Oleh : Hervilorra Eldira, S.ST
Sejak diumumkan pertama kali tanggal 2 Maret 2020 bahwa Indonesia telah muncul kasus pertama orang yang positif COVID-19 (corona virus 2019), hingga per tanggal 1 April 2020 jumlah yang terkonfirmasi positif sebanyak 1.790 orang, dengan 170 kasus di antaranya meninggal dan 112 kasus sembuh. Kasus dinyatakan tersebar di 32 provinsi dari total 34 provinsi di Indonesia. Dua provinsi yang belum melaporkan kasus terkonfirmasi yaitu Gorontalo dan Nusa Tenggara Timur. Ditengarai jumlahnya akan terus naik beberapa hari ke depan.
Indonesia memiliki tingkat kematian (case fatality rate) Corona cukup tinggi yaitu di angka 8,62%. Kemampuan Indonesia dalam menangani pandemi virus corona juga menjadi sorotan, bukan hanya oleh warga negaranya sendiri, namun juga WHO. Kritik juga hadir untuk Presiden Jokowi yang dianggap lebih mementingkan dampak ekonomi dari lockdown ketimbang bagaimana mencegah wabah semakin meluas di tengah ketidakpastian kemampuan sarana medis di Indonesia.
Pemerintah telah melakukan sejumlah upaya penanganan pandemi Covid-19. Pemerintah menetapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagai upaya memutus mata rantai penularan Covid-19 yang disebabkan virus corona. Dengan PSBB, masyarakat masih dapat beraktivitas. Namun, kegiatan yang dapat dilakukan masyarakat dibatasi.
Presiden Joko Widodo juga mengumumkan telah meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang diterbitkan untuk menanggulangi dampak pandemi virus corona (Covid-19) di Indonesia pada 31 Maret 2020. Adapun beberapa rincian kebijakan pemerintah yang diatur dalam Perppu baru tersebut yang paling disoroti adalah terkait Prioritas anggaran untuk perlindungan sosial. Jumlah penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH) dan kartu sembako diperluas, anggaran Kartu Prakerja dinaikkan, hingga keringanan tarif listrik untuk pelanggan listrik 450 VA dan diskon 50 persen untuk pelanggan 900 VA bersubsidi.
Namun, faktanya berbagai upaya penanganan tersebut tidak cukup meringankan kondisi masyarakat akibat dampak wabah ini. Banyak sekali masyarakat kelas menengah ke bawah yang masih merasakan sulitnya mencukupi kebutuhan sehari-hari terutama kebutuhan pangan. Supir angkot, tukang ojek, pedagang, buruh, dll adalah beberapa jenis pekerjaan yang sangat terdampak. Di satu sisi bentuk kontrol terhadap Prioritas anggaran untuk perlindungan sosial dalam Perppu Corona agar bisa merata sangat minim. Sehingga sangat berpotensi untuk salah sasaran.
Alih-alih menyelematkan rakyat dari pandemi Covid-19, pemerintah justru setengah hati untuk melakukan lockdown dan memilih PSBB. Pertimbangan utama karena permasalahan ekonomi. Hal ini membuktikan bahwa nyawa manusia tidak lebih penting dari faktor ekonomi. Hal ini sangatlah wajar ketika sebuah Negara mengatur urusan negaranya dengan menggunakan sistem Kapitalisme yang mengagungkan harta dan keuntungan materi. Padahal pelaku ekonomi adalah manusia, maka jika manusia mati siapa yang akan menggerakkan ekonomi?
Dalam Islam, Negara hadir untuk melayani rakyat. Karena pelayan, maka penyelesaian dari kasus pandemi Covid-19 ini telah jelas yaitu lockdown. Selama lockdown, penguasa berkewajiban mencukupi kebutuhan rakyatnya. Seperti yang telah disampaikan di dalam hadist Rasul "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari)
WalLâhu a’lam bish shawâb