Oleh: Isti Qomariyah, S.Pd.I
Setelah pemerintah RI menetapkan wabah virus Corona dari Wuhan, China ini sebagai jenis penyakit dengan faktor risiko yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Oleh karenya Presiden Joko Widodo dalam konferensi persnya pada awal bulan April lalu menyampaikan adanya program yang disiapkan pemerintah untuk masyarakat lapisan bawah. Salah satunya adalah Program Kartu Pra Kerja. Persyaratan untuk menjadi peserta Kartu Prakerja adalah warga negara Indonesia dengan usia minimal 18 tahun. Mereka tidak sedang sekolah ataupun kuliah atau belum mendapatkan kerja.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pendaftaran dilakukan secara daring melalui laman www.prakerja.go.id yang dapat diakses selama 24 jam setiap hari. Peserta dapat memilih pelatihan yang diinginkan di berbagai platform digital mitra resmi program Kartu Prakerja seperti Tokopedia, Skill Academy by Ruangguru, dll.
Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksanaan Kartu Pra Kerja, Denni Purbhasari, mengatakan, sejak dibuka pada Sabtu (11/4/2020), sebanyak 1,4 juta orang telah mendaftar kartu pra kerja gelombang pertama hingga hari ini, Minggu (12/4/2020) pukul 16.00 WIB. (Kompas.com, 12/4/2020). Hak ini terbukti sangat menarik perhatian masyarakat dengan membludaknya pendaftar sebanyak itu. Sampai akhir tahun, pemerintah berencana membuka pendaftaran lebih dari 30 gelombang pendaftaran. Total anggaran yang disediakan sebesar Rp 20 triliun, total ini naik dari pada sebelumnya. Pemerintah menaikkan anggaran tersebut di tengah-tengah PHK 150 ribu orang akibat wabah.
Program Kartu Pra-Kerja ini dirasa belum menyentuh akar masalah ketenagakerjaan dan juga tidak tepat diterapkan saat pandemi wabah seperti saat ini.
Pertama, sejatinya Kartu Pra-Kerja bukanlah gaji atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk pengangguran sebagaimana yang pernah digembar-gemborkan semasa kampanye Jokowi. Lebih tepatnya, Kartu Pra-Kerja adalah program peningkatan skill angkatan kerja. Setelah terdaftar secara online sesuai prosedur mereka akan mengikuti pelatihan sesuai lembaga pelatihan yang dipilih. Pelatihan ini terkesan memaksakan. Mengapa harus memaksakan konten-konten pelatihan seperti itu? Kalau pun sudah pelatihan, masyarakat tetap berada dalam kebingungannya sendiri akan disalurkan kemana.
Kedua, jumlah pengangguran dan
jatah penerima Kartu Pra Kerja tidak sebanding. Artinya, tidak semua para pencari kerja atau korban PHK bisa merasakan pemberian saldo kartu ini. Lantas, calon pekerja yang tak mendapat kartu bagaimana nasibnya?Bagaimana dengan yang di pelosok, apa lagi ada syarat di salah satu aplikasi bahwa internet harus kencang karena medianya audio visual? Sedangkan jumlah engangguran terbuka ada 7 juta orang ditengah banyaknya angka lulusan pendidikan baik SMA maupun perguruan tinggi. Jangankan membeli kuota internet untuk biaya kebutuhan dasar saja tentu menjadi beban tersendiri bagi masyarakat maupun individu ditengah wabah saat ini.
Oleh karena itu tak ada jaminan mereka pasti mendapat pekerjaan pasca mengikuti pelatihan melalui Kartu Pra-Kerja. Terbayang ada dana yang bisa dipakai untuk menyambung hidup. Apalagi bagi yang terkena PHK. Tapi fakta harus disampaikan, meskipun perih. Antusiasme bisa turun bebas menjadi kekecewaan. Alih-alih menyelesaikan masalah justru menambah beban masalah. Padahal yang dibutuhkan calon pekerja bukanlah Kartu Pra-Kerja. Yang dibutuhkan mereka adalah kepastian lapangan kerja dan bantuan cash tunai ditengah kondisi sulit. Inilah wajah dari diterpakan sistem ekonomi Kapitalisme. Pelayanan terhadap ummat tidak dilakukan sepenuh hati namun masih menimbang untung dan rugi bukan atas dasar kemaslahatan rakyat.
Didalam kepemimpinan Islam, Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR. al-Bukhari dan Muslim
Oleh karena itu kemaslahatan rakyat merupakan salah satu tanggung jawab dari seorang pemimpin suatu negara.
Bahkan dalam Islam jaminan pemenuhan kebutuhan pokok individu dari sandang, pangan, papan maupun kebutuhan pokok masyarakat berupa jasa kesehatan, pendidikan dan keamanan menjadi tanggung jawab negara. Hal ini karena ketiganya termasuk “pelayanan umum” (ri’ayah asy-syu’un). Pengangguran mudah diatasi dan lapangan kerja tercipta secara adil. Seluruh biaya akan ditanggung oleh Baitul Mal. Kepemimpinan itu secara konsep bernama Khilafah, yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Secara praktikal juga pernah diterapkan oleh Rasulullah dan para Sahabat. Khalifah tidak membuat hukum namun memimpin dengan apa yang diatur berdasar Allah dan Rasul Nya. Semua hal ini akan terwujud manakala sistem Islam diterapkan dalam institusi negara Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam.