Kesetaraan Gender



               Oleh: Rohliyati Fachrurrozi, S.E.

Ide kesetaraan Gender sebenarnya berangkat dari fakta diskriminatif yang menimpa kaum perempuan. Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran, bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak, seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan. Karena itu, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki di hadapan hukum.

Pada 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali di dirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda. Ide Kesetaraan Gender (KG) ini diusung oleh gerakan feminisme. Feminisme sendiri dicetuskan pertama kali oleh aktivis  Sosialis Utopis, Charles Fourier,  pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, The Subjection of Women (Perempuan sebagai Subyek) pada tahun (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada tahun 1830-1840 sejalan dengan pemberantasan praktik perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan, diberi kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak pilih. Menjelang abad 19, feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood).

Pada tahun 1960 muncul negara-negara baru. Ini menjadi awal bagi perempuan untuk mendapatkan hak pilih dan selanjutnya terlibat dalam ranah politik kenegaraan saat mereka diikutsertakan dalam hak suara parlemen. Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis  seperti Helene Cixous (seorang  Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Prancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Prancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida.
Masuknya ide kesetaraan gender ke negeri-negeri kaum Muslim,  dibawa oleh mereka yang mendapatkan pendidikan di Barat, atau yang telah di-brainwash di Barat. Tokoh-tokoh awal yang membawa ide ini masuk ke dunia Islam, sebut saja Rufa’ah at-Thahthawi di Mesir dan Khairuddin at-Tunisi. Mereka merupakan generasi awal yang dikirim ke Prancis. Ketika kembali ke negerinya, merekalah yang menyuarakan ide tahrir al-mar’ah (liberalisasi perempuan).

Ilusi Kesetaraan Gender
Berbagai inisiatif dan kampanye dengan beragam sasaran sudah diluncurkan untuk mempercepat perwujudan kesetaraan gender, namun ternyata belum juga terwujud.  Apalagi kesetaraan dalam dua belas bidang sebagaimana yang telah digariskan dalam  United Nations Fourth World Conference on Women di Beijing pada tahun 1995. Konferensi ini melahirkan Beijing Declaration and Platform for Action (BPFA).  Kerangka Aksi ini dilengkapi 12 bidang yang menentukan langkah strategis dengan fokus pada isu sosial ekonomi yaitu:
1. Perempuan dan Kemiskinan, 2. Pendidikan dan Pelatihan bagi Perempuan, Perempuan dan Kesehatan, 3. Tindak Kekerasan terhadap Perempuan, 4. Perempuan dan Konflik Bersenjata, 5. Perempuan dan Ekonomi,
6. Perempuan dalam Kekuasaan dan 7. Pengambilan Keputusan, 8. Mekanisme Kelembagaan untuk Kemajuan Perempuan, 9. Hak Azasi Perempuan, 10. Perempuan & Media, 11.  Perempuan & Lingkungan Hidup dan 12. Anak Perempuan.

Dengan demikian ide setara, apalagi dalam dua belas bidang kritis, tidak akan mungkin terwujud dalam bingkai Kapitalisme. Apalagi Kapitalisme menjadikan manfaat sebagai asas segala sesuatu dan mekanisme pasar menjadi tempat pijakannya. Lebih dari itu, Kapitalisme hanya berpihak kepada para kapital pemilik modal. Karena itu kesetaraan gender justru bertentangan dengan prinsip ideologi kapitalis itu sendiri, yang memang diskriminatif pada pangkalnya. Inilah yang menjadi sebab hingga kapan pun, kesetaraan hanya sekadar  wacana dan bukan realita. Apalagi landasannya adalah akal manusia yang lemah.
Kesetaraan Gender (KG), adalah tipu daya liberalisme ala barat dalam melanggengkan kapitalisme.

Pasca runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani 1924 di Istanbul, musuh-musuh Islam senantiasa mengokohkan agenda-agenda liberalisme-sekuler termasuk dalam hal kesetaraan gender. Sejarahpun telah mencatat bahwa Pengkhianat, Mustafa Kemal At-Taturk berhasil menghapus peradaban Islam di Turki salah satunya dengan keberhasilan emansipasi sebagaimana konsep barat yang berhasil dibangun dalam kalangan istri dan anak perempuan. Keruntuhan khilafah menjadi awal malapetaka bagi kaum muslim sebab runtuhnya perisai yang menjadi penjaga mereka. Setelah khilafah runtuh, Barat semakin berhasil dengan propaganda kesetaraan gendernya, ide ini mulai mengakar ke negeri-negeri kaum muslim, bahkan kesetaraan gender dijadikan simbol perjuangan yang harus diraih kaum perempuan. Lewat propaganda merebahnya isu-isu kekerasan perempuan, diskriminasi perempuan, eksploitasi perempuan, marjinalisasi, dan kondisi beban ganda yang harus ditanggung perempuan serta isu-isu lainnya. Hal ini seakan menggambarkan betapa tertindasnya kaum perempuan.
Disaat itu pula gencar, musuh-musuh Islam dan antek-anteknya pembawa konsep kesetaraan gender melakukan agenda diskusi, training, sosialisasi guna mengkampanyekan ide yang mereka bawa, bahkan upaya mereka sampai pada tahap menginginkan ide ini terwujud dalam bentuk rancangan UU. Tentu tujuan yang diharapkan dari agenda ini bahwa kaum perempuan semakin terjerumus dalam ide yang mereka bawa. 

Proyek  BPFA ditengarai hanya menjadi alat negara adidaya untuk melempar tanggung jawab atas dampak busuk kapitalisme yang mereka ekspor ke seluruh dunia sekaligus menjadi alat untuk membuai negara-negara kaya tapi lemah dengan apa yang disebut “keberhasilan pencapaian target pembangunan millennium” dengan membuat standar-standar yang sangat minimalis yang membuat mereka mabuk dan lupa atas penjajahan terselubung yang tengah menimpa dan menghinakan mereka selama ini.
Sebagai ideologi, kapitalisme tentu berkepentingan menjaga eksistensi hegemoninya atas dunia. Itulah kenapa, negara penganut kapitalisme semacam Amerika dan negara adidaya lainnya menerapkan strategi politik luar negeri yang bersifat agresif dan imperialistik. Pasalnya, pasca runtuhnya kekuatan ideologi sosialisme di tahun 90-an, Islam sekalipun belum diusung oleh negara menjadi satu-satunya penghalang atas obsesi mereka. Oleh karena itu mereka terus berupaya menghalangi kebangkitan Islam dalam wujud institusi negara dengan berbagai cara, termasuk penjajahan lewat perempuan.

Dengan dalih peduli terhadap nasib perempuan, mereka jual paket ‘'kemajuan perempuan Barat’' dengan ide KG-nya yang rusak dan asumtif itu untuk dijadikan patron ideal bagi kemajuan
perempuan muslim. Pada saat yang sama melakukan berbagai ’uji kritis’ terhadap aturan-aturan Islam yang dianggap mengukuhkan ketidakadilan terhadap perempuan, seperti masalah perwalian, nasab, pakaian, waris, kepemimpinan, nafkah, dan sebagainya. Tak lupa pula mereka tawarkan paket-paket tambahan berupa ‘program bantuan’, berikut kucuran dana yang sangat besar untuk merekonstruksi kondisi perempuan di dunia  Islam dengan memanfaatkan lembaga-lembaga dunia semacam PBB sebagai event organizer-nya, serta forum-forum internasional yang memang menjadi perpanjangan tangan bagi kepentingan mereka.

Selanjutnya, atas nama pemberdayaan ekonomi perempuan, kesehatan reproduksi perempuan, peningkatan partisipasi politik perempuan, dan program-program ’bermadu’ lainnya, mereka suntikkan pemikiran-pemikiran beracun untuk membius kaum perempuan hingga lupa pada jati dirinya sebagai muslimah, serta lupa pada komitmennya terhadap keluarga dan tugas mempersiapkan generasi. Sehingga, gagasan-gagasan seputar ’kemandirian dan pembebasan perempuan’ serta isu-isu gender lain ala Barat pun menjadi topik-topik hangat yang diperbincangkan perempuan-perempuan muslimah di berbagai forum diskusi, seminar-seminar, pengajian-pengajian, bahkan obrolan-obrolan kecil ibu-ibu perumahan.
Mereka pun intens melakukan mainstreaming (pengarusutamaan) opini feministik dan liberalis ini di semua lini hingga ke level bawah, termasuk melalui kurikulum pendidikan maupun melalui berbagai kebijakan publik seperti Undang-Undang berperspektif gender dan anti syariat. Targetnya, untuk kian menguatkan opini bahwa ide KG adalah solusi, sementara Islam adalah pengukuh atas keterbelakangan perempuan, sehingga sudah saatnya dipermak, dicampakkan, atau dipeti-eskan.

Dalam hal ini kaum perempuan muslim yang telah "dimiskinkan lahir batin" sengaja dimanfaatkan sebagai objek eksploitasi kapitalisme global, dengan peracunan pemikiran tadi plus melalui serangan budaya yang dilancarkan secara intens lewat berbagai media milik mereka. Kaum muslimah digiring untuk menyukai bahkan mempertuhankan hedonisme. Dengan cara ini pula, mereka berupaya membangun imej tentang kiblat lifestyle baru dan global yang layak diadopsi perempuan muslim modern. Padahal, pada saat yang sama mereka sedang menciptakan kapstok-kapstok berjalan sekaligus pasar raksasa bagi kepentingan marketing produk-produk mereka. Perempuan-perempuan muslimah yang menjadi sasarannya. Sayangnya, sebagian muslimah pun terjebak dalam kebahagiaan dan kesejahteraan semu yang disuguhkan kapitalisme, yang sejatinya dibuat untuk menutup penderitaan dan kemiskinan hakiki yang diciptakannya.

Islam Sebagai Solusi
Berbagai manfaat kesetaraan gender yang dilontarkan para aktivisnya. Namun nyatanya kesetaraan gender bukan solusi tetapi justru biang masalah baru. Bahkan apa yang ditawarkan para promotornya semakin jelas bahwa ide ini lahir dari ideologi kapitalis-liberal-sekuler, konsep kesetaraan gender adalah produk yang digunakan barat untuk mencapai kepentingan dan kepuasan mereka demi mengeksiskan hegemoni barat dalam negeri-negeri Islam.

Bermaksud menyelesaikan masalah justru menambah masalah baru yang berbuntut pada hancurnya institusi keluarga karena mencari pembelaan masing-masing dan mengabaikan peran utama masing-masing. Inilah cara berfikir kapitalistik-sekuler yang tanpa disadari sejak awal ingin mencampakkan agama dari kehidupan. 

Oleh karena itu, perlu dijelaskan kepada umat bahwa yang harus diperjuangkan bukan kesetaraan gender melainkan berjuang mengembalikan kehidupan Islam dalam bingkai daulah khilafah sebuah sistem kepemimpinan Islam yang menjadikan syariat Islam sebagai aturan ditengah-tengah mereka. Sebab hanya Islam lah yang akan menyelamatkan mereka dari kubangan kapitalis-sekuler, karena sistem kapitalis-sekuler yang dibangun dari asas kepentingan dan pemisahan agama dari kehidupan inilah sumber malapetaka umat.
Allah Swt  berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS: Al-A’raf [7]: ayat 96).

Oleh karena itu, individu muslim harus menanamkan cara berfikir Islam dalam diri mereka dengan mencermati fakta secara benar, memahami hukum Islam yang terkait dengan persoalan yang ada, dan menghukumi fakta dengan hukum Islam yang terkait dengan permasalahan itu. Inilah cara berfikir Islam, sebuah metode berfikir cemerlang sebab didasarkan pada keimanan kepada Allah bahwa Allah yang menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan sehingga Allah-lah yang maha mengetahui solusi dan segala persoalan makhluk-Nya.
Allah Swt Berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ۬ وَرَحۡمَةٌ۬ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ‌ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّـٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارً۬
Artinya : “Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian.” (QS Al-Isra [17]: ayat 82).

Khilafah adalah sistem  sempurna yang diturunkan Allah Swt yang telah terbukti ribuan tahun diterapkan, umat telah merasakan keadilan dan kesejahteraan bukan saja bagi kaum muslim tetapi juga bagi non muslim yang hidup di dalam Daulah Khilafah, sistem Islam ini juga menetapkan aturan untuk manusia yang dijamin sesuai dengan syariat dan fitrahnya juga menetapkan hukum  khusus sesuai dengan jenisnya, laki-laki maupun perempuan.  Perbedaan hukum ini bukanlah menjadikan perempuan lebih rendah, karena dalam sistem Khilafah kemuliaan manusia terletak pada ketakwaannya kepada Allah.  Perbedaan hukum ini, misalnya kewajiban mencari nafkah ada pada laki-laki, warisan laki-laki dua kali bagian perempuan,  dan sebagainya,  justru menjamin perwujudan peran masing-masing sesuai dengan kodratnya.

Sistem Khilafah juga menetapkan negara sebagai pengatur urusan umat, yang wajib memenuhi kebutuhan umat, laki-laki maupun perempuan. Islam memiliki mekanisme sempurna yang menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyat, dan justru melarang negara menggunakan mekanisme pasar dalam melayani rakyatnya. Dalam Khilafah keadilan akan didapatkan setiap individu rakyat, karena semua aturan dilandaskan kepada aturan Allah, zat Yang Maha adil. 

WalLâhu a’lam bish shawâb. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak