Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis
Wabah Corona terasa mencekam bagi sebagian besar rakyat dunia, tak terkecualia Indonesia. Di mana sebarannya lebih mirip deret eksponensial, dalam waktu yang relatif pendek, jumlah orang yang dinyatakan positif terkena virus corona sangat banyak. Sementara itu, kit saksikan Bersama, seakan pemimpin kurang “cepat tanggap” dalam mengatasi sebaran virus ini. Di tengah kegagapan pemimpin negeri ini dalam mengcounter wabah, ternyata ikut muncul pula sebaran hoax seputar Corona yang tak kalah mengkhawatirkan.
Tak bisa dipungkiri, bagi sebagian orang, dia tidak mampu mencerna mana hoax dan mana fakta. Akan tetapi, keberadaannya yang tersebar dan seolah dibiarkan berkembangbiak layaknya virus Corona itu sendiri. Kalua mau jujur, seharusnya ini menjadi tamparan keras bagi Otoritas terkait, seperti Kominfo.
Betapa tidak, dalam sebulan misalnya, sejak 25 Pebruari 2020 hingga 25 Maret 2020, trend hoax mengalami kenaikan signifikan, lebih dari 100 persen. Yaitu dari 127 temuan (republika.co.id) menjadi 305 hoax (kompas.tv) yang telah menyebar melalui media sosial.
Angka ini tidak kalah mengkhawatirkan sebab akan berpengaruh kepada persepsi dan sugesti masyarakat. Semestinya, rakyat dilindungi tidak hanya fisiknya tetapi juga psikisnya dari paparan "virus" hoax yang meresahkan. Terlebih, banyak penelitian yang menyampaikan, bahwa imunitas manusia juga sangat dipengaruhi oleh tingkat “stress” yang dia alami.
Kalau kita mau merenung dan jujur mengakui, akar permasalahannya adalah sistem demokrasi-kapitalisme yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat kita. Sistem ini begitu menjunjung tinggi kebebasan, termasuk kebebasan berpendapat. Dengan dibukanya kran kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi, orang bebas menyebarkan informasi apa saja. Dengan ditinggalkannya konsep halal dan haram, orang akan melakukan apa pun untuk bisa meraih keuntungan sebesar mungkin dengan modal sekecil-kecilnya, termasuk dengan menyebarkan berita hoax.
Sistem pendidikan berbasis sekulerisme yang diterapkan negeri ini juga menyumbang peran yang cukup besar. Masyarakat tidak memiliki standar yang jelas untuk memilah suatu berita. Apalagi menjadikan Islam sebagai standar untuk menilai kebenaran suatu berita. Sulitnya mengakses pendidikan tinggi juga memicu pola sikap masyarakat untuk tidak menganggap penting sebuah literasi. Sehingga upaya cros cek ke sumber langsung sering tidak menjadi pilihan.
Faktor ideologi dan politik pun tidak kalah penting perannya. Meskipun sering dikatakan bahwa media, khususnya media massa, harus netral dan objektif, tapi fakta di lapangan mengatakan sebaliknya. Media digunakan untuk mempertahankan posisi penguasa dan atau menjatuhkan lawan politik, baik tokoh maupun kelompok yang dianggap berseberangan.
Dalam ajaran islam, seorang muslim diperintahkan untuk tabayyun atau meneliti kebenaran sebuah berita sebelum mempercayai apalagi menyebarkannya, yang bisa menjerumuskannya dalam fitnah. (QS.al-Hujurat 49 : 6 dan QS al-Isra ayat 36). Sehingga dibutuhkan ketaqwaan tinggi bagi tiap - tiap individu di negeri ini untuk bisa melawan hoax. Karena individu yg bertaqwa, dia akan terus berusaha mengamalkan apa yang diperintahkan Allah SWT.
Namun ketaqwaan individu saja tidaklah cukup membendung arus berita hoax, kontrol masyarakat juga diperlukan sebagai upaya amar ma'ruf nahi mungkar. Demikian pula negara, harus serius dan optimal dalam mencegah dengan cepat beredarnya kabar hoax.
Di sinilah urgensinya otoritas pemimpin yang mumpuni untuk mengatasi serbuan kabar burung / hoax. Dimana rakyat patuh dan mendukung kebijakan pemimpin karena mereka menunjukkan keseriusan dalam mengurus hajat rakyatnya. Otoritas penerangan seperti kemenkominfo berfungsi optimal mencegah hoax berkeliaran.
Wallahu a'lam.