Kesetaraan Perempuan dalam Pendidikan



Oleh: Nor Aniyah, S.Pd*

Kesetaraan untuk perempuan tidak bisa dilepaskan dari faktor pendidikan yang dapat membuka wawasan serta pikiran. Pendidikan untuk perempuan telah diperjuangkan sejak lama di Indonesia. Namun dalam kenyataannya, pendidikan untuk wanita belum merata. Faktor ekonomi dan patriarki seolah menjadi hal yang tidak dapat dielakkan oleh kaum perempuan. Padahal, menurut psikolog Pendidikan Reky Martha, pendidikan dapat menjadi peluang perempuan menyejahterakan hidupnya(cnnindonesia.com, 10/03/2020).

Sementara itu, kondisi kurang kondusif bagi perempuan-perempuan akademisi juga disokong oleh adanya pelecehan seksual di institusi pendidikan. Menurut studi-studi terdahulu yang dicantumkan dalam penelitian Settles et al. (2006), pelecehan seksual terhadap perempuan di kampus berkisar antara 36-44 persen. Lebih lanjut dalam tulisan yang dimuat di jurnal Psychology of Women Quarterly tersebut, dari meta-analisis 71 studi, dinyatakan sebesar 58% perempuan di ranah akademis pernah mengalami pelecehan di tempat kerja (tirto.id, 18/08/2017).

Meskipun terdapat kemajuan dalam pendidikan selama 25 tahun terakhir, kekerasan terhadap wanita dan anak perempuan masih terjadi di banyak wilayah di seluruh dunia, menurut sebuah laporan yang dirilis pada Rabu (4/3) dari UNICEF, Entitas PBB untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women), dan Plan International. 

Pada 1995, dunia mengadopsi Beijing Declaration and Platform for Action, agenda kebijakan untuk kesetaraan gender, dengan visi mengakhiri diskriminasi terhadap wanita dan anak perempuan, kata laporan itu. Namun, 25 tahun kemudian, diskriminasi dan stereotip yang membatasi masih lazim ditemukan.

Pada 2016, 70 persen korban perdagangan orang yang terdeteksi secara global adalah wanita dan anak perempuan, sebagian besar untuk tujuan eksploitasi seksual. Selain itu, 1 dari setiap 20 anak perempuan berusia 15-19 tahun, atau sekitar 13 juta anak perempuan, mengalami pemerkosaan dalam kehidupan mereka, salah satu bentuk pelecehan seksual paling kejam yang dapat dialami wanita dan anak perempuan, papar laporan itu (satuharapan.com, 05/03/2020).

Meski secara global, sepanjang 25 tahun sejak BPFA 1995 sudah banyak kemajuan pada kondisi pendidikan perempuan, namun masalah-masalah kekerasan masih sangat rentan dialami perempuan. Solusi setara gender dalam pendidikan perempuan tidak menuntaskan semua masalah perempuan seperti kekerasan, ekonomi dan sebagainya.

Rusak dan merusak. Itulah kiranya buah penerapan sekularisme di bawah kapitalisme. Pendidikan yang harusnya disokong penguasa, kini tak lagi berdaya. Perempuan dalam laki-laki sulit untuk memperoleh akses terhadap pendidikan yang dikomersilkan kapitalis. Problematika perempuan selama ini semata-mata akibat tegaknya ideologi sekuler kapitalisme. Setengah abad telah berlalu, kehidupan jutaan perempuan secara global masih tetap mengerikan. 

Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS. an-Nahl [16]: 97).

Begitulah, telah jelas Islam menganggap kaum perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki, yaitu sebagai hamba Allah SWT. Dalam Islam, kesetaraan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan sebagai hamba Allah juga berkembang hingga sampai pada hal-hal yang bersifat duniawi, seperti pendidikan. Pendidikan adalah kebutuhan kaum perempuan dan laki-laki.

Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah). 

Model pendidikan terbaik wajib disediakan oleh negara karena negaralah memiliki otoritas yang diperlukan bagi penyelenggaraan bermutu. Termasuk penyediaan dana yang mencukupi, sarana, prasarana yang memadai dan SDM yang unggul. Sistem politik Islam akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang mendukung, sementara sistem ekonomi Islam akan melahirkan pengelolaan sumber-sumber ekonomi dan dana. Kedua fungsi ini akan saling menunjang penyelenggaraan umum yang merupakan kewajiban negara untuk setiap warga negaranya, yakni dalam bidang layanan kesehatan, keamanan, infrastruktur dan pendidikan. Hal inilah yang pernah terjadi pada masa kejayaan Khilafah Islam. 

Negara menganggap pendidikan sebagai kebutuhan pokok yang harus dipenuhi negara. Maka, negara akan memberikan pendidikan dasar dan lanjutan hingga perguruan tinggi (universitas) secara gratis, bagi laki-laki maupun perempuan. 

Arti penting mencari ilmu pengetahuan tidak dapat diremehkan. Di dalam sistem Islam, setiap Muslim akan didorong mencari pengetahuan, berbuat atas dasar pengetahuan yang ia miliki, dan menyampaikan ilmu yang dimiliki kepada orang lain. Sejarah Islam telah memberikan contoh betapa banyak para ulama yang berasal dari kaum perempuan. Sebuah fenomena yang tidak pernah dijumpai sebelumnya dalam sejarah umat manusia. 

Ibnu Hajar, ahli hadits terkemuka dalam bukunya al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, menyebut 500 perempuan ahli hadits. Generasi pertama kaum Muslim juga memiliki tokoh-tokoh ilmu dan pendidikan dari kalangan shahabiyat. Sebut saja misalnya ‘Aisyah binti Abu Bakar. Ia sebut sebagai alam an-nas wa afqah an-nas wa ahsan an-nas rayan fi al-ammah (orang paling pandai, paling faqih, dan paling baik di antara semua orang). 

Ad-Dzahabi dalam bukunya Siyar Alam an-Nubala (Riwayat Hidup Ulama-ulama Cerdas) mengatakan: "Tidak kurang dari 160 sahabat laki-laki menuntut ilmu kepada Ibunda ‘Aisyah”. Sebagian ahli hadits lain menyebut murid-murid beliau ada 229 orang, terdiri dari 67 perempuan dan 232 laki-laki. Ummu Salamah binti Abi Umayyah mengajar 101 orang, terdiri dari 23 perempuan dan 78 laki-laki. Hafshah binti Umar memiliki 20 murid, yaitu 3 perempuan dan 17 laki-laki. Hujaimiyah al-Washabiyyah mempunyai 22 murid laki-laki. Fathimah binti Qais juga mempunyai 11 murid laki-laki.

Semua kemuliaan, keadilan dan kesejahteraan sudah pernah diraih oleh kaum perempuan Muslimah sejak empat belas abad yang lalu, di mana saat itu kaum perempuan di luar peradaban Islam masih terbelenggu dalam kegelapan, kesengsaraan, kebodohan, penindasan dan diskriminasi. Alhasil, apabila negara mau mengambil langkah-langkah strategis tersebut, maka akan dapat diciptakan kembali keunggulan akademik di kalangan rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan.[] 



*) Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak