Oleh : Baiq Winda Asmiati Dewi
Aktivis Dakwah Kampus
Aktivis Dakwah Kampus
Virus corona bak pembunuh yang menyeramkan, keseramannya membuat gempar dan takut seluruh masyarakat di berbagai negara. Penularan Covid-19 semakin cepat dan korban yang meninggal pun semakin hari semakin bertambah jumlahnya, hingga pemerintah di berbagai negara memutuskan untuk lockdown termasuk pemerintah daerah Indonesia.
Di samping kebijakan lockdown pemerintah daerah juga memberhentikan segala aktivitas yang berbaur perkumpulan seperti perdagangan, agenda peribadatan, acara pernikahan sampai pada ranah pendidikan baik dari tingkat dasar sampai pada perguruan tinggi guna untuk mengantisipasi penyebaran virus Corona.
Namun dibalik liburnya aktivitas pembelajaran sekolah berbasis offline, justru pendidikan saat ini sedang mengalami polemik. Pasalnya pembelajaran yang biasanya dilakukan di sekolah diubah menjadi di rumah dengan sistem online. Dimana siswa tetap mengerjakan semua tugas sekolah meski berada di rumah dengan memanfaatkan jaringan internet, dan proses pembelajaran siswa selama berada di rumah berada dalam jangkauan orang tua.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim mengatakan, pihaknya mendukung kebijakan pemerintah daerah (PEMDA) yang meliburkan sekolah karena khawatir dengan penyebaran Covid-19. Menurut Nadiem, keselamatan peserta didik dan guru menjadi yang utama. Dalam hal ini Ia mengatakan bahwa "Dampak penyebaran Covid-19 akan berbeda dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Kami siap dukung kebijakan yang diambil pemda." ujar Nadiem. (Republika.co.id,18/03/2020)
Meski terlihat menyenangkan, pembelajaran di rumah bukanlah sesuatu yang mudah bagi para orang tua. Sebab, banyak orang tua yang mengeluh bahkan stres menghadapi pembelajaran berbasis online. Karena selama libur pihak sekolah masif memberikan sejumlah tugas pada siswa setiap harinya, yang dikirimkan oleh para guru melalui surat elektronik.
Hal ini bisa dilihat dari beberapa orang tua yang memiliki berbagai macam persoalan ketika anaknya dihadapkan dengan pembelajaran online, diantaranya Meysa selaku orang tuanya Satrio yang merasa disibukkan dengan aktivitas belajar anaknya di rumah dan mengaku stres karna anaknya terlalu santai dalam mengerjakan tugas. Kemudian hal yang serupa dialami Hilmi selaku wali murid Sabiq, ia mengatakan bahwa anaknya tidak belajar lagi setelah selesai mengerjakan tugas 2-13 halaman jam 9. Orang tua murid lainnya, Inung, juga mengatakan bahwa tidak semua orang tua bisa menyediakan fasilitas bagi anaknya di rumah. (Republika.co, 18/03/20)
Nampaknya, bukan hanya orang tua yang stres karena harus menemani anaknya dalam belajar, ternyata banyak anak-anak juga stres karena mendapatkan berbagai tugas setiap hari dari para gurunya, ini terbukti dengan banyaknya aduan kepada Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait anak-anak yang stres karena banyak tugas secara online yang diberikan oleh para guru.
Dilansir oleh detikNews.co (18/03/20). Komisioner KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan bahwa KPAI menerima pengaduan sejumlah orang tua siswa yang mengeluhkan anak-anak mereka malah stres karena mendapatkan berbagai tugas setiap hari dari para gurunya.
Berbagai macam problematika yang sedang membelit para orang tua, hal yang wajar bila ini terjadi. Pasalnya, para orang tua khususnya kaum ibu tidak memiliki kesiapan yang matang dalam menyiapkan bahan pembelajaran bagi anak di rumah. Hal ini disebabkan karena para ibu lebih disibukkan dengan urusan karir daripada mengurus buah hati mereka, terutama dalam hal pendidikan.
Pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada para guru, seolah-olah pendidikan anak bukan lagi tanggung jawab orang tua. Padahal sejatinya peran orang tua terutama ibu adalah sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya. Tetapi realitanya, para ibu lebih suka disibukkan dengan pekerjaan dan karir sehingga kapasitas pendidikan anak tak dihiraukan lagi.
Apalagi dengan adanya program kesetaraan gender yang mengakibatkan peran ibu tak lagi pada tempatnya, maka bukan hal yang tabu lagi, bila kita melihat banyak kaum ibu yang melalaikan kewajibannya dan lebih mengutamakan pekerjaan. Kesetaraan gender yang menjadi solusi masalah perempuan dalam memberdayakan hak-hak perempuan, justru membawa perempuan keluar dari fitrahnya.
Ditambah lagi hidup dibawah naungan sistem demokrasi yang berideologikan kapitalisme. Sehingga menghasilkan perempuan bervisi kerja bahkan materialistik. Maka dengan melihat perempuan dewasa ini, sejatinya eksistensi perempuan sebagai pendidik generasi hanyalah bombastis, dan ini kenyataan pahit yang harus diterima perempuan.
Berbeda halnya dengan Islam. Dalam pandangan Islam perempuan khususnya ibu memiliki peran besar dalam kehidupan baik kehidupan rumah tangga, masyarakat, dan negara. Dalam rumah tangga seorang ibu memiliki pengaruh besar terhadap anak-anaknya. Sebab, baik buruknya manusia dominan dipengaruhi oleh sikap dan perilaku ibunya.
Islam memuliakan perempuan dan menempatkannya pada posisi dan peran yang tepat, sesuai kodrat penciptaannya. Perempuan adalah ibu generasi. Di pundaknya terletak tanggungjawab yang besar untuk melahirkan dan mendidik generasi berkualitas tinggi sebagai aset bangsa.
Perempuan memberikan kontirbusi besar dalam peradaban, sebab perempuan adalah pendidik peradaban. Karena perempuan memiliki karakteristik yang khas seperti sifat lemah lembut, penuh kasih sayang, penuh perhitungan dan berjiwa pendidik. Perempuan yang berkualitas maka akan melahirkan generasi yang berkualitas, yang akan membangun masyarakat dan negara.
Seperti kita ketahui bahwa banyak tokoh-tokoh besar Islam yang dibesarkan oleh ibunya saja. Diantara mereka adalah Iman Syafi’i, Imam Ahmad dan Al-Bukhari. Karena keberhasilan dalam mendidik anak-anak, maka peran ibu dalam Islam patut diperhitungkan.
Generasi berkualitas seperti ini, juga tidak terlepas dari peran negara dalam menyiapkan kurikulum, metode, biaya, dan sarana yang mendukungnya. Jadi, dalam kondisi apapun baik normal maupun pandemi, tujuan pendidikan dalam Islam tidak berubah dan tetap direalisasikan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka negara akan bersungguh-sungguh dalam memberikan pelayanan terbaik untuk warga negara termasuk pendidikan.
Khilafah Islamiyah dalam penyelenggaraan pendidikan, telah menyediakan sarana yang mendukung pembelajaran pendidikan. Bagi para penyusun kurikulum dan para pengajar, ketika mengusulkan sarana dan teknik mengajar untuk seluruh materi pun memperhatikan konsep kreatifitas. Oleh karenanya, sarana dan uslub tidak bersifat tetap, akan berkembang dan berkesinambungan. Dan segala kebutuhan dalam pendidikan akan difasilitasi oleh negara.
Sarana dan media Pendidikan dalam Khilafah Islamiyah sangat mumpuni dan modern dimasanya, dilakukan dengan beberapa pendekatan. Yaitu antara lain:
Pertama, negara wajib menyediakan perpustakaan umum, laboratorium, dan sarana pengetahuan lain.
Kedua, perpustakaan yang ada memiliki ruangan khusus dan disediakan ulama dan para pakar (ilmuwan) yang senantiasa hadir untuk menjawab rasa ingin tahu siswa.
Ketiga, pemanfaatan sarana pendidikan lain semacam pemancar radio, televisi, surat kabar, majalah dan penerbitan untuk menunjang proses pembelajaran.
Dengan tiga pendekatan di atas, Khilafah Islamiyah akan tetap mampu menjalankan proses pembelajaran terbaik, baik dalam keadaan normal maupun dalam keadaan pandemi.
Wallaahua’lam bi ash-shawwab
Tags
Opini