Oleh : Mala Hanafie
Satu bulan sejak diumumkan secara resmi oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020, jumlah pasien Covid-19 meningkat tajam. Hingga kini mencapai lebih dari 1600 kasus. Peningkatan angka yang begitu cepat mau tak mau berimbas munculnya kepanikan di tengah-tengah warga masyarakat. Warga secara spontan mengambil langkah melindungi dirinya masing-masing. Hal ini membawa dampak ketersedian alat kesehatan semakin langka. Begitu pun bagi tim medis yang berinteraksi secara langsung menangani dan merawat pasien Covid-19, para tenaga kesehatan kesulitan memenuhi kebutuhan APD (Alat Pelindung Diri).
Melalui skema bantuan dan pembelian, Indonesia mendatangkan APD dari China untuk digunakan oleh tenaga medis di dalam negeri. Tak nyana pada APD yang didatangkan tersebut bertuliskan Made in Indonesia hal ini sontak mengejutkan banyak pihak.
Agus Wibowo Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui akun twitternya menyampaikan, "Pabrik APD memang banyak berada di Indonesia. Bahkan tidak hanya APD banyak produk terkenal seperti pakaian, sepatu, tas dan lain-lain yang pabriknya juga berada di Indonesia."
Masih menurut Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), “Industri dalam negeri mampu untuk memproduksi barang-barang itu untuk kebutuhan sendiri maupun luar negeri.”
Dalam kesempatan yang berbeda, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa Indonesia punya peluang untuk menyuplai alat pelindung diri (APD) dan hand sanitizer bagi negara lain yang tengah dilanda pandemi virus corona. Alasannya, Indonesia punya pabrik dan infrastruktur untuk memproduksi barang yang kini dibutuhkan dunia itu.
Untung-Rugi di Tengah Pandemi
Sikap mementingkan sektor industri seolah menunjukan bahwa pemerintah tidak menjadikan penanganan Covid-19 yang mewabah di negeri ini sebagai sebuah prioritas penting untuk segera ditangani. Terlihat dengan tidak sigapnya pemerintah dalam mengatasi penambahan kasus yang terjadi namun malah berfokus pada urusan produksi APD yang kemudian dijadikan komoditas untuk di ekspor ke luar negeri, penguasa bermental pengusaha melihat sebuah bencana sebagai lahan bisnis demi meraup keuntungan materi. Memandang pandemi sebagai peluang dalam menjaring pendapatan devisa.
Kapitalisme yang telah mendarah daging di negeri ini melahirkan sikap acuh para penguasa. Negara yang seharusnya mengambil peran sebagai tumpuan bagi seluruh masyarakat, terang-terangan mengabaikan. Alih-alih menjaga serta melindungi, penguasa justru membaca kondisi sulit yang terjadi sebagai jembatan dalam meraih pendapatan materi, mengambil manfaat di atas penderitaan rakyat. Ketika jumlah korban pandemi terus bertambah di berbagai daerah, kebutuhan akan obat dan alat kesehatan menjadi langka, sekalipun obat dan alat kesehatan tersedia harganya melambung sebab dimonopoli segelintir oknum, tenaga kesehatan kekurangan APD di tengah kewajiban merawat pasien Covid-19, sementara resiko kematian tak bisa dihindari karena harus berinteraksi langsung dengan pasien.
Seakan tak punya hati ketika menyaksikan korban berjatuhan, ratusan nyawa yang melayang tak jua mampu menyentuh nurani para penguasa. Jiwa materialis makin nampak nyata manakala penguasa menilai bencana nasional semata-mata dari kalkulasi untung dan rugi. Butir-butir sila "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan" sekedar menjadi semboyan yang tak terdengar gaungnya.
Ironis sebab Dasar Negara yang digadang mampu menyelesaikan problematika, hanya isapan jempol belaka. Kenyataannya tak mampu dibuktikan, apalagi tindak-tanduk penguasa jelas hanya mementingkan pencapaian materi semata. Tak ada kepekaan dalam memahami kondisi masyarakat. Melalaikan tugas sebagai garda terdepan dalam menjaga dan melindungi warga negara. Negara gagal dalam memberi pelayanan kesehatan dan menjamin keselamatan umat.
Memimpin = Me-ri'ayah Su'unil Ummah
"Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR. al-Bukhari).
"Tidaklah seorang hamba yang Allah berikan amanah kepemimpinan kemudian dia tidak menunaikannya, maka dia tidak akan mencium bau surga”. (HR Bukhari)
Dalam Islam memimpin adalah "ri'ayah su'unil ummah" mengurusi urusan umat. Begitu pula halnya dengan para penguasa yang hari ini menduduki jabatan dalam pemerintahan, seharusnya menempatkan diri sebagai pelayan bagi warga negara. Melindungi serta memenuhi setiap kebutuhan masyarakat. Kesehatan merupakan hak yang mesti diperoleh. Wajib bagi negara untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Menyediakan fasilitas penunjang seperti rumah sakit, obat-obatan dan lainnya.
Pada masa kekhalifahan Harun al-Rasyid, abad kedelapan hijriah rumah sakit (Bimaristan) pertama dibangun di Baghdad, Bimaristan Baghdad kemudian menjadi standar bagi rumah sakit setelahnya. Rumah Sakit di masa Daulah Islam dilengkapi dengan fasilitas pendidikan, laboratorium juga perpustakaan, rumah sakit bukan sekedar tempat pengobatan melainkan tempat pembelajaran. Di zaman Abbasiyah, Saifuddin Qalawun salah seorang penguasa (673 H/1284 M) mewakafkan hartanya untuk memenuhi biaya tahunan rumah sakit, yang didirikan di Kairo, yaitu rumah sakit al-Manshuri al-Kabir. Pemimpin pada masa itu menempatkan kesehatan sebagai prioritas, menyediakan dokter terbaik, mengobati dan merawat pasien tanpa pandang bulu juga memberikan pelayanan cuma-cuma kepada warga miskin.
Pemimpin muslim tidak hanya mengandalkan anggaran Negara, mereka justru berlomba-lomba meraih pahala dengan mewakafkan harta milik pribadi. Tidak seperti yang terjadi hari ini, pemimpin kaum muslimin bukan menjadikan untung-rugi sebagai tolak ukur. Dari sini terbukti bahwa kapitalisme yang mengakar di negeri ini hanya mampu mencetak penguasa berjiwa pebisnis namun gagal mengayomi. Berbeda dengan pemimpin kaum muslimin ketika aturan Islam diterapkan secara sempurna. Seorang khalifah menyadari betul bahwa kepemimpinan adalah amanah yang harus ditunaikan. Karena dalam mengayomi bukan tentang meraih materi. Meri'ayah dengan sepenuh hati demi mencapai ridho Ilahi.
Wallahu a'lam bishshawwab.
Tags
Opini