Oleh : Ina siti Julaeha
Praktisi pendidikan
Di Indonesia, pemerintah menerapkan pembebasan narapidana melalui program asimilasi dan integrasi mulai 31 Maret lalu. Asimilasi adalah pembinaan narapidana dewasa dan anak dengan membiarkan mereka hidup berbaur di lingkungan masyarakat. Sedangkan integrasi adalah pembebasan narapidana yang telah memenuhi syarat untuk bebas bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang pembebasan. Kebijakan pembebasan ini mengacu pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Per Selasa, 8 April 2020, lebih dari 35 ribu narapidana dibebaskan. Adapun jika mengacu pada data World Prison Brief, penjara di Indonesia mengalami kelebihan kapasitas 104%. (katadata.co.id 9 April 2020).
Kalau sebatas alasan kapasitas lapas sempit dan terlalu penuh napi, maka solusinya tambahkan ruang dan fasilitas yang lebih. Bukan justru dibebaskan. Ini membuat kita semakin sadar, bahwa penjara bukan solusi untuk pelaku kejahatan. Penjara penuh, maka solusinya napi dibebaskan, inilah solusi amatiran dan aneh.
Kebijakan ini banyak menuai pro dan kontra di tengah wabah pandemi Covid-19. Alasan pencegahan covid-19 ini sebenarnya menuai kritik tajam di masyarakat. Karena sebenarnya dengan berada di penjara, justru sudah terisolasi dari masyarakat luas. Jika sudah dibebaskan, muncul permasalahan baru mengenai keamanan masyarakat di tengah darurat kesehatan ini. Tapi meskipun banyak kecaman dari berbagai pihak, nyatanya pemerintah tidak ambil pusing dan tetap menjalankan rencananya.
Standar ganda kapitalisme sekuler dalam menklasifikasi narapidana pun terjadi. Anehnya aturan ini hanya berlaku untuk narapidana kasus korupsi. Inilah kebobrokan hukum buatan manusia. Hanya berpihak kepada yang memiliki kepentingan dengan penguasa saja.
Salah satu ulama dan tokoh masyarakat Islam yaitu Ust. Abu Bakar Baasyir yang telah sakit dan sudah lanjut usia jutru dibiarkan tetap di penjara, padahal secara medis uisa lanjut dan sakit sangat rentan terkena penularan covid-19. Masyarakat semakin kritis dan mulai merasa kedzaliman sangat terasa di negeri ini. Karena tidak kunjung dibebaskan, padahal usia beliau sudah di atas 60 tahun. Namun di usianya 81 tahun itu beliau tetap berada di penjara, sampai anaknya mengajukan permohonan asimilasi karena ayahnya tak kunjung dibebaskan. Sebagaimana berita dalam laman media online, kompas.com,
Terpidana kasus terorisme Abu Bakar Ba'asyir mengajukan permohonan asimilasi supaya bisa keluar dari penjara untuk mencegah penularan Covid-19. (kompas.com, 9/04/ 2020)
Bukan hanya untuk mencegah penyebaran virus covid-19 saja, pemerintah berdalih untuk menghemat anggaran yang diperlukan jika napi tetap ada di sel penjara.sebagaimana pernyataan dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI mengklaim telah menghemat anggaran negara untuk kebutuhan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) hingga Rp260 miliar. Penghematan itu terjadi setelah 30 ribu narapidana dan anak mendapatkan asimilasi dirumah serta mendapat hak integrasi berupa Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. (tiro.id ,1/04/2020).
Berhemat untuk siapa?. Bukankah dengan tetap di penjara maka akan memudahkan proses isolasi?. Minimnya dana untuk penanganan covid-19 ini sepertinya membuat pemerintah tiba-tiba memakai alasan menghemat. walaupun sebenarnya banyak rencana-rencana pemerintah dengan anggaran pantastis yang sedang diproses, termasuk dana pemindahan ibu kota. Bukankah anggaran yang ada memang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan napi di masa pembinaan?. Apakah sudah sebegitu parahnya keuangan negara, sampai harus mengambil uang Rp260 miliar dari dana pembinaan napi dengan alasan penghematan?.
Pemerintah terlihat “cuci tangan” dari amanah untuk menjaga rakyat. Jika di Malasya narapidana diberikan tugas membantu tim dengan menyediakan APD, sebagai bentuk kerjasama memerangi covid-19. Upaya ini dilakukan untuk memberdayakan napi selama di lapas. Berbeda dengan di Indonesia, penguasa negeri ini justru membebaskan napi yang sangat beresiko di tengah carut marutnya perekoniman nasional di tengan pandemi. Kasus kriminalitas dari mantan napi yang dibebaskan menghantui keamanan masyarakat. Belum lagi masalah korban PHK dan pengangguran yang semakin bertambah. Kondisi ini sangat memperparah kesulitan yang ada.
Pemerintah seakan mencari waktu untuk membebaskan Napi kasus korupsi di tengah pandemi ini. Wacana pemberian remisi atau pembebasan bersyarat bagi para napi koruptor di tengah pandemi Covid-19 menuai polemik. Sejumlah pihak menyesalkan sikap pemerintah yang terkesan mencari kesempatan untuk meringankan hukuman para koruptor melalui wacana revisi Peraturan Pemerintah ( PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. (Kompas.com, 5/04/2020).
Beberapa kalangan menkritik kebijakan ini, termasuk dari Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenurrohman atau akrab disapa Zen menilai wacana yang dilontarkan Yasonna tidak tepat. Zen memaparkan beberapa alasannya.
Pertama, dibandingkan kasus kriminal lainnya, narapidana kasus korupsi jumlahnya tidak banyak. Kedua, kasus korupsi bukanlah kejahatan biasa. Korupsi adalah kasus kejahatan serius. Sehingga langkah Kemenkumham membebaskan narapidana kasus korupsi dinilai tak tepat. Zen memaparkan alasan lain yakni kondisi Lapas khusus korupsi seperti Lapas Sukamiskin bukanlah lapas dengan kondisi over kapasitasnya. Sehingga wacana membebaskan narapidana kasus korupsi ini dengan pertimbangan pencegahan Corona, bukan langkah yang tepat. Zen menyarankan agar cukup dilakukan protokol kesehatan saja di Lapas Sukamiskin. (Merdeka.com, 2/04/ 2020).
Sepertinya penguasa negeri ini begitu abai dan enggan untuk menerima kritik dan saran beberapa pihak. Pandemic covid-19 ini seakan menjadi waktu yang tepat untuk membebaskan tikus berdasi. Kesempatan ini tidak dilewatkan begitu saja oleh penguasa yang bersahabat baik dengan pengusaha.
Peluang untuk melepaskan tikus berdasi diambil pemerintah ini seakan membawa luka dan kepedihan yang bertambah di tengah wabah dan Pandemi. Penguasa seakan tunduk dengan kepentingan pengusaha tanpa memperhatikan kepedihan rakyat yang hampir mati. Alih-alih fokus pada pelayanan kesehatan rakyat yang terancam corona, pemerintah justru menggunakan kesempatan dalam kesempitan.
Inilah potret bobroknya kapitalisme demokrasi. Berbeda dengan Islam. Sistem Islam telah memilih penguasa yang memiliki kemampuan dan layak menjadi pemimpin negara. Kemampuan memimpin ini dibarengi dengan kualitas keimanan dan keshalihan. Khilafah Islamiyah telah mampu menjadi pelindung dan pengayom rakyat. Harumnya Khilafah Islamiyyah selama 13 abad lamanya telah mampu memberikan pelayanan terbaik terhadap rakyatnya dalam menghadapi seluruh persoalan. Sebaaat wabah melanda kota Amwas pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Ketegasan khalifah Umar yang serius menangani wabah tho’un pada masa itu membuat siapa pun semakin merindukan pemimpin seperti beliau. Mealui peran Gubernurnya Amru bin Ash, penguasa mampu menjadi pelindung rakyat dengan solusi yang cerdas dan tangkas. Peran negara begitu dekat dan terlihat jelas, bukan modal pencitraan saja. Solusi lockdown dan jaga jarak diatur dengan jaminan pangan dan kesehatan yang baik. Masyarakat pun tidak khawatir mati kelaparan, karena jaminan yang memadai dari pemimpin yang mereka cintai.
Maka sudah saatnya masyarakat merindukan untuk tunduk pada aturan Allah SWT, dengan menjalankan syariat-Nya secara kaffah. Islam bukan saja menyelamatkan manusia dari ketakutan terkena corona, melainkan Islam mengatur manusia agar terindar dari neraka dengan tunduk terhadap aturan Allah SWT dengan sepenuhnya.
Wallahu a’lam bissawab.
Luar biasa nih
BalasHapus