaralah yang harusnya sebagai garda terdepan mengurusi rakyatnya. Sedang jika ada individu atau kelompok yang ingin menyumbang. Ini sifatnya kesadaran, bukan himbauan atau malah paksaan. 

Negara sebagai pihak pemenuh kebutuhan rakyat (periayah) dan pembuat kebijakan. Harusnya bertanggungjawab penuh atas pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Jangan hanya jumlah nominal yang dipaparkan tapi berlainan fakta dalam pelaksanaan. Negara harus menjamin kesejahteraan, kenyamanan dan keterjaminannya kebutuhan pangan. Jika belum mampu memastikan distribusi kepada kepala per kepala, itu berarti negara masih mandul dari tanggungjawab. 

Selanjutnya, negara sebagai pembuat kebijakan. Disinilah seharusnya peran pemerintah. Pemerintah adalah pihak penentu kebijakan. Maka, sudah keharusan ia mengambil kebijakan yang tepat soal penanganan wabah. Karena ia memiliki perangkat terlengkap untuk memenuhi itu semua. Apabila kebijakan salah ambil, maka karut marut semuanya. Bukannya terbebas dari Corona, rakyat malah sengsara dibuatnya. 

Sunggguh, Kapitalismelah yang menjadi batu sandungan pemerintah untuk menentukan kebijakan yang tepat dan benar. Pemerintah yang mengadopsi sistem ini, hanya akan menjadikan hitung-hitungan untung rugi sebagai acuan kebijakan. Bukan menjadikan benar atau salah sesuai Islam. Apalagi tolok ukur halal haram. 

Sebaik apapun pemimpin sebuah negara, apabila tetap mengadopsi sistem yang tidak memanusiakan manusia, maka rakyat tetap akan sengsara.

Nyatalah virus corona semakin kentara mewabah. Ditambah sistem di berbagai sendi kehidupan semakin rapuh dan lemah. Negara tak lagi memiliki bargaining position (posisi tawar yang kuat) di dunia dan hati rakyatnya. Tak ada dukungan rakyat bagi negara sebaliknya rakyat tak punya perisai  negara. Negara tak berfungsi sebagai negara. Rakyatpun terlunta-lunta.

Lihatlah, suara umat terpecah. Antara keluar rumah untuk mencari nafkah atau dirumah saja tapi dapur tak berkebul. Toh taruhannyapun sama-sama nyawa. 

Masyarakat bahkan saling berdalil antara sholat ke masjid atau sholat di rumah. Akibat perbedaan ini umat terbelah. 

Butuh solusi yang tidak hanya cukup ditingkat teknis saja tetapi juga secara sistemik. Maka kembalikan negara kepada peran utamanya. Yakni sebagai perisai dan periayah rakyatnya, bukan negara rasa rakyat. Kedua fungsi tersebut hanya di dapat di dalam sistem Islam.

Selain itu sebagai pembuat kebijakan, pemerintah seharusnya mengambil kewenangan ini dengan amanah. Karena nyawa umat sebagai taruhannya. 

Islam terbukti gemilang selama 13 abad lamanya mampu membawa kehidupan manusia pada peradaban mulia. Apalagi hanya soal corona.

Wallahu'alam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak