Oleh: Bunda Kayyisa Al Mahira
Di tengah pandemi wabah Covid 19, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Kemenkum HAM membebaskan sebanyak 36.706 narapidana, pada Selasa (14/4/2020). Pembebasan napi yang dilakukan pemerintah ini mengacu pada peraturan Permenkumham 10/2020 dan Kepmenkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 sejalan dengan peraturan PP 99/2012.
Alasan pembebasan napi yang dikemukakan pemerintah adalah untuk menggalakkan program asimilasi dan integrasi guna mengantisipasi penularan virus Corona (Covid-19) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) yang melebihi kapasitas. Tak hanya itu ada juga alasan lainnya yang katanya dapat menghemat anggaran.
Selanjutnya terkait dengan salah satunya revisi yang dilakukan kemenkumham adalah narapidana kasus tindak pidana korupsi yang berusia 60 tahun ke atas dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan, pun ikut dibebaskan yaitu sebanyak 300 orang.
Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis daftar narapidana kasus korupsi yang kemungkinan besar bila Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly benar-benar merevisi Perppu tersebut. Ada nama koruptor kasus kakap yang berpotensi bebas. Diantaranya, terpidana kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto; dan mantan Hakim Konsitusi, Patrialis Akbar (tempo, 03/04/2020).
Kebijakan yang terbilang aneh dan tidak masuk akal. Seharusnya agar tidak tertular virus, napi lebih baik diam ditempat jangan dibebaskan. Karena dengan dibebaskannya napi, risiko penularan virus akan semakin bertambah. Sedangkan untuk alasan demi menghemat anggaran, ini menunjukan bahwa rezim yang berkuasa saat ini adalah para kapitalis, yang selalu mengedepankan kepentingan ekonomi, dan menghitung untung rugi dalam mengurus rakyat.
Pun dalam membebaskan narapidana kasus korupsi, seolah ada pesanan terselubung dibalik alasan pencegahan penyebaran virus covid 19. Upaya pembebasan koruptor ini membuktikan bahwa negara tidak bekerja untuk rakyat, tapi untuk kepentingan para korporat.
Dampak pembebasan napi ini kemungkinan besar akan mengakibatkan tindak kriminalitas. Akan semakin meluas, dan rakyat pun bebannya semakin berat, kondisinya akan semakin terpuruk. Sudahlah terkena dampak pandemi, ditambah merebaknya kriminalitas ulah para residivis.
Saat ini sudah mulai terlihat di beberapa wilayah, ada napi yang kembali ditangkap karena berbuat pidana. Padahal, Ditjen PAS mewajibkan napi yang dibebaskan agar menjalani asimilasi di rumah. Seperti di Bali, pria bernama Ikhlas alias Iqbal (29) yang dibebaskan pada 2 April. Ia kembali ditangkap pada 7 April karena menerima paket ganja seberat 2 kilogram. Lalu di Sulawesi Selatan (Sulsel). Seorang pria bernama Rudi Hartono harus kembali mendekam dalam penjara karena hendak mencuri di rumah warga. Begitu juga yang terjadi di Blitar, seorang pria berinisial MS ditangkap dan babak belur diamuk massa setelah kepergok mencuri motor warga. MS dibebaskan pada 3 April dan ditangkap tiga hari kemudian (kumparannews 9/2/2020).
Alhasil kebijakan yang diambil untuk memutus penyebaran covid 19 masih jauh panggang daripada api, malah menambah masalah baru.
Berbeda dengan Islam ketika wabah melanda negeri, Islam memiliki mekanisme khas. Saat sistem Islam diterapkan terbukti berhasil mengatasi wabah. Dengan lockdown dan jaga jarak, wabah teratasi. Nyawa rakyat selamat, pemimpin mengurusi urusan rakyat dan memenuhi kebutuhannya. Maka dari itu, sudah seharusnya menerapkan sistem Islam di tengah kehidupan, agar penanggulangan wabah tak lagi menyengsarakan.
Wallahu a’lam bishshowab.
Tags
Opini