Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis
Dalam rangka mengawali International Women’s Day 2020, Komnas Perempuan dalam laman resminya komnasperempuan.go.id merilis Catatan Tahunan (CATAHU) pada 6 Maret 2020. Catatan tersebut berisi rekam data berbagai bentuk dan spektrum kekerasaan pada perempuan dan anak. Data tersebut dihimpun dari berbagai lembaga negara, LSM maupun laporan kasus kekerasaan pada perempuan dan anak, yang masuk ke Komnas Perempuan sepanjang tahun 2019.
Data tersebut mencatat dalam kurun waktu 12 tahun, kasus kekerasan pada perempuan meningkat tajam sebesar 792% atau meningkat hampir delapan kali lipat. Ini menunjukkan bahwa kondisi perempuan di Indonesia jauh dari kata aman. Demikian pula Kekerasan terhadap Anak Perempuan (KTAP) melonjak sebanyak 2.341 kasus dari tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 1.417. Artinya mengalami kenaikan 65% dari tahun sebelumnya.
Meningkatnya kasus kekerasaan perempuan dan anak jelas mengundang keprihatinan kita. Mengingat gencarnya para aktivis perempuan menyuarakan ide kesetaraan gender. Alih-alih berbagai agenda dan kampanye tersebut berhasil menurunkan kasus kekerasaan pada perempuan dan anak. Sebaliknya, kasus kekerasan perempuan dan anak terus meningkat setiap tahunnya.
Data yang dirilis Komnas Perempuan juga semakin membuktikan bahwa kapitalisme-liberalisme telah gagal menjamin keamanan dan kesejahteraan perempuan. Di satu sisi, berbagai resep yang direkomendasikan sejatinya hanyalah solusi tambal sulam, yang tidak menuntaskan akar persoalan. Sebaliknya semakin menjerumuskan perempuan dan anak ke jurang kenistaan.
Berbagai solusi yang ditawarkan kapitalisme telah menjerumuskan perempuan untuk menanggalkan fitrahnya. Yaitu dengan berkiprah seluas-luas di ranah publik demi iming-iming peningkatkan taraf ekonomi. Berkiprahnya perempuan secara luas di bidang ekonomi dimanfaatkan para kapitalis untuk menggenjot perekonomian dunia. Inilah sejatinya niat jahat yang tersembunyi di balik berbagai agenda dan rekomendasi kaum feminis.
Bahkan keniscayaan pelibatan perempuan dalam sektor ekonomi terus dipropagandakan melalui berbagai sarana dan bentuk hingga tak ada yang bisa menolaknya. Hari ini, fokus propaganda sedang mengarah pada optimasi pelibatan kaum perempuan secara ekonomi di era digital. Artinya, untuk meningkatkan daya saing dan mendongkrak serta memperluas peran perempuan dalam pembangunan ekonomi, mereka dituntut mampu menyelaraskan diri dengan kemajuan teknologi yang membuka peluang bisnis tanpa batas. Dengan demikian, tak ada celah bagi perempuan untuk tak bisa berperan dalam proyek global pemberdayaan ekonomi perempuan demi mengentaskan kemiskinan.
Untuk Indonesia, keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi, paling tidak bisa dilihat dari data Kementerian Koperasi dan UKM. Telah tercatat total UMKM pada tahun 2018 lalu hampir 60 juta. Dari jumlah ini, lebih dari 14 juta usaha dikelola perempuan. Kontribusi UMKM yang dikelola perempuan terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 9,1 persen. Sementara kontribusinya terhadap ekspor lebih dari 5 persen.(www.republika.co.id, 16 maret 2019)
Angka – angka ini kemudian dikawal untuk sampai pada tujuan yang mereka rencanakan, yakni rekomendasi di tahun 2030 harus sudah tercipta dunia dengan kesetaraan mutlak laki-laki dan perempuan di berbagai bidang kehidupan, sehingga bumi layak disebut disebut planet 50:50. Hal ini dimaksudkan untuk mengeliminasi 100% kemiskinan global di tahun 2030. Namun benarkah demikian?
Jika kita cermati, apa yang sedang terjadi ini sangat bertentangan dengan Islam dan berbahaya bagi umat. Karena selain mengeksploitasi kaum perempuan, proyek-proyek ini juga akan melunturkan fitrah perempuan sebagai pilar keluarga dan penyangga masyarakat yang justru dibutuhkan untuk membangun peradaban Islam cemerlang.
Bahkan lambat laun, proyek-proyek ini akan meruntuhkan struktur bangunan keluarga dan masyarakat hingga tak ada lagi jaminan bagi munculnya generasi terbaik pembangun peradaban. Kenapa? Kare
na perempuan
kian kehilangan fokus dan orientasi tentang kontribusi terbaik, yang sejatinya bukan ada pada peran ekonomi, melainkan ada pada peran keibuan mereka.
Padahal sejatinya, meskipun dalam Islam perempuan bekerja hukumnya boleh, namun pilihan bekerja berarti berkonsekuensi bertambah pula beban tanggungjawab mereka, baik terhadap dirinya, keluarganya, masyarakatnya, yang semuanya tentu harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt.
Kita semua seharusnya sadar bahwa kemiskinan yang terjadi saat ini sesungguhnya merupakan dampak dari penerapan sistem ekonomi kapitalis. Sistem ini membuat yang kaya makin kaya, sementara yang miskin makin miskin. Sistem ini membuat negara abai pada rakyatnya yang lemah, dan hanya berpihak pada para kapital pemilik modal besar. Dan bahwa solusi satu-satunya adalah dengan menerapkan aturan islam dan menegakkan sistem Khilafah Islam.
Sistem khilafahlah satu-satunya sistem yang sudah terbukti mampu mewujudkan kesejahteraan selama belasan abad, tak hanya bagi umat Muslim, tapi juga non Muslim. Tak hanya laki-laki, tapi juga perempuan.. Islam telah menetapkan kewajiban mencari nafkah pada kaum laki-laki. Islam juga mewajibkan negara untuk menjamin nafkah perempuan dan keluarganya bila tidak memiliki laki-laki yang dapat mencari nafkah sebagaimana menjamin nafkah keluarga miskin. Islam memiliki mekanisme yang komprehensif dan berbagai sumber dana yang dapat menjamin nafkah setiap individu. Sementara bagi perempuan tidak diwajibkan untuk mencari nafkah, dia diperintahkan untuk bertanggungjawab atas pengaturan urusan rumah sebagai ummu wa rabbatul bait dan pendidik generasi. Islam juga memberikan ruang pada perempuan untuk berkiprah dalam masyarakat sesuai dengan kemampuannya dalam koridor hukum Syara’, dalam berbagai bidang kehidupan, membawa manfaat untuk umat. Termasuk dalam bidang politik.
Wallhu a’lam bi ash showab