Napi Dibebaskan Karena Alasan Covid-19, Tepatkah?



Oleh: Fauziah, S.PdI  aktivis muslimah peduli umat

SIAPA yang tidak kenal dengan virus Corona? Sepertinya hampir seluruh penduduk dunia mengenal nama ini. Corona Virus Disiase 19 atau yang disingkat Covid-19 ini pertama kali penyebarannya terjadi di Cina. Setelah ditelusuri kembali pemerintah Cina, kasus pertama penyebaran virus corona muncul pada 17 November 2019. 

Komisi Kesehatan Nasional Cina mengkonfirmasi virus corona dapat ditularkan dari manusia ke manusia yang terinfeksi. Bahkan virus itu bisa saja menempel di salah satu tempat dekat pasien corona (dream.co.id). 

Beberapa bulan lalu mata kita terbelalak dengan wabah yang menyerang Kota Wuhan, Cina. Bagaimana tidak, manusia yang terlihat sehat dan sedang berjalan seketika jatuh di tengah jalan dan tempat-tempat umum. Saat melihat itu di negara yang nun jauh di sana, kita mungkin merasa masih aman saja.
 
Namun tidak dengan pemerintah Cina. Saat 2.000 kasus yang dikonfirmasi di Cina, 81 di antara mereka telah meninggal dunia Kota Wuhan di Cina segara membangun rumah sakit dalam enam hari untuk mengobati pasien yang diduga tertular virus corona. Saat itu pemerintah Cina dengan sigap membangun rumah sakit baru di Wuhan, yang disiapkan untuk dapat menampung sekitar 1.000 tempat tidur. 

Namun malang tidak bisa ditolak, wabah ini pun telah masuk ke Indonesia. Dan hari ini, per 6 April 2020, dilansir dari covid19.go.id, di negara kita sendiri Indonesia telah mencatat jumlah pasien yang positif terpapar virus corana berjumlah 2.491, sembuh 192, dan meninggal 209. 

Setelah kita menyaksikan negara kita sedang tidak baik-baik saja, ratusan ribu bahkan jutaan jiwa berjuang melawan derita wabah yang belum diketahui kapan akan berakhir. Tragedi yang merenggut ribuan nyawa, memporak-porandakan perekonomian dan menghentikan berbagai aktivitas kerja membuat para pejabat dan penguasa mengambil langkah cepat untuk mengatasi wabah ini. Namun apakah sudah tepat? Anehnya salah satu pencegahan Covid-19 di Indonesia, pemerintah mengambil langkah membebaskan napi sekitar 30 ribuan. Kementerian Hukum dan HAM akan membebaskan sekitar 30 ribu narapidana dan anak dari lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara, serta lembaga pembinaan khusus anak (LPKA). 

Dengan telah ditetapkannya Covid-19 sebagai bencana nasional nonalam, pemerintah Indonesia menilai perlu untuk melakukan langkah cepat sebagai upaya penyelamatan terhadap tahanan dan warga binaan pemasyarakatan dengan cara pengeluaran dan pembebasan melalui asimilasi dan integrasi. 

Namun langkah ini dinilai tidak tepat. Karena sampai dengan keputusan pembebasan napi itu sendiri belum ada berita atau kabar yang menyebutkan bahwa ada napi yang terindikasi positif corona. Jelas langkah ini tidak sejalan dengan fakta yang ada. Langkah yang diambil memang terhitung cepat, namun tak tepat. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari bahkan dalam sebuah wawancara mengatakan, ia menduga ada kepentingan lain di balik gagasan membebaskan napi dengan mengkaitkan kondisi lapas dan pandemi Corona. 

"Saya pikir banyak pihak yang sedang memanfaatkan keadaan demi kepentingannya, termasuk koruptor dan teman-temannya. Pilihan itu tidak dibenarkan karena jika terjangkit harus dirawat, bukan dibebaskan dari hukumannya," tuturnya. 
Pemerintah sepertinya sedang mempertontonkan kegagalannya dalam mengurusi negara ini. Di tengah wabah ia mengambil langkah yang cepat namun tak tepat. Bagaimana tidak, bahkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron mengatakan, alasan Covid-19 untuk membebaskan napi itu ditolak oleh lembaganya.

Sistem Islam, Berada Bersama Rakyat di Tengah Pandemi

Partikel renik Covid-19 itu mampu membuka mata hati rakyat bahwa sistem Kapitalisme telah gagal mengatasi wabah sejak pertama kali muncul. Tidak hanya memanfaatkan krisis dan kebutuhan rakyat demi kepentingan kelompok elite politik saja, kapitalisme “sukses” membawa manusia pada krisis kepercayaan. Demikianlah tabiat kapitalisme. Sistem yang hanya memikirkan materi tanpa pernah tulus memberikan kesejahteraan rakyat secara cuma-cuma. Berharap akan “kemurahhatian” pemimpin di era kapitalistik serasa bagai pungguk merindu sang bulan.

Itu mustahil, karena mereka akan selalu minta kompensasi atas servis yang mereka berikan pada rakyat. Pengharapan akan ketulusan pemerintah dalam mengurus urusan rakyat hanya terealisasi jika Islam yang menjadi pengatur atas kehidupan manusia.

Pemenuhan harapan itu niscaya terjadi karena setiap Khalifah itu dipilih demi menjalankan tugas memenuhi kebutuhan seluruh rakyat. Mereka tak bakal mengingkari amanahnya karena sungguh takut akan implikasinya di akhirat. 

Saat sistem Islam diterapkan dan menajdi adikuasa, tidak akan pongah dan berani memanfaatkan kelemahan rakyat. Sistem Islam juga steril dari kepentingan bisnis, apalagi memberi keistimewaan bagi raksasa korporasi yang bakal menangguk untung besar di saat seluruh rakyat menestapa. Itu hina dan haram bagi pemimpinnya, yakni Khilafah.
 
Pesan politis dari sang virus semestinya memberi kesadaran bahwa kapitalisme hanyalah peradaban sampah yang tak mampu mengatasi masalah, bahkan pasti melahirkan masalah berikutnya seperti kebijakan pemerintah melepaskan 30 ribuan napi yang akhirnya menimbulkan kekhawatiran ditengah masyarakat. Saatnya bagi masyarakat untuk menjadikan sistem alternatif yang mampu mengatasi krisis secara bermartabat, yakni Sistem Islam. Tidak cukup hanya mengimani janji Allah akan tegaknya negara tersebut, tapi turutlah jalan terjal untuk memperjuangkannya. Wallahua’lam bishshowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak