Oleh : Arifah Azkia N.H (Mahasiswi Ekonom Syariah)
Konsep Kartu Pra Kerja yang belakangan ini diluncurkan merupakan tindakan yang tidak efisien. Pasalnya, seharusnya penerapan Kartu Pra Kerja diberlakukan saat kondisi perekonomian sedang normal.
Saat tidak ada wabah dan badai ekonomi, Indonesia memang butuh SDM yang unggul dan memiliki skill yang baik. Sementara Kartu Pra Kerja bisa menjadi jawaban dengan memberikan pelatihan online, maupun offline.
Tetapi di saat terjadi pandemi, program ini tidak perlu diluncurkan. Apalagi sampai harus menaikkan anggarannya hingga 100 persen, dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun untuk 5,6 juta orang.
Ini sangat jauh dari solusi, karena korban PHK sekarang enggak perlu dikasih pelatihan secara online gitu ya," dikutip dari pernyataan Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira. Minggu (2/4/20)
Faktanya, di saat kondisi krisis seperti saat ini, masyarakat dan para korban PHK lebih membutuhkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dibanding Kartu Pra Kerja. Terlebih program Kartu Pra Kerja mengharuskan mereka mengikuti pelatihan online agar menerima bantuan. Sementara dana Kartu Pra Kerja yang digelontorkan juga akan terpotong untuk para penyelenggara.
Jadi sudah sangat jelas bahwasannya dengan kondisi krisis ekonomi akibat pandemi saat ini rakyat butuh dana, butuh makan, bukan butuh pelatihan. Apalagi secara online. Di mana pekerja informal bahkan formal juga sebagian belum terbiasa melakukan pelatihan secara online karena masih banyak juga yang kemudian skill digitalnya masih terbatas apalagi rakyat pedalaman dan rakyat miskin ynag gaptek dan tidak jauh dari teknologi disuruh login, disuruh daftar, dan segala macam teknis yang mempersulit rakyat. Dan lebih parahnya tidak semua perserta yang mendaftarkan diri dalam kertu prakerja mendapat bantuan semua. Karna peserta akan diseleksi dan di tes dengan beberapa tahapan. Kemudian akan ada yg lolos dan tidak lolos.
Betapa mirisnya nasib rakyat yang harus meminta-minta jaminan dan bantuan layaknya pengemis meminta penuh harap di negaranya sendiri yang sebenarnya kaya berlimpah akan sumber daya alam.
Lantas apakah benar kebijakan yang ditawarkan rezim menjadi solusi kebutuhan dasar rakyat atau hanya sebatas prioritas keuntungan publik (penuhi janji kampanye) dan menutup mata serta cuci tangan dari kebutuhan hakiki rakyat?
Bagaimana seorang pemimpin sesungguhnya dalam bingkai sistem islam layaknya Amirul Mukminin Ummar Bin Khattab yang menangis karna rakyatnya kelaparan dan dengan segera ia memikul sekarung gandum demi rakyatnya yang kelaparan hingga kondisi khalifah Ummar sangat letih akan tetapi tidak diizinkan seorang pun oleh khalifah umar untuk menggantikan posisinya memanggul gandum dan dengan tegas mengatakan kepada sahabatnya yang ingin menggantikan memanggul gandum "jangan engkau jerumuskan aku ke dalam api neraka. Kamu mungkin bisa menggantikanku memanggul satu karung gandum ini, tapi apakah kamu mau memikul beban di pundakku ini di hari akhirat?" Tegas Amirul Mukminin Khalifah Ummar bin Khattab r.a.
Begitupun juga masa kepemimpinan Ummar bin Khattab dalam sistem islam, ketika Kota Madinah memasuki masa paceklik. Penduduknya alami kelaparan. Amirul Mukminin Umar bin Khatab tak tinggal diam melihat kondisi rakyatnya. Ummar bersumpah tidak lagi makan daging atau samin sampai semua orang hidup seperti sedia kala. Amirul Mukminin berpendapat tidak mungkin seorang pemimpin dapat memperjuangkan kehidupan rakyatnya kalau dia tidak merasakan apa yang dirasakan rakyat.
Begitulah gambaran Rezim kapitalis Demokrasi vs Pemimpin dalam aturan sistem islam yang menempatkan kemaslahatan rakyat sebagai prioritas tertinggi & pertanggung jawaban akhirat sebagai tujuan.
_Wallahu a'lam bissowab.._