Oleh : Ummu Almee
Sistem reproduksi pada perempuan nyatanya mempunyai pengaruh yang besarpada kesehatan psikis hingga mental. Sayangnya, tak semua edukasi terkait sistem reproduksi perempuan diketahui banyak masyarakat. Hal ini diungkapkan Ade Maharani, Head of Marketing DKT Indonesia dan Andalan. "Saat ini masih ada berbagai tantangan serta isu yang dihadapi perempuan Indonesia, khususnya terkait kesehatan reproduksi," jelasnya di kawasan Grogol, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu. Ada tiga masa reproduksi yang dianggap sebagai momen rentan pada perempuan yaitu saat menstruasi, saat kehamilan dan saat menyusui. Ketiga masa itu jadi masa yang rentan baik dari segi psikis maupun mental pada perempuan. Hal tersebut juga dijelaskan oleh Mariana Amirudin, Komisioner Komnas Perempuan. Pada masa mentruasi, tubuh perempuan memproduksi hormon yang berpengaruh pada kondisi tubuh dan perasaannya, saat melahirkan perempuan juga mengalami penurunan drastis pada kesehatan tubuhnya. Mariana menyebutkan, hal tersebut berpengaruh pada lingkungan perempuan itu sendiri, apakah mendukung atau tidak. Dalam masa menyusui, faktor lingkungan juga jadi salah satu faktor perempuan dalam memproduksi ASI. "Produksi ASI jika lingkungan tidak mendukung, misalnya mertuanya ngeselin, suaminya kurang support, itu jadi menimbulkan depresi. Depresi dituntut untuk menyusui tapi tidak ada dukungan," jelas Mariana. "Orang lain tidak paham kesehatan tubuh perempuan dan kesehatan mentalnya," sambungnya.
Perempuan yang menjalani profesi sebagai wanita karier tentu punya banyak tuntutan, walaupun dihadapkan dengan kenyataan tentang kondisi kesehatan mereka terkait sistem reproduksinya. Hak reproduksi dan agenda kesehatan reproduksi (Kespro) dengan kedok kesehatan telah berhasil menipu banyak pihak, khususnya dunia kesehatan dan insan kesehatan. Di Indonesia, hal ini tampak dari pelegalan agenda berupa UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan sejumlah peraturan pelaksananya. Agenda ini menipu pandangan banyak orang tidak saja dengan menanamkan mindset kufur tentang perempuan dan haknya, seksualitas, serta kesehatan. Namun juga penyesatan melalui pencampuradukan aspek alami dengan aspek ideologis berupa buah pahit penerapan sistem kehidupan sekuler. Kehamilan remaja dihubungkan dengan persoalan kematian ibu dan anak. Yang bila ditelaah penyebabnya bukanlah kehamilan itu sendiri, melainkan sistem kehidupan sekuler kapitalisme yang tidak selaras dengan fitrah perempuan, tidak berpihak pada kebutuhan dan kesehatan ibu hamil dan kehamilannya. Sebab secara alami, menstruasi merupakan indikasi kesiapan sistem reproduksi perempuan secara anatomis dan fisiologis untuk menjalani kehamilan. Artinya, kehamilan dan melahirkan pada usia muda tidak akan membahayakan kesehatan ibu dan anak selama didukung sistem kehidupan ekonomi-sosial-politik bagi terwujudnya pola makan dan perilaku yang sehat juga pola emosi serta ketersediaan fasilitas kesehatan berkualitas yang mudah diakses.
Namun sayangnya, pernikahan dini telah divonis sebagai penyebab dan dipandang sebagai persoalan kesehatan. Sementara faktanya, pola makan tidak sehat dan segala hal yang bersifat negatif terhadap pemenuhan kebutuhan ibu hamil dan melahirkan adalah buah pahit sistem kehidupan sekularisme. Khususnya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme yang tidak memberikan dukungan kepada kesehatan dari sisi manapun.
Kondisi ini terjadi ketika semua hajat hidup dijadikan komoditas dan negara fasilitator bagi dominasi korporasi ini di satu sisi. Di sisi lain sistem kehidupan sekular kapitalis ini juga menjadi ruang subur perilaku seks bebas. Ujungnya, merebak kehamilan tidak diinginkan. Sementara aborsi serta alat kontrasepsi dijadikan sebagai solusi bagi agenda kespro.
Namun, untuk menyamarkan fakta ini, dipopulerkan istilah aborsi aman, berkualitas dan bertanggungjawab. Sementara riset menunjukkan komplikasi pada tindakan aborsi yang disengaja jauh lebih berisiko, dibandingkan pada aborsi dengan indikasi medis. Oleh karena itu, agenda hak reproduksi, program kesehatan reproduksi dan segala wujudnya sangat membahayakan kesehatan dan kehidupan, di samping merendahkan martabat perempuan, dan menyengsarakannya. Terlebih lagi akan menjauhkan dari keberkahan dan rida Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Solusi Islam
Islam berpandangan perempuan adalah kehormatan yang wajib dijaga. Sebagaimana halnya kaum laki-laki, perempuan adalah makhluk ciptaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang paling mulia, “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam.” (TQS al Isra’[17]:70). Gelar kemuliaan itu tetap disandang, tentunya selama manusia melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang untuk itulah ia diciptakan, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada Ku” (TQS adz Dzariyat [51]:56). Sehingga, kaum perempuan sebagaimana halnya laki-laki wajib terikat kepada syariat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, termasuk dalam menggunakan naluri seks dan organ reproduksinya, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.”(TQS al Ahzab [33]:36). Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan naluri seks adalah untuk tujuan terhormat dan mulia, yakni, demi lestarinya ras manusia. Tentu demikian juga dengan tujuan penciptaan sistem reproduksi.
Kesehatan sendiri dipandang Islam sebagai sebaik-baiknya nikmat setelah keimanan. Hal ini ditegaskan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasalaam, yang artinya, “Mohonlah ampunan dan afiyat/kesehatan kepada Allah karena seseorang tidaklah diberi sesuatu yang lebih baik setelah keimanan dari kesehatan.” Di samping itu, Islam menjadikan kesehatan sebagai kebutuhan pokok publik bukan jasa dan komoditas komersial. Hal ini ditegaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari). Meski merupakan peristiwa alami, bukan penyakit, namun Islam memberikan perhatian khusus kepada perempuan hamil dan melahirkan. Sebagaimana tergambar dari ungkatan “wahnan ‘ala wahnin” (berat yang bertambah-tambah). Bahkan Islam membolehkan wanita hamil, melahirkan, dan menyusui tidak berpuasa Ramadan demi menjaga kesehatan salah seorang atau keduanya. Padahal puasa Ramadan sendiri diwajibkan kepada yang lain.
Islam tidak akan membebani wanita tanggung jawab nafkah, sehingga negara tidak akan pernah menerapkan program kesetaraan gender yang memaksa perempuan bekerja. Bahkan ketika nafkah tidak mencukupi, negaralah penanggungjawabnya. Ini berlaku untuk semua kebutuhan pokok. Berupa pangan, sandang, papan, air bersih, dan energi. Ini di satu sisi. Di sisi lain pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan menjadi tanggung jawab negara langsung dan sepenuhnya, berkualitas tanpa pungutan sepeser pun. Tinta emas sejarah peradaban Islam telah mengabadikan semua kebaikan ini. Sistem kehidupan Islam sebagai wujud pelaksanaan syariah kafah benar-benar serasi dan kondusif bagi fungsi keibuan dan kesehatan perempuan, ibu hamil, dan melahirkan.
Wallahu’alam bish shawab.
Tags
Opini