Melepas Napi Bukti Abai Atasi Pandemi




Oleh : Ulfatun Ni’mah
 (Pemerhati Kebijakan Publik)

Guna memutus rantai penyebaran pandemi, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan pembebasan bersyarat. Hotel prodeo yang berpenghuni sesak kini lebih lengang   dari biasanya.

Dilansir dari Kompas.com. Ditjen Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM  mencatat, ada 35.676 narapidana yang dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan per Selasa (8/4/2020) kemarin. 

Melalui program asimilasi dan integrasi sebagai bentuk pencegahan penyebaran virus korona (Covid-19) sejumlah napi dibebaskan di wilayah lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan dii Indonesia. 

Hal senada juga dilakukan oleh Negara-negara di Eropa telah memutuskan membebaskan sebagian narapidana demi mengurangi penyebaran penyebaran virus corona (Covid-19) di penjara. Kekhawatiran soal risiko di penjara telah dibahas dalam konferensi video para menteri kehakiman Uni Eropa (UE) pada Senin (6/4).Walau sampai saat ini belum ada kebijakan khusus UE terkait Covid-19 di penjara, masing-masing negara sudah melakukan langkah lebih dulu dengan penilaian tidak mungkin para tahanan melakukan jaga jarak. (CNNIndonesia, 07/04/20)

Adapun yang menjadi dasar dibukanya jeruji besi bagi sekitar 11 persen dari jumlah tahanan seantero negeri adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 serta Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Permenkumham) Nomor 10 Tahun 2020.  Ini dijadikan  landasan hukum Presiden Jokowi dan Menkumham Yasonna Laoly sepakat memberikan keringanan tersebut sebagai tindak lanjut antisipasi merebaknya Covid-19 di lingkungan lapas.

Pelaksanaan peraturan tersebut sebenarnya sempat menuai polemik. Wacana yang diusulkan Menkumham Yasonna Laoly menyelipkan usulan pembebasan juga diperuntukkan bagi napi korupsi langsung  mendapat reaksi keras publik dan beberapa lembaga pemerhati hukum serta korupsi sehingga wacana itu segera dibantah dan diluruskan oleh Presiden Jokowi.(Tempo, 09/04/2020).

Lantas apakah kebijakan ini tepat di tengah wabah pandemi? 

Kebijakan bebas bersyarat kepada seseorang yang terbukti telah melakukan kejahatan bukanlah perkara sederhana. Selain butuh pertimbangan justifikasi yang tepat, implikasi lanjutan di luar lapas setelah napi tersebut dibebaskan seharusnya turut menjadi hal yang diperhitungkan dengan matang. Mengingat jumlah napi yang dibebaskan tidak sedikit, serta jangka waktu berlangsungnya pandemi belum diketahui secara pasti.

Tidak ada yang mengetahui kapan wabah ini berakhir. Pembebasan 30 ribu tahanan di Indonesia bisa jadi gelombang pembebasan kali pertama atau  terakhir. Selain itu, meskipun Polri mengatakan bahwa tingkat kriminalitas menurun selama pandemi Covid-19, angkanya tetap terbilang besar dan mustahil akan nihil sama sekali. 

Ketika pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar  digalakkan dan rakyat sedang diperintah untuk di rumah saja. Seharusnya napi juga aman dibalik jeruji besinya namun kenapa dibebaskan?. Ini merupakan kebijakan  yang kontradiktif dan bukti ketidakseriusan serta abainya  pemerintah dalam menangani korona.

Kondisi lapas yang overkapasitas tidak bisa dijadikan alasan, bukankah kondisi di lapas   jauh lebih aman bagi mereka ketimbang berada di luar berkeliaran  malah justru menjadi penyebab  jangkauan penularan lebih meluas.  Negara seharusnya mencari tempat untuk menampung para napi tersebut dan memungkinkan physical distancing. Bukan malah membebaskan para napi yang berpotensi meningkatkan kriminalitas di masa krisis ekonomi seperti sekarang mengingat  jejak ragam tindak kriminal di era 4.0 juga semakin beraneka rupa.

Tentang overkapasitas lapas  dan sistem sanksi yang efektif perlu dikaji lebih dalam. Saat ini semua tindak kriminalitas mayoritas berujung sanksi penjara, akibatnya lapas penuh. Hukuman penjara juga tak menjerakan. Terlebih tercium aroma memanfaatkan  pandemi ditunggangi untuk mengeluarkan sejumlah napi koruptor yang berusia di atas 60 tahun yang dikhawatirkan rentan akan penularan pandemi. 

Berbeda dengan sistem sanksi  dalam   Islam.  Syariah menetapkan bentuk hukuman yang menjerakan. Misalnya potong tangan bagi pencuri, qishas bagi pembunuhan disengaja, rajam bagi pezina muhshan, jilid bagi pezina ghairu muhsan, penyitaan harta bahkan sampai hukuman mati bagi koruptor, dll.

Hukuman yang membuat pelakunya jera sekaligus menggugurkan dosa. Bahkan tidak hanya bagi pelaku kriminal, sistem sanksi yang diberlakukan  oleh Islam di laksanakan di tempat umum guna disaksikan khalayak ramai sehingga bagi yang menyaksikan akan mengambil pelajaran untuk menjauhi perbuatan yang melanggar peraturan. Tentunya semua didorong atas dasar keimanan.

Ketegasan  hukum pun tak terjamin dalam sistem kapitalis demokrasi. Berbeda dengan Islam, supremasi hukum yang kuat tanpa mengenal siapa yang bertindak. Cukup memberi bukti minimnya kriminalitas.

Di sisi lain, kewajiban politik mengurusi rakyatnya seharusnya berada di tangan penguasa. Alasan overkapasitas tidak dibenarkan, ini hanya upaya cucitangan penguasa. Rezim diuntungkan dengan pembebasan 30.000 napi karena bisa menghemat pengeluaran negara sebesar Rp 260 miliar.  Ini juga yang terjadi dalam sistem kapitalis sekuler dengan dalih menjunjung tinggi  sisi kemanusiaan di tengah pandemi Covid-19, namun di sisi lain ada berbagai dampak multi aspek di depan mata yang siap terjadi serta dampak lain yang tidak kasat mata yang bisa saja terjadi.

Belum lagi, dampak sosial yang diciptakan setelah keberadaan napi dilepaskan. Apakah masyarakat kembali siap untuk menerima mereka. Selain itu, para eks napi ini juga secara otomatis menjadi bagian kelompok ekonomi rentan yang seharusnya juga dijamin oleh pemerintah. Nyatanya eks napi belum menjadi bagian dari jaring pengaman sosial yang berhak atas stimulus ekonomi. Alih-alih langkah pemerintah membebaskan napi membuat kondisi lebih baik, justru adanya mantan ‘warga binaan' dengan status rentan ekonomi membuat  situasi semakin pelik.

Ditambah predikat yang melekat pada eks napi seolah hukuman abadi yang menciptakan atmosfer kelam di masyarakat. Stigma  pelaku kriminal, kurangnya keahlian, trauma masyarakat akan tindak kejahatan menambah alasan sulitnya mantan napi berjuang sendiri mencari penghidupan. Alhasil tentu semua pihak tidak menginginkan hal itu bermuara pada kriminalitas yang membawa mereka check in kembali ke hotel prodeo.

Mestinya kebijakan pembebasan napi oleh pemerintah memang tidak boleh dieksekusi secara tergesa-gesa dan bukan pula karena kesepakatan bersama semua negara yang terjangkit pandemi. Dibutuhkan justifikasi serta pertimbangan dampak lanjutan yang matang dan komprehensif karena ini bukanlah kebijakan solutif di tengah pandemi. Di lain sisi langkah ini menunjukkan bahwa sistem kapitalis sekuler hanya akan melahirkan para pemimpin yang abai dalam pengurusan terhadap rakyat  dan jauh dari nilai-nilai ketaqwaan dalam memimpin rakyatnya.

Wabah korona seharusnya menyadarkan saat ini kita butuh penguasa yang mencintai rakyatnya dan rakyatpun mencintainya. Pemimpin amanah yang dipilih memang untuk mengurusi dan menjaga rakyatnya dengan bersungguh-sungguh memperhatikan urusan rakyatnya. 

Semenjak kemunculan wabah ini di Wuhan, kemudian menjangkit masuk Indonesia, Penguasa enggan mengurusi. Langkahnya kurang efektif malah menganggap virus  jadi bahan candaan. Di tengah ancaman nyata pandemi dengan jumlah korban yang semakin tinggi justru lebih mementingkan urusan ekonomi dan menimbang  untung rugi dalam setiap kebijakannya bukan  nyawa rakyatnya sebagai prioritas utama.

Aroma kebijakan setengah hati nampak begitu kentara. Atas dalih kemanusiaan, negara justru menarik donasi dari rakyat. Bahkan  subsidi yang dijanjikan untuk rakyat ternyata berasal dari utang. Mirisnya lagi,   sudah jatuh tertimpa tangga. Pasien positif korona harus menempuh jarak jauh tersebab rumah sakit penanganan korona direncanakan dibangun pada area yang cukup jauh terjangkau. Dan  kini napi dibebaskan, koruptor dibiarkan melenggang.

Pelaksanaan kebijakan nyatanya tak semulus yang yang dijanjikan. Untuk memperoleh haknya pun rakyat harus melewati administrasi yang cukup rumit dan berbelit. Ditambah banyak janji manis yang diobral saat mendulang suara, namun faktanya hanya rasa kecewa. Lantaran berbagai program yang digulirkan nyatanya hanya pencitraan.

Berbeda halnya dalam Islam,   dicontohkan baginda Rasulullah yang selalu berdiri terdepan siap pasang badan dalam meriayah ummatnya. Dengan iman dan ketakwaannya, Beliau memimpin ummat dengan penuh cinta dan kasih sayang. Bersungguh-sungguh memperhatikan urusan ummatnya. Karena seorang pemimpin bertanggung jawab atas rakyatnya, bukan saja di dunia tapi hingga akhirat.
Sejarah juga mencatat keberhasilan pemimpin Islam, sebutlah  Khalifah Umar bin Khattab dalam menangani wabah. Salah satunya dengan  proses karantina wilayah atau menerapkan lockdown. Sebagaimana Nabi bersabda: “Jika kalian mendengar suatu wilayah, janganlah kalian memasukinya. Jika wabah terjadi di tempat kalian berada, jangan kalian tinggalkan tempat itu”(HR al-Bukhari).

Negara pun  menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat selama lockdown, menjamin pelayanan kesehatan berupa pengobatan dan obat secara gratis untuk seluruh rakyat, mendirikan rumah sakit beserta laboratorium pengecekan dan pengobatan. Serta menjamin ketersediaan alat pelindung diri (APD) yang memenuhi standar bagi para tenaga medis di seluruh wilayah. Terbukti dengan langkah-langkah ini wabah teratasi, nyawa rakyat lebih utama ketimbang hanya memikirkan ekonomi.

Sudah  saatnya kita ganti sistem korup ini dengan sistem Islam, karena hanya Islam yang dapat mensejahterakan ummat.  Yang akan dikomando oleh pemimpin amanah yang peduli mengurus rakyatnya dengan benar. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurus rakyatnya.”(HR al-Bukhari).  Bukan pemimpin yang  abai terhadap urusan ummatnya,  hanya mementingkan segelintir kelompok saja. Bahkan lebih sibuk dengan kebijakan yang berujung  pencitraan saja. Wallahu’alam bishawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak