Oleh : Ummu Farida
(Ibu Peduli Ummat)
Di situasi lockdown karena pandemi, Sebanyak 30.000 lebih narapidana bebas sebelum waktunya, lewat program asimilasi dan integrasi kementerian hukum dan HAM. Mereka dibebaskan untuk mencegah penyebaran Covid-19, di lingkungan Rutan dan Lapas yang kini sudah melebihi kapasitas, dan juga untuk menghemat anggaran negara, untuk memenuhi kebutuhan warga binaan pemasyarakatan atau WBP.
Mereka yang menerima program asimilasi, diwajibkan diam di rumah masing-masing sampai diintegrasi lewat pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, atau cuti bersyarat . Sementara yang mendapat program integrasi boleh keluar rumah, tetapi karena pandemi tetap dianjurkan untuk tidak kemana-mana sebagaimana anjuran social distancing.
Yang terjadi, justru di antara mereka berulah kembali begitu keluar dari Lapas. Lapas tidak menjadikan jera, mereka melakukan tindakan kriminalitas sebagaimana yang dilakukan sebelum mereka masuk penjara, hingga publik dibuat cemas. Sebagai contoh, AC dari Singkawang Kalimantan Barat ditangkap lagi karena maling motor. B dan TDK juga menjambret lagi setelah bebas dari Lapas Lamongan. GR berusia 23 tahun dari Pontianak dilaporkan mencuri ponsel, bahkan sudah empat kali setelah bebas.(tirto.id, 15/4/2020).
Ini membuktikan bahwa Lapas dalam sistem kapitalis, tidak menjamin keamanan publik, karena pembinaan yang dilakukan di Lapas, tidaklah mampu merubah pola pikir dan pola sikap para napi dalam menghadapi kehidupan. Begitu para napi bebas, mereka dihadapkan dengan kehidupan yang semakin sulit, kebutuhan meningkat, tidak punya pendapatan karena tidak memiliki keahlian dan sempitnya lapangan pekerjaan. Tanpa berfikir panjang akhirnya para napi kembali beraksi.
Dalam Islam, Uqubad (sanksi) disyari'atkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan. Kejahatan adalah perbuatan-perbuatan tercela. Tercela sendiri adalah apa yang dicela oleh Syar'i (Allah). Ketika Syara' telah menetapkan bahwa perbuatan itu tercela, maka sudah pasti perbuatan itu disebut kejahatan tanpa memandang besar kecilnya kejahatan. Syari'at telah menetapkan perbuatan tercela sebagai dosa yang harus dikenai sanksi.
Kejahatan bukan ada dengan sendirinya. Kejahatan bukan pula profesi yang diusahakan oleh manusia, juga bukan penyakit yang menimpa manusia. Tapi, kejahatan adalah tindakan melanggar peraturan yang mengatur perbuatan-perbuatan manusia, dalam hubungan dengan Rabbnya, dengan dirinya sendiri, dan dengan manusia yang lain. Allah SWT telah menciptakan manusia lengkap dengan potensi kehidupannya, yakni berupa naluri-naluri dan kebutuhan jasmani. Naluri-naluri dan kebutuhan jasmani adalah potensi hidup manusia yang mendorongnya untuk melakukan pemenuhan terhadap kebutuhan jasmani dan nalurinya. Membiarkan pemenuhan itu tanpa aturan akan menghantarkan pada kekacauan dan kegoncangan. Juga akan menghantarkan pada pemenuhan yang keliru atau pemenuhan yang tercela.
Oleh karena itu, Allah mengatur perbuatan-perbuatan manusia dengan mensyari'atkan halal dan haram, yang mengandung perintah dan larangan. Yang melanggar akan dikenai sanksi ('uqubat) di dunia dan di akhirat. 'Uqubad (sanksi ) berfungsi sebagai zawajir ( pencegahan) dan jawaban (penebus). Sehingga manusia takut untuk melanggar larangan Allah SWT.
Maka pemberian sanksi yang tegas dalam rangka memberikan efek jera, ada dalam penerapan Islam secara Kaffah. Wallanualam