Oleh : Iin Susiyanti, SP
Beijing Platform for Action, merupakan kesepakatan dari negara-negara PBB dalam rangka melaksanakan konvensi CEDAW (Convention on Elimination of All Forms Disciminations Againts Women) pada tanggal 15 September 1995. Resolusi tersebut diadopsi untuk mengumumkan serangkaian prinsip tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Dalam konvensi tersebut menghasilkan 12 bidang kritis, diantaranya tentang perempuan dan kesehatan serta kekerasan terhadap perempuan. Setiap 5 tahun harus dilaporkan perkembangannya oleh setiap negara, termasuk Indonesia. (www.komnasperempuan.go.id)
Konvensi Beijing sudah puluhan tahun berlalu, apakah ini bisa menjadi bukti terjadi perubahan signifikan terhadap kesejahteraan perempuan. Justru sebaliknya, fakta berbicara lain.
Komisioner Komnas Perempuan, Marians Amiruddin, mengatakan, data kekerasan terhadap perempuan meningkat selama 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat 792 persen atau delapan kali lipat.
Tahun 2019, terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP). Tahun 2018 sebanyak 1.417 kasus, pada 2019 menjadi 2.341 atau naik 65 persen. Inses dan kekerasan seksual 571 kasus. Pengaduan Cyber crime 281 kasus, naik 300 persen.
kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas naik 47 persen. Kekerasan seksual di ruang publik dan komunitas 3.062 kasus, pencabulan (531 kasus), perkosaan (715 kasus), dan pelecehan seksual (520 kasus). Kemudian persetubuhan (176 kasus), sedangkan sisanya percobaan perkosaan dan persetubuhan, Tempo.co, 6/3/2020.
Ilusi Kesetaraan Gender
Kesetaraan gender sebagai solusi masalah kekerasan dan kesehatan perempuan terbukti gagal mewujudkan janjinya. Justru persoalan perempuan dari tahun ke tahun semakin komplek. Janji-janji kesetaraan gender yang akan membawa perempuan ke dalam kehidupan yang layak hanyalah manis di mulut saja, kenyataan pahit lah justru yang didapat.
Sistem Kapitalisme menjadikan perempuan sebagai obyek kemersial demi keuntungan materi. Kesetaraan gender hanyalah bagian dari propaganda barat untuk mengeksploitasi perempuan demi meningkatkan perekonomian dunia.
Pada hakekatnya kesetaraan gender yang dibawa pengemban kapitalis sangat bertentangan dengan fitrah manusia, laki-laki dan perempuan diciptakan Allah SWT tidak sama, masing-masing memiliki tugas dengan kodratnya sendiri. Memaksakan perempuan menjalani tugas laki-laki, seperti mencari nafkah dan menjadi pemimpin dalam pemerintahan akan memberikan beban ganda kepada perempuan.
Kesetaraan Gender Ditengah Wabah Covid-19
Ditengah wabah Covid-19 ternyata kaum perempuan dibawah sistem Kapitalis tidak banyak mendapat perlindungan kesehatan, bahkan nyawa perempuan dipertaruhkan karena mereka masih harus bekerja.
Karena masih banyak pekerja buruh perempuan harus menjalankan aktivitas pekerjaan seperti biasanya. Dalam lingkungan kerja tidak dilakukan sosial distancing, bahkan berdesakan dalam waktu yang lama. Ketersediaan fasilitas seperti masker dan hand sanitizer pun tidak diberikan. Mereka tidak berdaya selain menerima kebijakan tempat kerja, karena takut kehilangan pekerjaan. Akibatnya rentan terinfeksi dan terancam nyawanya.
Situasi dan cara kerja seperti ini jelas tidak aman, namun karena kebutuhan sehari-hari terus meningkat dan semakin mahalnya biaya hidup, mau tidak mau memaksa perempuan untuk tetap bekerja walaupun nyawa taruhannya, karena tidak ada undang-undang yang melindungi keselamatan dan kesehatan mereka.
Ini menunjukkan gagalnya pemerintah dalam mengatasi wabah Corona dan lemahnya visi pemerintah dalam melindungi hak rakyat, termasuk buruh perempuan yang terserap dalam sektor industri padat karya.
Islam Dalam Menjaga Dan Melindungi Perempuan
Jika dalam sistem Kapitalisme perempuan dipandang sebagai alat untuk mendapat keuntungan, berbeda dengan cara pandang Islam. Islam sangat menghargai terhadap status perempuan. Sehingga Islam menetapkan sejumlah hukum untuk menjaga kehormatan perempuan. Hukum Islam dari masa ke masa tidak akan pernah termakan oleh perkembangan zaman, sesuai dengan fitrah manusia serta memuaskan akal.
Penjagaan Islam terhadap perempuan berupa hukum menutup aurat, wali, mahram, waris, hukum yang berkaitan dengan peran ibu dan pengatur rumah tangga ( jaminan nafkah, pengasuhan anak), itulah yang membuat perempuan berharga dan terhormat. Jika ia menjalankan semua itu dengan baik dengan rasa takut kepada Allah SWT, berharap ridha-Nya, karena kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia adalah wanita sukses. Tidak saja di dunia melainkan sukses di akhirat.
Pelaksanaan hukum-hukum penjagaan menjadi sempurna apabila ada peran negara. Negara wajib memastikan pemenuhan hak perempuan dan pelaksanaan kewajibannya secara sempurna. Negara akan menghukum kepala keluarga yang tidak memberi nafkah kepada keluarga dengan standar layak. Negara menyelenggarakan sistem pendidikan yang menunjang fungsi utama perempuan. Negara pun menjaga sistem media dan informasi yang membantu pelaksanaan tugas pendidikan keluarga.
Islam memberikan hak kepada wanita terlibat dalam aktivitas ekonomi, perdagangan, pertanian, industri dan berbagai transaksi. Perempuan boleh memiliki dan mengembangkan harta, mendapat pendidikan, mendapat akses kesehatan terbaik. Dalam politik, Islam memberikan hak perempuan untuk memilih penguasa, memilih dan dipilih dalam majelis perwakilan umat, berhak punya posisi di majlis pengadilan dan punya kewajiban untuk berbaiat kepada pemimpin. Suara perempuan didengar dalam persoalan publik.
Karena itu solusi mengeluarkan perempuan dari kondisi buruk bukan pada keterwakilan suara perempuan di pemerintahan ataupun parlemen yang menyuarakan kepentingan perempuan, bukan pada UU perlindungan perempuan dengan dasar liberalisasi agama, bukan dengan kepala negara perempuan. Solusinya terletak pada penerapan aturan Islam yang punya visi penjagaan dan perlindungan bagi peran dan fungsi perempuan.