Oleh: Dewi Susanti (Guru dan Pemerhati Kebijakan Publik)
Untuk mengantisipasi penyebaran korona atau lebih dikenal dengan covid 19 beberapa daerah di Indonesia sudah memberlakukan belajar di rumah bagi pelajar di seluruh jenjang pendidikan. Akibatnya supaya pembelajaran bisa berjalan maka perlu pendampingan oleh orang tua. Meski terlihat menyenangkan, namun yang terjadi orang tua menghadapi kesulitan dan banyak yang mengaku stress ketika mendampingi anak mereka belajar di rumah.
Seperti dilansir dari republika. co. id. Seorang ibu mengaku kesulitan dalam mendisiplinkan anak mereka dengan waktu. Para ibu harus teriak teriak mengingatkan anaknya soal jadwal jadwal mereka. Sementara para guru sudah menunggu laporan kegiatan siswa di rumah. Nampak sekali orang tua sangat tidak siap dengan pembelajaran dalam jaringan (daring) ini.
Kebijakan setengah lockdown dengan meliburkan anak-anak dari sekolah membongkar kegagapan perempuan dalam mendidik anak terlebih yang belum baligh. Tersebar keluhan demi keluhan bahwa para ibu kelimpungan dan kewalahan menghadapi kondisi anak masing-masing. Pun demikian sang anak yang bersuara perihal bundanya lebih galak, lebih tidak sabar, lebih buruk dalam mengajar dibanding guru mereka di sekolah. Namun apa daya, kegagapan ibu ini didiamkan oleh aktivis feminisme dan negara demi label negara yang komitmen pada kesetaraan gender.
Ketidaksiapan ibu dalam mendampingi anak anak belajar di rumah adalah sesuatu yang wajar dalam sistem kehidupan sekuler kapitalistik sekarang. Dimana ibu yang seharusnya menjadi ibu dan pengatur rumah tangga di dorong ikut ambil bagian di ranah publik dengan dalih kesetaraan gender. Sehingga kewajiban utama ibu dialihkan ke lembaga lembaga pendidikan.
Kegagapan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 ini membawa perempuan pada kondisi ‘simalakama’. Feminisme yang selama ini berada dalam naungan kapitalisme telah menggariskan bahwa dalam mengejar ‘kesetaraan’ konsekuensi logis yang harus terjadi adalah perempuan dicetak menjadi pekerja. Sama sekali tidak ada cetakan sebagai istri terlebih ibu generasi. Efek dominonya kaum lelaki merasa tidak perlu ada tanggung jawab nafkah bagi perempuan yang telah ‘mandiri’ yang menjadi tanggungannya. Serta menjadikan sekolah adalah jasa laundry anak.
Jika saja perempuan dibiarkan dalam koridornya, tidak dipaksa keluar jalur, dan tak memaksakan sesuatu yang mustahil didapatkan, maka tak ada ibu yang gagap mendidik generasi yang lahir dari rahimnya sendiri. Pun tidak ada perempuan yang harus antara hidup dan mati demi titel berpenghasilan dan pertumbuahan ekonomi.
Momentum Kembali
Sudah cukup klaim-klaim kesetaraan gender ditelan oleh perempuan. Sudah cukup perjalanan perjuangan yang berusia seratus tahun lebih digenggam. Nyatanya bahkan dengan deklarasi Beijing pun nasip perempuan tak pernah beranjak lebih baik. Pandangan penyelesaian kehidupan yang berasaskan gender harus diubah dan diganti ke pandangan yang lebih tepat. Yakni memandang manusia, baik laki-laki dan perempuan dengan sudut pandang hamba. Sebagai hamba yang lemah dan terbatas, yang memiliki Tuhan yang maha kuasa.
Sebaran Covid-19 di negeri-negeri muslim membawa hikmah bahwa bisa jadi peristiwa ini adalah teguran. Teguran hamba yang berlagak menjadi Tuhan dengan seenaknya membuat aturan sesuai hawa nafsu mereka.
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Maidah: 49)
Dalam Islam telah ada koridor aturan teruntuk khusus bagi perempuan, pun koridor aturan khusus bagi laki-laki. Meski nampak mustahil, nyatanya Covid-19 memaksa perempuan ‘kembali ke rumah’, hadir untuk putra-putrinya. Pun makhuk Allah bernama Covid-19 menjadikan sholat jamaah menjadi sedemikian langka, mewah dan berharga bagi kaum laki-laki.
Sehingga ketika perempuan sudah dipersiapkan sejak awal menjadi ummu warobatul bait dan ummu madrosatul ula seperti yang diwajibkan dalam Islam, maka tak ada kekhawatiran ketika anak-anak kembali ke rumah karena akan tetap mendapatkan pendidikan terbaiknya. Bukan tergagap kebingungan bagaimana menghadapi lockdown di rumah atau bahkan stress dibuatnya.
Dari setiap ujian hidup, pasti akan ada hikmah yang bisa kita petik. Apa yang terjadi sekarang bisa jadi ini adalah kesempatan kita sebagai orang tua menguatkan kembali ikatan anak dengan orang tua, mengokohkan akidah mereka dan msmbentuk syaksiah islam pada diri mereka.