Oleh: Nadiya Sidqin
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah mengeluarkan dan membebaskan 30.432 nara pidana dan Anak melalui program asimilasi dan integrasi berkenaan dengan virus corona. Data tersebut dirilis per Sabtu (4/4) pukul 14.00 WIB.(CNNIndonesia.com/5/4/2020)
Menurutnya hal itu didasarkan pada Peraturan Menkuham (Permenkumham) Nomor 10 Tahun 2020 tentang syarat pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi narapidana dan anak dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19.
"Adalah langkah dilakukan Kemenkuham untuk pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19 di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Rumah Tahanan Negara (Rutan), maupun Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)," ujarnya.
Alasan lainnya adalah demi menghemat anggaran, selain angka overcrowding lapas. Sebagaimana dilansir dari tirto.id (1/4/20), "Penghematan anggaran kebutuhan WBP mencapai 260 an milyar rupiah, selain mengurangi angka overcrowding," ujar Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produkasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Yunaedi melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Rabu (1/4/2020).
Wacana pemberian remisi atau pembebasan bersyarat bagi para napi koruptor di tengah pandemi Covid-19 menuai polemik. Sejumlah pihak menyesalkan sikap pemerintah yang terkesan mencari kesempatan untuk meringankan hukuman para koruptor melalui wacana revisi Peraturan Pemerintah ( PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Diantaranya pihak Indonesia Corruption Watch. Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Fariz menilai, Yasonna sengaja memanfaatkan wabah Covid-19 sebagai justifikasi untuk merevisi aturan tersebut.
"Wacana ini dimunculkan bisa kita sebut aji mumpung, bisa juga kita melihat sebagai peluang, sehingga ada akal-akalan untuk mengaitkan kasus corona yang terjadi saat ini dengan upaya untuk merevisi PP 99/2012 agar narapidana kasus korupsi bisa menjadi lebih cepat keluar dari selnya," kata Donald dalam konferensi pers, Kamis (2/4/2020) lalu.
Karena itu, Donald menilai, wacana tersebut tidak didasari oleh alasan kemanusiaan, melainkan untuk meringankan hukuman para koruptor.
"Kasus corona hanya menjadi momen yang dipakai saja untuk menjadi justifikasi. Jadi bukan soal hak, bukan soal corona, tetapi ini adalah kerjaan dan agenda lama yang memang belum berhasil," ucap Donald.
Begitu pula dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang turut menyesalkan munculnya wacana tersebut. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, napi koruptor tidak tinggal di sel yang penuh, sebagaimana napi umum lainnya.
"Perlu kami tegaskan terhadap napi korupsi yang selama ini dalam pemahaman kami kapasitas selnya tidak penuh, tidak seperti sel napi pidana umum, tidak ada alasan untuk dilakukan pembebasan," kata Ghufron dalam keterangan tertulis, Sabtu kemarin.
Hal senada juga disampaikan oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Kemanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Ada dua alasan pemerintah untuk tidak memberikan remisi kepada koruptor.
Pertama, mereka tidak menempati sel yang berhimpitan layaknya napi kasus hukum lainnya. Sehingga, mereka dinilai sudah menerapkan physical distancing untuk mencegah penularan Covid-19.
"Kalau (narapidana) tindak korupsi itu sebenaranya tidak uyug-uyugan (berhimpitan) juga sih, tempatnya mereka sudah luas, sudah bisa melakukan physical distancing ya," kata Mahfud, Sabtu malam.
Kedua, pemberian remisi terhadap koruptor memang diatur di dalam PP 99/2012. Namun, ia menegaskan, pemerintah tidak mempunyai rencana untuk merevisi PP tersebut seperti dikemukakan Yasonna selama ini.
"Pada tahun 2015, presiden sudah menyatakan tidak akan mengubah dan tidak punya pikiran untuk merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012, jadi tidak ada sampai hari ini itu rencana memberi pembebasan bersyarat kepada napi koruptor," tegas Mahfud.
Setelah mendapati banyak kritikan, Yasonna belakangan menyatakan bahwa wacana revisi itu masih dalam tahap usulan dan belum tentu disetujui Presiden.
Ia juga menegaskan, tidak semua napi di atas usia 60 tahun akan mendapat remisi. Sebab, menurut dia, hanya yang telah menjalani 2/3 hukumanlah yang akan mendapat remisi. (nasional.kompas.com/5/4/2020)
Melihat wacana ini, tersirat bukti tiadanya keseriusan pemerintah untuk mengatasi masalah kriminalitas khususnya korupsi. Landasan yang dipakai dalam wacana lebih kental nuansa politis, berpijak pada dalih, bukan rasionalitas dan dalil konstitusi.
Argumentasi yang dipakai amat lemah sehingga mudah sekali dipatahkan oleh pihak lain dengan argumen yang lebih rasional. Ini menunjukkan watak pemikiran sekuler kapitalistik memanglah dangkal. Tak menjangkau akar persoalan, kecuali hanya di permukaan. Wajar jika polemik mencuat.
Menanggapi alasan kemanusiaan, nyata itu hanyalah kosmetik belaka. Sejatinya, rasa kemanusiaan itu telah mati, jasadnya terkubur bersama nyawa rakyat korban Corona akibat lambannya penanganan dan kebijakan 'bunglon' penguasa. Napi yang tetap pada tempatnya tidak mengurangi rasa kemanusiaan sedikitpun selama mereka diperlakukan sebagaimana mestinya tahanan. Hajat mereka dipenuhi negara, tanpa dikurangi sedikitpun. Mereka dibina agar kembali menjadi manusia "normal" kelak ketika masa tahanan berakhir. Terkait wabah Covid-19, justru penjara menjadi lokasi isolasi yang efektif mengingat orang-orang di luar sana butuh "berlindung".
Tak hanya itu rasa keadilan sosial pun turut meregang nyawa akibat 'selektif' nya penguasa mengusut tindak dugaan kriminal. Kriniminalitas yang terus "hidup" sehingga penjara penuh adalah bukti belum ampuhnya sistem peradilan yang diterapkan. Terkait itu, sejumlah fakta menggelitik begitu kasat mata, yaitu apabila pihak terlapor dari kalangan umat Islam dan aktivisnya atau pihak-pihak yang tak sejalan dengan rezim, pemerintah langsung 'gercep'. Sebaliknya, bila pelapor dari kalangan umat Islam dan aktivisnya, pemerintah 'cuek bebek'.
Mengenai alasan over crowded, ini aneh rasanya, di satu sisi pemerintah bersemangat membebaskan para napi koruptor, di sisi lain pemerintah justru menangkap dan memenjarakan aktivis yang kritis.
Oleh karena itu, kembali pada wacana Menteri Yasonna, kebijakan "pengosongan" lapas justru dapat memunculkan masalah baru berupa peluang kriminalitas yang bisa dilakukan mantan napi di tengah kondisi ekonomi yang buruk. Betapa tidak, dorongan pemenuhan kebutuhan hidup yang tak bisa ditunda akan berhadapan dengan pembatasan aktivitas ekonomi. Dengan begitu, "mencuri" dan "menjarah" bisa menjadi fenomena lumrah.
Ada baiknya penguasa melakukan introspeksi, jangan sampai kebijakan yang diwacanakan berbenturan dengan rasionalitas sehingga rakyat selalu terimbas.
Sebagai saran alternatif, tidak berlebihan kiranya meniru langkah kesuksesan para pemimpin di masa dahulu sebagaimana yang pernah dilakukan khalifah Umar bin Khattab. Ketika terjadi masa kelabu, yaitu musibah kekeringan besar melanda Madinah, pemerintahan khalifah Umar bin Khattab mampu melaluinya dengan gemilang. Kriminalitas pencurian memang terjadi, tetapi khalifah tidak mempidana sebab alasan syar'i yaitu mereka mencuri untuk bertahan hidup (makan) di tengah kepungan musibah paceklik, bukan untuk gaya hidup foya-foya.
Selain itu, penghentian sementara zakat maupun pajak juga dilakukan mengingat ketidakmampuan rakyat untuk membayar dikarenakan bencana. Lalu dari mana negara mencukupi kebutuhan rakyat yang terdampak bencana?
Hal ini dapat dilihat dari solidaritas yang begitu indah, yaitu ketika wilayah lain memiliki kelebihan harta seperti Mesir, tak tanggung-tanggung segera memberikan bantuan pangan dan pakaian secara cuma-cuma kepada korban di Madinah sebagai wilayah yang mengalami bencana. Semua didasari landasan iman, meringankan beban saudaranya. Dengan begitu, beban Baitul Mal menjadi ringan karena diangkat bersama-sama. Stabilitas negara dapat dipulihkan tanpa menunggu waktu lama.
Lebih dari itu semua, landasan iman dan takwa begitu kokoh sehingga kasus kriminalitas amat langka. Berkebalikan dengan fenomena penjara over-capacity seperti hari ini. Ditambah efektifnya sanksi hukum Islam yang berlaku, membuat jera sekaligus menebus dosa dunia. Maka amat rasional jika pada masa Islam tegak, para pelaku kriminal justru minta dieksekusi semata-mata agar dosanya diampuni.
Istimewanya Islam menangani persoalan kriminalitas. Tuntas dan tanpa perdebatan. Maka tidakkah kita meneladani kesempurnaan Islam dalam berhukum?
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (TQS. Al-Maidah: 50)