Kartu Pra Kerja, Solusi Instan di Tengah Lesunya Ekonomi Rakyat




Oleh : Wardaturrahmi, S.Pd
Aktivis dakwah kampus & Member Akademi Menulis Kreatif

Program Kartu Pra Kerja merupakan program yang baru-baru ini sudah diluncurkan oleh pemerintah, tepatnya pada bulan April 2020 lalu. Kartu tersebut adalah salah satu program yang dipromosikan oleh Presiden Joko Widodo pada masa pemilihan umum Presiden Indoneisa tahun 2019. Kartu ini digalangkan dalam rangka program pelatihan dan pembinaan warga Indonesia yang belum memiliki keterampilan, selain itu kartu ini juga dinyatakan dapat menanggulangi tingkat kemiskinan selain efektif untuk industri 4.0.

Kartu pra kerja ini sangat menarik perhatian masyarakat, hal ini dapat dilihat dari membludaknya masyarakat yang mendaftarkan diri saat gelombang pertama dibuka. Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksanaan Kartu Pra Kerja, Denni Purbhasari, mengatakan, sejak dibuka pada Sabtu (11/4/2020), sebanyak 1,4 juta orang telah mendaftar kartu pra kerja gelombang pertama hingga hari ini, Minggu (12/4/2020) pukul 16.00 WIB. Kuota pendaftaran kartu pra kerja ini adalah 164.000 orang, sementara itu yang sudah verifikasi NIK sebanyak 624.000 orang. Denni mengatakan, dalam pendaftaran kartu pra kerja akan berlangsung 30 gelombang dan pendaftaran dibuka setiap pekan. (Kompas.com, 12/4/2020)

Dilansir oleh Republika.co.id (31/3/2020), pemerintah pun kini menaikkan anggaran kartu pra kerja dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun kepada 6,5 juta penerima manfaat. Hal itu sebagai bentuk antisipasi dampak virus Corona terhadap perekonomian masyarakat. Terutama para pekerja sektor informal dan pelaku usaha mikro dan kecil yang terdampak wabah Covid-19. Para penerima manfaat akan mendapatkan biaya sebesar Rp650 ribu sampai Rp1 juta selama 4 bulan ke depan. Sehingga pemerintah sendiri berharap akan memberikan manfaat dan solusi melalui kartu pra kerja.

Namun, konsep pemerintah ini sepertinya kurang tepat jika diterapkan di tengah kondisi pandemi seperti ini. Pasalnya di tengah-tengah PHK 150 ribu orang akibat wabah, pemerintah justru mengambil langkah menaikkan anggaran untuk kartu pra kerja menjadi Rp20 triliun dan menambah penerima menjadi 6,5 juta orang. Program ini jika dicermati tentu seperti dipaksakan dan tidak tepat guna di tengah-tengah krisis seperti ini, korban PHK dilatih secara online sebagai syarat wajib, baru diberi tunjangan dan penyelenggaraannya dapat uang dari negara. Alih-alih semua korban PHK dan terlebih pekerja informal melek teknologi, yang ada malah menambah beban dan kebingungan pada diri mereka.

Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menilai bahwa kartu pra kerja diterapkan saat kondisi sedang normal. Saat tidak ada wabah dan badai ekonomi, Indonesia memang butuh SDM yang unggul dan memiliki skill yang baik. Sementara kartu pra kerja bisa menjadi jawaban dengan memberikan pelatihan online maupun offline. Tapi ketika terjadi pagebluk Covid-19, program ini tidak perlu diluncurkan apalagi sampai harus menaikkan anggarannya hingga 100 persen. Ini kayak jaka sembung naik ojek, nggak nyambung. Sebab korban PHK sekarang tidak perlu dikasih pelatihan secara online, menurutnya di saat krisis seperti sekarang ini korban PHK lebih membutuhkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dibanding kartu pra kerja. Terlebih kartu pra kerja mengharuskan mereka mengikuti pelatihan online agar menerima bantuan. Sementara dana kartu pra kerja yang digelontorkan juga akan terpotong untuk para penyelenggara. (Rmol.id, 12/4/2020)

Maka pertanyaannya, manakah yang lebih penting? Pelatihan orang atau memberi BLT kepada pekerja yang terdampak, terutama pekerja informal? Belumlah prosedur pelatihan yang harus dilewati dengan memakan waktu, maka kapan masyarkat akan bisa mendapatkan cash transfernya, sedangkan di sisi lain kebutuhan pokok masyarakt sehari-hari harus terpenuhi. Solusi pemerintah mengatasi kondisi krisis ini tak ubahnya kebijakan asal jadi, nampak hanya memprioritaskan kepentingan politik (penuhi janji kampanye) dan seolah-olah menutup mata dari kebutuhan hakiki rakyat saat ini.

Beginilah realitas negara Indonesia saat ini, negara yang dipimpin oleh rezim yang berwatak kapitalis demokrasi, yang selalu mengambil kebijakan publik tidak berlepas dari syarat birokratif. Kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, dan tidak meringankan beban rakyat, melainkan semakin menambah beban bagi masyarakat maupun individu. Yang harusnya pemerintah melakukan ikhtiar terbaik demi memenuhi dan mengurus segala kebutuhan rakyanya. Hal ini sangat jauh berbeda dengan kepemimpinan dalam negara Islam yang memposisikan kemaslahatan rakyat  sebagai prioritas tertinggi dan utama, serta merupakan tanggung jawab yang besar baik di dunia maupun di akhirat.

Di dalam konsep kepemimpinan negara Islam (khilafah), pemimpinnya (khalifah) akan menerapkan tata aturan yang berlandaskan pada konsep islam yakni mengurus urusan umat (ri’ayatusy syu’unil ummah) sesuai sunah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Sistem khilafah akan mengurus urusan umat dengan standar terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer (sandang, pangan, papan) secara menyeluruh, termasuk menyediakan sektor ekonomi sumber nafkah (lapangan pekerjaan) bagi para pekerja seluas-luasnya, sehingga akan menutup pintu-pintu pengangguran dan krisis ekonomi masyarakat. Adapun mekanisme non ekonomi negara akan memberikan bantuan modal dan peralatan kepada usia produktif yang memiliki keterbatasan alat-alat produksi. Serta bantuan kepada penduduk yang memiliki keterbatasan dalam mengakses aset-aset ekonomi melalui zakat, infak, dan sedekah. Sehingga mekanisme non ekonomi ini akan mengkonfirmasi besarnya pemasukan negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya.

Di samping itu, negara khilafah dalam memberikan pekerjaan harus memenuhi standarisasi tingkat ketakwaan dan keterikatan para individu pada hukum syariat. Begitulah Rasululah dan para khulafa urrosyidin dalam memilih staf-stafnya. Selain itu manajemen pemerintahan khilafah bersifat rapi, saling bahu membahu dan solid dalam mengemban amanah masing-masing. Tentu semuanya dilakukan semata-mata untuk terpenuhinya kenyamanan masyarakat, terpenuhinya nafkah, serta penjagaan stabilitas ekonomi hingga tingkat rumah tangga. Baik dalam keadaan ekonomi normal maupun saat terdampak wabah dan krisis seperti saat ini.

Ketika wabah atau krisis ekonomi, maka pemerintahan khilafah akan langsung menyiapkan dan memberikan bantuan dengan jumlah yang sangat banyak. Jumlah yang tentu sangat cukup hingga rakyat yang terdampak mampu bekerja sendiri mencari nafkah pasca wabah dan resesi. Maka, disinilah letak urgensinya negara yang diatur oleh aturan Allah dalam naungan khilafah, sebab landasannya datang dari hukum yang sempurna dari Islam, sehingga pelaksanaannya mampu menjamin kesejahteraan individu rakyatnya. Dan tentu dalam negara khilafah, pemimpinnya memimpin bukan untuk memuaskan kepentingan dirinya dan asing penjajah melainkan untuk menjaga amanah Allah dan takut akan ancaman Allah Swt. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. Yang artinya, “Siapa saja yang diserahi oleh Allah untuk mengatur urusan kaum muslimin, lalu dia tidak mempedulikan kebutuhan dan kepentingan mereka, maka Allah tidak akan mempedulikan kebutuhan dan kepentingannya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak