Oleh : Indriyatul Munawaroh
Seiring meluasnya persebaran virus Corona, maka semakin banyak dampak yang dirasakan, baik oleh pemerintah maupun rakyat. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia, pemerintah menetapkan beranekaragam kebijakan demi mengatasi wabah COVID-19 ini. Mulai dari menerapkan social distancing, pemberlakuan darurat sipil yang kemudian berganti menjadi PSSB (Pembatasan Sosial Skala Besar), sampai kebijakan penyelamatan ekonomi.
Kebijakan yang mengejutkan berbagai kalangan adalah ketetapan pemerintah untuk membebaskan para nara pidana di tengah merebaknya wabah Corona. Seperti dilansir oleh CNN Indonesia, bahwa Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah mengeluarkan dan membebaskan 30.432 narapidana dan Anak melalui program asimilasi dan integrasi berkenaan dengan virus corona (05/04). Selanjutnya Yasona H. Laoly, Menkumham, menjelaskan bahwa setidaknya ada empat syarat dalam pembebasan napi melalui mekanisme revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Kriteria pertama adalah narapidana kasus narkotika dengan syarat memiliki masa pidana 5 sampai 10 tahun yang sudah menjalani 2/3 masa tahanan. Kriteria kedua, usulan pembebasan itu berlaku bagi narapidana kasus tindak pidana korupsi yang berusia 60 tahun ke atas dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan.
Kriteria ketiga yakni bagi narapidana tindak pidana khusus yang mengidap sakit kronis dan telah menjalani 2/3 masa tahanan. Sedangkan kriteria terakhir berlaku bagi narapidana WNA asing sebanyak 53 orang.
Kebijakan inipun menuai berbagai pertanyaan pada masyarakat. Betapa tidak, dengan dalih menyelamatkan napi dari wabah Corona dan penghematan anggaran hingga Rp260 miliar pemerintah membebaskan puluhan ribu Napi –termasuk Napi koruptor yg berusia lanjut. Himbauan untuk tetap di rumah seakan-akan tidak sinkron dengan kebijakan pembebasan napi.
Bukankah seharusnya napi yang berada dalam rutan justru aman dari sebaran wabah? Bukankah napi yang dibebaskan akan berpotensi meningkatkan kriminalitas? Apakah dengan dalih penghematan anggaran ini rakyat bisa memenuhi kebutuhannya selama dihimbau untuk tetap di rumah saja?
Pembebasan napi kriminalitas dan napi koruptor menunjukkan bukti tiadanya keseriusan pemerintah atasi masalah kriminalitas khususnya korupsi. Napi yang dikenai tahanan yang seharusnya jera justru akan menganggap enteng masalah hukum karena bisa dibebaskan dengan alasan adanya wabah.
Kebijakan ini justru bisa munculkan masalah baru berupa peluang kriminalitas yg bisa dilakukan mantan napi di tengah kondisi ekonomi yang buruk. Para napi yang baru bebas pastinya belum mempunyai pekerjaan dan harus memenuhi kebutuhan hidupnya yang saat ini justru banyak yang absen kerja bahkan di PHK. Beberapa napi yang dibebaskan justru kembali berulah hingga akhirnya dibui lagi.
Diketahui fenomena napi yang baru dibebaskan namun kembali berbuat ulah terjadi di beberapa lokasi. Seperti di Bali, pria bernama Ikhlas alias Iqbal (29) yang dibebaskan pada 2 April. Ia kembali ditangkap pada 7 April karena menerima paket ganja seberat 2 kilogram.
Lalu di Sulawesi Selatan (Sulsel). Seorang pria bernama Rudi Hartono harus kembali mendekam dalam penjara karena hendak mencuri di rumah warga.
Selanjutnya di Blitar, seorang pria berinisial MS ditangkap dan babak belur diamuk massa setelah kepergok mencuri motor warga. MS dibebaskan pada 3 April dan ditangkap tiga hari kemudian (Kumparan, 09/04).
Masyarakat semakin takut dan kalut, karena kondisi seperti ini. Dalam arti ekonomi tidak jelas, pengangguran banyak, hidup susah dan menyebabkan potensi kriminologinya besar.
Hal ini jauh berbeda dengan pengaturan dalam pandangan Islam. Dari segi penanganan wabah, sudah barang tentu lockdown bagi daerah tempat munculnya wabah akan dilakukan. Selama lockdown pun seorang pemimpin wajib memenuhi kebutuhan agar bisa bertahan hidup. Bukan hanya menghimbau tetap di rumah tetapi kepastian bertahan hidup tidak tentu.
Dari segi hukum pun, kebijakan pembebasan napi tidak singkron dengan kondisi saat penyebaran wabah, karena akan menimbulkan persebaran yang lebih meluas. Ditambah lagi pembebasan napi justru akan dipandang bahwa hukum sanksi bisa diotak-atik dan terkesan tidak tegas. Dan tidak akan memberikan efek jera pada pelakunya.