By : Fauza Taqiya
Dunia saat ini lagi kewalahan dalam penanganan wabah Covid-19, yang semakin hari peningkatan kasus begitu banyak. Di Indonesia sendiri tidak jauh berbeda dengan negara lain dalam penanganan wabah Covid-19. Semua orang fokus dalam proses penanganan wabah ini, namun berbeda halnya dengan para anggota legislatif. DPR-RI dikabarkan bakal mengesahkan Rancangan Undang-undang Mineral dan Batu Bara (RUU MINERBA) Nomor 4 Tahun 2009 tanggal 8 Arpil mendatang. Padahal sebelum terjadi pandemi corona pengesahan Rancangan Undang-undang Mineral dan Batu Bara (RUU MINERBA) Nomor 4 Tahun 2009 telah banyak ditolak dan mendapat protes aksi besar-besaran pada akhir September 2019 lalu, hingga terjadi penundaan oleh Presiden Joko Widodo.
Mengenai pengesahan kembali Rancangan Undang-undang Mineral dan Batu Bara (RUU MINERBA) Nomor 4 Tahun 2009 para kalangan peneliti dan aktivis pertambangan menyampaikan kecaman mereka, dimana pengesahan tersebut di saat kondisi seperti ini dinilai melanggar secara proses dan substansi. Selain itu juga dipandang bisa mengancam hilangnya mata pencaharian masyarakat utamanya di sekitar tambang.
Manajer Advokasi Publish Waht You Pay (PWYP) Ariyanto Nugroho mengungkapkan, DPR belum pernah mengundang masyarakat sipil dalam pembahasan Rancangan Undang-undang Mineral dan Batu Bara (RUU MINERBA) Nomor 4 Tahun 2009 ini. Bahkan kata dia, pihaknya mengaku telah beberapa kali mengirim surat ke komisi VII untuk meminta audiensi terkait RUU MINERBA, namun hingga kina tidak ada tanggapan. Selain beliau, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah, RUU ini terdapat beberapa pasal yang berpotensi menjadi ancaman bagi masyarakat jika disahkan. Misalnya, Pasal 165 yang memiliki kecenderungan melindungi pejabat korupsi yaitu dengan menghilangkan pasal pidana, Pasal 115A juga dikritik bisa membuka peluang kriminalisasi terhadap warga penolak tambang. Peneliti Tambang dan Energi Aurigia Iqbal Dmanik menyampaikan, RUU MINERBA ini akan memuat perubahan Pasal 169 sebagai pemutihan renegoisasi kontrak-kontrak Pemegang Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sehingga menguntungkan para pengusaha tambang. (05/04/2020 kumparan.com)
Pengesahan RUU MINERBA ini sangatlah tidak manusiawi, dimana saat ini perlunya fokus untuk proses penanganan wabah Covid-19 yang semakin tinggi. Pada tanggal 05 April 2020 saat Konferensi pers menggunakan aplikasi Zoom, Dinamisator JATAM Kaltim Pradhama Rupang menyatakan bahwa baleg akan kembali melakukan rapat pembahasan revisi UU MINERBA dalam waktu dekat, beliau menilai DPR-RI tidak memiliki simpati dimana di tengah wabah Covid-19 ini dimanfaatkan untuk memuluskan revisi UU MINERBA. (05/04/2020 tribunkaltim.co)
Apa yang menjadi latar belakang, untuk segera merevisi UU MINERBA ini? Dan mengesahkannya, saat terjadi pendemi global? Padahal saat ini ada tujuh maskapai pertambangan batubara besar yang akan berakhir, yang umumnya memegang Pemegang Perjanjian Pemegang Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama. Dalam perevisian RUU MINERBA ini banyak kecenderungan dimana lebih terkesan lebih mengakomodasi kepentingan segelintir pihak. Upaya DPR-RI mengesahkan RUU MINERBA menunjukkan watak rezim kapitalis yang hanya berpihak pada kaum elit dan abai terhadap kemaslahatan rakyat, serta hilang empati pada penderitaan rakyat. Pada sistem kapitalisme kekayaan alam yang seharusnya dikembalikan kepada rakyat malah diberikan hak pengelolaan kepada swasta. Dimana undang-undang tersebut sudah diintervensi oleh asing dan kepentingan kaum kapitalis, yang memiliki konsep kebebasan kepemilikan.
Dalam Islam kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara dijamin serta diatur dan dibatasi oleh syariah. Termasuk kepemilikan umum, yang mengacu pada hadits : “Manusia berserikat dalam tiga hal : air, padang gembala dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Pengelolaan mengenai kepemilikan umum dalam Islam dilakukan dengan 2 cara, pertama, pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat umum (air, padang rumput, api, jalan umum, laut samudra sungai besar dan lainnya) dan tetap diawasi oleh negara. Kedua, pemanfaatan di bawah pengelolaan negara (minyak bumi, gas alam, dan bahan tambang lainya) yang hasilnya masuk dalam kas negara untuk kepentingan rakyat. Hasil tersebut bisa dalam bentuk uang barang atau untuk membangun sekolah, rumah sakit gratis dan pelayanan umum.