Kartini Era Covid-19



Oleh: Relliyanie,S.Pd 
(Praktisi pendidikan dan pemerhati sosial)

Kita begitu tercengang ketika mendengar dan melihat bagaimana dahsyatnya wabah Pandemi virus Corona ini di negeri China, tepatnya di daerah Wuhan propinsi Hubei. Ternyata virus ini pun melanda negeri kita tercinta ini. Dengan korban yang positif virus Covid-19 sebanyak 8882 orang dan yang meninggal sebanyak 743 orang (BNPB,26/4/2020). Maka dampaknya adalah tak mungkin kita perempuan Indonesia merayakan hari Kartini yang biasanya dilakukan setiap tahun. Tak akan ada lomba busana kebaya ala Kartini, atau lomba sepakbola bapak- bapak yang memakai baju daster, atau lomba-lomba lainnya. Masyarakat harus mematuhi kebijakan pemerintah yang menetap kan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) untuk mengatasi wabah ini.

Selain itu juga para ibu-ibu harus menjadi guru bagi anaknya yang sedang belajar di rumah (online) dan yang bekerja pun juga harus dilakukan dari rumah. Maka peristiwa wabah ini memberikan waktu yang lebih banyak untuk ibu-ibu membersamai anaknya, yakni melakukan tugasnya tidak hanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, tapi juga melaksanakan kewajiban nya sebagai madrasatul ula ( pendidikan yang pertama).

Sepertinya apa yang diharapkan oleh Ibu Kartini ketika beliau menulis buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" terjadi pada semua perempuan hari ini. Tidak hanya di Indonesia tapi hampir di seluruh perempuan di dunia. Ketika perempuan itu sadar dengan kodrat nya yakni sebagai ibu dan manajer rumah tangganya. Bukan menghamba pada karier dan eksistensi nya di dunia kerja (luar rumah). Dimana ide emansipasi wanita yang hari ini keliru dari apa yang diperjuangkan oleh Kartini. Sehingga menyebabkan rapuhnya pondasi keluarga ketika para ibu-ibu keluar rumah dengan alasan eksistensi diri ataukah karena desakan ekonomi.

Saat ini, lebih dari setengah perempuan yang bekerja, atau 740 juta perempuan bekerja dalam bidang ekonomi informal dan kurang mendapatkan hak-hak dasar dan perlindungan, bahkan dibayar 16% lebih sedikit daripada pekerja pria.

Sementara itu, perempuan yang berhasil mengenyam bangku pendidikan masih menghadapi berbagai penghalang untuk mendapatkan kesempatan kerja yang sama dengan laki-laki. Dengan demikian, dunia butuh adanya aksi untuk mengubah dunia kerja agar menolong perempuan meraih kemerdekaan berekonomi.

Kemerdekaan berekonomi bagi perempuan sangat krusial untuk mewujudkan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan. Prioritas utama adalah mewujudkan kesetaraan upah, mengakhiri segregasi pekerjaan, dan menghentikan kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual di tempat kerja.

Maka wajar para pegiat gender berusaha keras untuk meningkatkan partisipasi kerja perempuan, hingga setara dengan laki-laki, sesuai dengan target yang sudah dicanangkan: Planet 50×50 in 2030. Target setara itu harga mati, ditegaskan Direktur Eksekutif UN Women, Phumzile Mlambo-Ngcuka yang menyatakan, “Only half is an equal share, and only equal is enough.”

Apalagi McKinsey Global Institute Prof. Ramola Kumar, Dekan The Delhi School of Communication menguatkan bahwa kontribusi perempuan itu yang sekitar 50 % dari total populasi dunia akan berdampak pada perkembangan ekonomi secara keseluruhan.

Karenanya, mereka harus menjadi peserta aktif dalam kegiatan ekonomi dan juga harus memiliki kekuatan pengambilan keputusan yang sama. Bahkan banyak ibu rumah tangga, bisa beriringan menjalankan peran sebagai manajer dalam memimpin dan mengarahkan suatu organisasi.

Karena itu, wajar jika perempuan harus mendapatkan remunerasi sepadan. Apalagi laporan Australian Department of Families, Housing, Community Services and Indigenous Affairs pada tahun 2009 meng-klaim penurunan kesenjangan upah gender dari 17% menjadi 16% bakal meningkatkan PDB per kapita sekitar $ 260.[6]

Semua kampanye itu dideraskan Barat, karena mereka menyadari sulit menghapus naluri seorang perempuan untuk bertahan dalam rumah dan mendampingi buah hatinya. Karena itu harus ada iming-iming sepadan yang mampu menyeret mereka keluar dari ‘habitat’ ternyamannya, menjadi ibu full time.

Dan ternyata, hidup di era kapitalisme –saat negara cuma berfungsi bagai wasit pertandingan dan tak peduli dengan jaminan pemenuhan kebutuhan rakyatnya- memaksa para ibu untuk berpikir tentang ‘mendapatkan penghasilan’. Di posisi seperti inilah, kebutuhan finansial para ibu bertemu dengan kepentingan para kapitalis.

Justru itulah pangkal mula kesalahan berpikir pengasong ide gender. Kesenjangan penghasilan antara laki-laki dan perempuan bukan disebabkan perbedaan gender. Apalagi mengaitkannya dengan persepsi tertentu, yang lagi-lagi menempatkan Islam sebagai sasaran tembak.

Islam yang menempatkan peran utama perempuan sebagai ibu dan manajer rumah tangga, tentu kontraproduktif dengan kampanye gender yang memobilisasi perempuan meraih penghasilan setara laki-laki. Padahal hukum Islam memperbolehkan perempuan bekerja dengan syarat dan ketentuan sesuai syariat, sesuai kekhususan peran dan posisinya.

Alhasil, jika perempuan bekerja, maka berlaku hukum syariat tentang ijaratul ajir (kontrak kerja) yang secara umum tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan. Islam telah menjelaskan secara terperinci bagaimana kontrak kerja pengusaha-pekerja melalui hukum-hukum yang menyangkut jenis pekerjaan, waktu, termasuk besaran gaji.

Bila pekerja perempuan memiliki kemampuan yang lebih unggul daripada laki-laki pada pekerjaan yang sama, tak menutup kemungkinan besaran penghasilannya melebihi laki-laki-laki. Jadi tak ada kezaliman dalam hal penghasilan sebagaimana yang biasa terjadi di dunia kapitalis.

Khilafah, pasti akan mencegah tindak kezaliman yang dilakukan satu pihak kepada pihak lainnya, termasuk dalam akad pekerjaan sebagai penerapan keseluruhan hukum syariat seperti dalam hadits qudsi berikut.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, Allah Swt. berfirman,

“Tiga orang yang Aku musuhi pada hari kiamat nanti adalah orang yang telah memberikan (baiat kepada khalifah) karena Aku, lalu berkhianat; orang yang menjual (sebagai budak) orang yang merdeka, lalu dia memakan harga (hasil) penjualannya; serta orang yang mengontrak pekerja, kemudian pekerja tersebut menunaikan pekerjaannya, sedangkan orang itu tidak memberikan upahnya.” (HR Ahmad, Bukhari, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Jadi, masalah penghasilan dalam pandangan syariat Islam, tidak berhubungan dengan kecukupan akan kebutuhan hidup, perbedaan jenis kelamin, hingga jaminan hari tua. Sedangkan di negara kapitalis, negara cuci tangan akan jaminan kesejahteraan warganya. Mereka harus membayar semua layanan demi memenuhi hajat publiknya.

Karena itu dengan jumlah gaji relatif tetap, tidak akan mampu membiayai semua kebutuhan hidup yang selalu bertambah. Karena itu muncul tuntutan untuk menghilangkan gender pay gap, agar perempuan mandiri secara finansial dalam memenuhi kebutuhan hidup sekaligus menjamin hari tuanya.

Tentu saja fenomena tersebut tak bakal terjadi dalam Khilafah Islamiyah, yang memastikan peran negara terjadi secara paripurna dalam menjamin kebutuhan rakyat. Maka persoalan besar-kecilnya penghasilan tidak akan menimbulkan masalah, karena hajat publik dipenuhi secara thayyib oleh negara, murah pembiayaannya bahkan gratis.

Feminisme bersorak-sorai kesetaraan gender di tengah ketertindasan dunia di bawah hegemoni raksasa kapitalisme. Berhalusinasi mewujudkan kehidupan yang harmonis tanpa diskriminasi, sejahtera, dan berkeadilan bagi perempuan.

Feminisme gagasan yang rapuh dan rusak (fasad). Rusak tersebab feminisme lahir dari pemikiran mendasar yang menegasikan peran Pencipta dalam kehidupan dunia, termasuk kehidupan politik dan bernegara.

Pemikiran mendasar ini gagal memahami hakikat kehidupan dunia akan hubungannya dengan kehidupan sebelum kehidupan dunia dan kehidupan setelah kehidupan dunia. Wajar feminisme begitu keji dalam permusuhan terhadap agama (Islam) dan syariatnya.

Sementara kerapuhan feminisme konsekuensi kefasadan ide dasarnya. Feminisme menolak realitas, menari dalam angan-angan semu. Setiap jengkal tempat dan situasi yang mereka potret sebagai bentuk penindasan terhadap perempuan di sana diterapkan sistem kapitalisme, bukan sistem Islam secara pasti.

Maka dengan berpikir secara benar, berpijak pada fakta akan mengantarkan pada hakikat masalah, bahwa dunia benar-benar hancur dalam buaian sistem kapitalisme imperialis. Adapun perempuan merupakan korban yang tak berdaya tanpa adanya jaminan pemenuhan hak-hak syar’i perempuan oleh negara.

Feminisme sangat berbahaya apabila terus dipertahankan. Sebab hubungan feminisme dan kolonialisme begitu erat dengan perekat lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan entitasnya seperti UN Women, UNDP, UNICEF, dll.

Feminisme memperalat kaum perempuan atas ketidakberdayaannya, mengeksploitasi perempuan dengan dalih pemberdayaan dan kesetaraan.

Sungguh kejam aturan kapitalisme ini. Sangat berbeda dengan aturan Islam yang justru melindungi dan memuliakan perempuan. Islam memiliki tatanan sempurna dan paripurna untuk mewujudkan kesejahteraan umat manusia.

Dalam wadah Daulah Khilafah Islamiyah, sejahtera untuk semua nyata adanya, tanpa eksploitasi perempuan dalam dunia kerja. Perempuan pun dapat tetap menjalankan fungsinya sebagai istri dan ibu generasi dengan leluasa karena negara menjamin kesejahteraan diri dan keluarganya. Hendaklah Kartini hari ini sadar akan halusinasi kapitalisme dan kembali melaksanakan kewajibannya sesuai aturan Islam. Wallahu a'lam.[]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak